KUCING-KUCINGAN, SOLUSI JUDOL TAK CUKUP HANYA DENGAN BLOKIR-BLOKIRAN!


Oleh: Abu Faqih
Sahabat Gudang Opini

Pemblokiran 1,3 juta konten judi online (judol) oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sejak Oktober 2024 hingga April 2025 patut diapresiasi sebagai upaya teknis negara melindungi ruang digital. Dalam keterangannya, Menkomdigi Meutya Hafid menyebut langkah ini sebagai respon terhadap ancaman nyata di ruang digital yang mengganggu keamanan dan ketertiban nasional.

Namun, patut disadari, pemblokiran semata tak akan menyelesaikan akar persoalan secara tuntas. Sebabnya adalah judi online bagian dari penyakit sosial yang akan terus mencari celah, seiring ketergantungan masyarakat terhadap digitalisasi dan lemahnya kontrol hukum.

Faktanya meski pun ada upaya pemblokiran, akan tetapi konten judol terus bermunculan di media sosial. Ini menunjukkan betapa massif dan adaptif industri haram yang merusak kehidupan manusia ini. Bahkan, banyak situs judol yang langsung bermigrasi ke domain baru setelah diblokir, seolah mengejek upaya pemerintah.

Karenanya, solusinya perlu lebih dari sekadar pemblokiran. Negara harus tegas menerapkan sanksi hukum yang keras dan menjerakan. Para pelaku, baik pemilik platform, bandar, maupun promotor judi online harus dijerat pidana berat dan ditindak secara terbuka. Tak boleh ada impunitas (pembebasan dari hukuman).

Dalam pandangan Islam, judi adalah salah satu bentuk 'maysir', yakni transaksi yang sarat dengan ketidakpastian dan merugikan salah satu pihak.

Islam mengharamkan judi secara tegas sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan," (QS. Al-Ma’idah: 90).

Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), pelaku judi akan dikenai sanksi ta'zir, yakni hukuman yang ditentukan oleh khalifah sesuai tingkat kejahatannya, yang bisa berupa cambukan, penjara, bahkan pengasingan, tergantung dampak sosial yang ditimbulkan. Ini adalah bentuk preventif dan kuratif yang berkeadilan.

Selain itu, pendekatan hukum harus dibarengi upaya menyadarkan masyarakat tentang bahaya judol, termasuk kerusakan mental, permusuhan, kemiskinan struktural, dan rusaknya moral generasi. Jika tidak, maka masyarakat akan terus menjadi korban rayuan judi yang dibungkus kemudahan akses dan iming-iming kekayaan instan.

Sayangnya, dalam sistem kapitalisme yang memuja kebebasan dan keuntungan, judi seringkali justru dipandang sebagai hiburan dan potensi penambah pendapatan ekonomi, bahkan di beberapa negara sampai dilegalkan demi pemasukan pajak. Ini membuktikan bahwa selain sistem Islam, tak ada sistem yang bisa menjadi solusi tuntas persoalan perjudian, termasuk judol.

Maka, sudah saatnya Indonesia memperjuangkan tegaknya sistem Islam, yang sejak awal menegaskan bahwa judi adalah perbuatan keji dan haram, serta memberi solusi dengan sanksi yang tegas, pendidikan yang sahih, dan sistem kehidupan yang melindungi umat dari kejahatan struktural.

Kesimpulannya, penanganan tuntas judol tak cukup dengan blokir-blokiran. Kita butuh sistem hukum yang adil, tegas, menyeluruh, dan yang dapat menimbulkan efek jera bagi para pelaku. Jika tidak, maka kita hanya akan bermain kucing-kucingan dengan para penjudi digital sementara korban terus berjatuhan.

Posting Komentar

0 Komentar