
Oleh: Ela Laelasari
Muslimah Peduli Umat
International Monetary Fund (IMF) melaporkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di antara enam negara Asia Tenggara pada tahun 2024. Peringkat tersebut berdasarkan laporan World Economic Outlook edisi April 2024. IMF juga memproyeksikan tingkat pengangguran di Indonesia akan mencapai 5% pada tahun 2025, meningkat dari 4,9% pada tahun sebelumnya. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan akibat dampak perang dagang yang semakin memanas. Data ini diperkuat oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih direspons dengan santai oleh pemerintah.
Beberapa pejabat Indonesia, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Presiden Prabowo, menyatakan optimisme bahwa ekonomi Indonesia masih kuat dan akan terus tumbuh. Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 akan mencapai 5%. Presiden Prabowo juga menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kokoh untuk menghadapi guncangan global. Namun, alih-alih segera mencari solusi strategis, pemerintah justru terlihat berleha-leha sambil tetap mengklaim bahwa perekonomian dalam kondisi baik-baik saja.
Optimisme berlebihan pemerintah ini justru berpotensi menyesatkan analisis terhadap akar masalah yang sebenarnya. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengidentifikasi dua tantangan utama terkait pengangguran di Indonesia, yaitu tenaga kerja industri yang tergantikan oleh mesin dan rendahnya mobilitas pencari kerja (aqilly). Pemerintah pun fokus pada dua masalah tersebut.
Untuk tantangan pertama, pengusaha didorong untuk menurunkan tingkat penerapan teknologi agar lebih ramah terhadap tenaga kerja. Sedangkan untuk mengatasi masalah aqilly, pelatihan vokasi digencarkan untuk meningkatkan keterampilan (upskilling) dan memperbarui keterampilan (reskilling). Selain itu, pencari kerja juga didorong untuk tidak hanya memiliki kemampuan teknis, tetapi juga soft skill seperti kegigihan dan daya tahan. Namun, kenyataannya, banyak lulusan sarjana yang akhirnya terpaksa bekerja di sektor informal sebagai sopir, pramuniaga, pengasuh bayi, dan lain-lain.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masalah utama bukanlah soal keterampilan atau daya juang yang rendah, melainkan kurangnya lapangan pekerjaan. Kalaupun ada, jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Meski pemerintah ramai menggelar pelatihan vokasi, angka pengangguran tetap meningkat, mengindikasikan bahwa masalahnya lebih kompleks daripada sekadar peningkatan keterampilan.
Penyebab utama tingginya pengangguran adalah penerapan sistem ekonomi kapitalis. Kapitalisme gagal menyediakan lapangan pekerjaan yang layak dan merata bagi rakyat. Hal ini terlihat dalam dua aspek. Pertama, sistem kapitalisme memberi kebebasan kepemilikan sumber daya alam kepada swasta, sehingga negara tidak menjadi pengendali utama industrialisasi. Akibatnya, industri yang ada lebih fokus pada profit daripada kesejahteraan pekerja.
Kedua, ekonomi yang bertumpu pada sektor non-riil. Dalam kapitalisme, uang diperlakukan sebagai komoditas, bukan alat tukar. Aktivitas ekonomi berbasis sektor non-riil tidak menciptakan lapangan pekerjaan nyata karena negara hanya fokus pada sektor tersebut.
Sebaliknya, Islam mewajibkan laki-laki dewasa yang sehat untuk bekerja. Oleh karena itu, negara juga wajib menyediakan lapangan pekerjaan melalui penyediaan modal usaha atau sarana dan prasarana yang diperlukan. Pemerintah dalam sistem Islam berfungsi sebagai pengurus rakyat (ra’in) dan wajib memperhatikan kondisi rakyat serta mengatur mereka dengan syariat Islam.
Dalam sistem khilafah, ada sejumlah langkah strategis untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Pertama, mengembangkan industri halal di sektor pertanian, perhutanan, dan sektor riil lainnya. Kedua, mendirikan industri alat berat yang mendukung tumbuhnya industri lain. Ketiga, menghindari pengembangan sektor non-riil karena sektor ini dianggap haram dan berpotensi menyebabkan ekonomi tidak stabil.
Yang tidak kalah penting, penerapan syariat Islam secara menyeluruh akan menciptakan iklim investasi yang sehat dan bebas pajak, didukung oleh birokrasi yang sederhana namun efektif. Dengan demikian, pengangguran tidak akan mendapat tempat dalam sistem Islam.
Wallahu a'lam bisshawab.
0 Komentar