HENTIKAN PAGAR LAUT


Oleh: Hafidzarahman
Sarjana Manajemen Bisnis

Belum lama ini, publik dikejutkan dengan kabar mengenai deretan kayu yang ditancapkan di laut hingga membentuk pagar. Fenomena ini dikenal dengan nama pagar laut. Pagar ini tertanam di wilayah laut sepanjang 30 kilometer, tepatnya di perairan Tangerang, Banten.

Wilayah ini merupakan kawasan padat penduduk, yang mayoritas warganya bekerja sebagai nelayan dan menggantungkan hidup dari hasil laut. Mustahil pagar sepanjang itu dibangun hanya dalam waktu semalam seperti kisah legenda Tangkuban Perahu. Fakta ini seharusnya menjadi perhatian utama dalam urusan tata kelola wilayah laut. Sebab, sebagai warga negara, kita tahu bahwa pengelolaan laut seharusnya berada di bawah pengawasan negara.

Sayangnya, sistem tata kelola negara saat ini justru membuat banyak pihak tunduk pada aturan yang tidak bersumber dari syariat Islam. Aturan-aturan tersebut lahir dari sistem buatan manusia yang lemah, mudah dipengaruhi kepentingan sesaat, dan sering kali tidak adil bagi sebagian masyarakat. Sumber hukumnya pun batil, karena berasal dari manusia, bukan dari wahyu Ilahi.

Untungnya, panjang pagar ini belum melampaui proyek jalan Anyer–Panarukan. Tapi, bayangkan jika suatu saat proyek seperti ini menembus panjang hingga 1000 kilometer. Ini bisa jadi pertanda bahwa ada celah pengawasan, atau bahkan pembiaran yang disengaja. Maka, proyek semacam ini perlu dikaji dan dievaluasi secara menyeluruh oleh pihak yang berwenang, agar tidak terus terjadi dan merugikan masyarakat.


Bagaimana Islam Memandang Pagar Laut Ini?

Islam memandang laut sebagai harta milik umum, bukan milik pribadi atau korporasi. Maka, tindakan memagari laut demi kepentingan pihak tertentu adalah haram. Laut hanya boleh dikelola oleh negara, itupun semata-mata untuk kemaslahatan publik.

Akibat dari proyek pagar laut ini, para nelayan yang menggantungkan hidup dari laut sangat dirugikan. Aktivitas mereka terganggu, dan akses terhadap sumber daya laut menjadi terbatas.

Islam telah mengatur hal ini dalam sejumlah hadis, di antaranya adalah hadis riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah, yang menyatakan:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api."

Dari hadis ini, jelas bahwa laut termasuk kepemilikan umum yang harus dijaga, dikelola, dan hasilnya didistribusikan secara adil kepada seluruh warga negara.


Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Sebagai umat Islam yang memahami bahwa laut adalah milik bersama, kita tidak boleh diam. Mari kita bergerak bersama, saling bantu, dan peduli terhadap saudara-saudara kita yang terdampak. Kita bisa menyuarakan opini melalui media sosial, menyebarkan ilmu yang kita miliki, dan mengedukasi masyarakat tentang pandangan Islam dalam pengelolaan sumber daya alam.

Kita juga bisa turun langsung ke lapangan, mendampingi warga, serta membuat konten yang membuka wawasan masyarakat tentang pentingnya melihat persoalan ini dari sudut pandang syariat Islam.

Sebab, inilah yang sangat dibutuhkan umat hari ini: melihat dunia dengan kacamata Islam. Dengan penerapan syariat Islam, masyarakat bisa turut membantu negara menuju arah yang lebih baik, menciptakan peradaban yang lebih adil dan mulia.

Kita sepakat bahwa proyek pagar laut ini bertentangan dengan syariat. Maka, kita tidak boleh diam. Sebab, diam terhadap kebatilan adalah haram.

Posting Komentar

0 Komentar