KASUS IJAZAH PALSU JOKOWI KEMBALI PANAS POLRI DIMINTA BERTINDAK ADIL


Oleh: Aisyah Nur Fadillah
Jurnalis

Jakarta, 1 Mei 2025 – Presiden Joko Widodo resmi melaporkan enam tokoh publik ke Polda Metro Jaya terkait dugaan pencemaran nama baik dan fitnah dalam kasus ijazah palsu yang kembali mencuat. Mereka yang dilaporkan antara lain Roy Suryo, Rismon Sianipar, Rizal Fadilah, dr. Tifa, serta dua inisial lainnya, ES dan K.

Langkah hukum ini disampaikan langsung oleh kuasa hukum Jokowi, Yakup Hasibuan, usai melapor di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (30/4). "Pasal yang kita duga dilakukan itu ada 310, 311 KUHP, ada juga beberapa pasal di UU ITE, antara lain Pasal 27A, 32, dan 35," ujarnya kepada wartawan.

Namun, laporan tersebut mendapat sorotan tajam dari Koordinator Tim Advokasi Anti Ijazah Bodong, Bersihkan Legacy Sejarah Bangsa Indonesia (TA-AIB-BLSBI), Ahmad Khozinudin, S.H. Ia mengingatkan publik dan aparat penegak hukum untuk waspada terhadap dugaan upaya penyalahgunaan pasal-pasal UU ITE demi memuluskan kepentingan politik Jokowi.

Pasal 32 dan Pasal 35 UU ITE yang dicantumkan dalam laporan tidak relevan dengan tuduhan fitnah atau pencemaran nama baik terkait ijazah palsu. Ada indikasi pasal-pasal ini diselundupkan agar polisi dapat menangkap dan menahan para terlapor, karena ancaman hukumannya di atas lima tahun,” tegasnya dalam keterangan tertulis, Kamis (1/5).

Khozinudin menjelaskan bahwa secara hukum, kasus pencemaran nama baik atau fitnah hanya relevan menggunakan Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Ketiga pasal tersebut memiliki ancaman hukuman di bawah lima tahun, sehingga tidak memenuhi syarat penahanan menurut KUHAP.

Jika polisi memaksakan menggunakan Pasal 32 dan 35 yang berkaitan dengan manipulasi dokumen elektronik, maka itu mencederai hukum. Ini sama saja seperti ketika Gus Nur dan Bambang Tri ditangkap dengan pasal-pasal yang tidak nyambung dengan substansi tuduhan mereka,” tambahnya.

Khozinudin juga mengingatkan bahwa saat ini Presiden Republik Indonesia adalah Prabowo Subianto, bukan lagi Jokowi. Karena itu, menurutnya, Polri seharusnya tegak lurus pada konstitusi dan tidak lagi menjadi alat kekuasaan individu.

Era Jokowi sudah selesai. Polri harus kembali menjadi pengayom rakyat, bukan menjadi alat kekuasaan untuk menumbalkan reputasi institusi demi kepentingan pribadi,” pungkasnya.

Kasus ini kini menjadi sorotan luas publik dan dinilai akan menjadi ujian awal bagi netralitas serta profesionalisme aparat penegak hukum di bawah pemerintahan baru.

Posting Komentar

0 Komentar