
Oleh: Diaz
Jurnalis
Dalam beberapa tahun terakhir, wacana tentang Khilafah kembali mencuat di tengah umat Islam. Di berbagai majelis, media sosial, hingga forum diskusi, istilah ini ramai diperbincangkan. Namun sayangnya, tak semua yang mengusung tema Khilafah benar-benar memahami konsepnya secara utuh. Bahkan, ada sebagian kelompok yang justru menyempitkan maknanya, seolah-olah Khilafah bisa ditegakkan hanya dengan membaiat seorang pemimpin dalam lingkup komunitas kecil, tanpa wilayah, tanpa kekuasaan riil, dan tanpa sistem hukum Islam yang diterapkan.
Padahal, anggapan semacam itu menyederhanakan Khilafah secara keliru. Sebab Khilafah dalam Islam bukanlah semata simbol spiritual atau bentuk organisasi dakwah. Ia adalah institusi politik tertinggi umat Islam yang memiliki ciri-ciri negara dalam makna yang sebenarnya.
Khilafah dalam Pandangan Ulama
Dalam literatur klasik, istilah Khilafah kerap disebut sebagai al-imāmah al-‘āmmah, yakni kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslimin. Tujuan utamanya adalah untuk menerapkan syariat Islam dan mengatur kehidupan umat secara menyeluruh.
Imam al-Māwardi, salah satu ulama besar dalam bidang politik Islam, menegaskan dalam karyanya al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah:
الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا، وعقدها لمن يقوم بها في الأمة واجبٌ إجماعاً
“Kepemimpinan (imamah) ditetapkan sebagai pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Mengangkatnya bagi siapa yang menjalankannya di tengah umat adalah kewajiban berdasarkan ijmak.”
Pernyataan ini sangat jelas: Khilafah adalah penerus fungsi kenabian dalam aspek politik dan pemerintahan. Ia bukanlah sekadar forum diskusi atau struktur organisasi non-negara. Ia adalah institusi yang menyatukan umat dalam satu kepemimpinan global yang menerapkan hukum Allah secara nyata.
Khilafah dalam Sejarah: Bukan Sekadar Imajinasi
Sejarah Islam membuktikan bahwa Khilafah adalah institusi negara dalam arti penuh. Ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, beliau tidak hanya berdakwah atau membentuk komunitas. Beliau mendirikan pemerintahan. Beliau mengatur hukum, memimpin pasukan, menjalin perjanjian politik (seperti Piagam Madinah), dan mengelola hubungan internasional.
Ibnu Katsir mencatat dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah:
ثم كتب الكتاب بينه وبين اليهود... وثبت له ملك المدينة
“Kemudian beliau menulis piagam antara beliau dan orang-orang Yahudi... dan beliau berhasil menegakkan kekuasaan atas Madinah.”
Demikian pula para Khulafā’ Rāsyidīn dan khalifah-khalifah setelahnya. Mereka bukan sekadar tokoh spiritual, tapi pemimpin negara: menetapkan undang-undang, memungut pajak, mengatur keuangan negara, memimpin jihad, dan menjalankan birokrasi pemerintahan. Dengan kata lain, Khilafah adalah struktur kenegaraan, bukan sekadar komunitas atau jamaah dakwah.
Empat Unsur Dasar Negara dalam Islam
Para ulama menjelaskan bahwa suatu entitas bisa disebut sebagai negara Islam jika memenuhi empat unsur utama:
- Wilayah – tempat di mana hukum Islam ditegakkan secara nyata.
- Rakyat – komunitas yang hidup dan tunduk pada hukum tersebut.
- Penguasa – yang memiliki otoritas riil dan diakui rakyat.
- Sistem hukum – yang didasarkan pada syariat Islam, bukan hukum buatan manusia.
Jika satu saja dari unsur ini tidak terpenuhi, maka tidak bisa disebut sebagai negara Islam. Apalagi jika semuanya tidak ada. Maka klaim mendirikan Khilafah tanpa wilayah, kekuasaan, dan sistem pemerintahan yang sah, bukan hanya tidak sahih secara syar‘i, tapi juga bertentangan dengan sejarah dan nalar.
Struktur Pemerintahan dalam Khilafah
Ulama juga telah merinci struktur pemerintahan dalam Khilafah dalam berbagai kitab siyasah syar‘iyyah. Di antaranya:
- Khalifah: pemimpin tertinggi umat Islam.
- Mu‘āwin: pembantu Khalifah dalam urusan pemerintahan.
- Wālī dan ‘Āmil: gubernur dan kepala wilayah.
- Qāḍī: hakim yang menegakkan hukum syariat.
- Jihād dan Keamanan: lembaga pertahanan dan militer.
- Baitul Māl: institusi keuangan negara.
- Majlis Ummah: majelis rakyat sebagai representasi aspirasi umat.
Struktur ini tidak mungkin dibentuk oleh komunitas terbatas yang hanya membaiat pemimpin tanpa kekuasaan. Oleh karena itu, menyebut Khilafah hanya dengan ciri-ciri simbolik adalah pengaburan makna sejati yang diwariskan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat.
Penutup: Menata Ulang Pemahaman dan Perjuangan
Khilafah adalah amanah besar yang memiliki dimensi politik, hukum, dan sosial yang kompleks. Ia adalah sistem pemerintahan yang ditopang oleh kekuasaan, wilayah, struktur birokrasi, dan penerapan hukum Islam secara menyeluruh. Bukan sekadar komunitas yang mengangkat seorang amir.
Oleh sebab itu, upaya untuk menegakkan Khilafah harus dilakukan dengan cara yang serius, ilmiah, dan mengikuti metode yang benar sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah ﷺ. Menganggap Khilafah bisa berdiri hanya dengan baiat dalam lingkup kecil tanpa otoritas yang sah adalah penyederhanaan yang menyesatkan.
Umat Islam perlu meluruskan pemahaman ini. Rujukan kita adalah warisan para ulama yang muktabar dan sejarah perjuangan Islam yang nyata. Dengan demikian, Khilafah bisa ditegakkan kembali sebagai institusi yang adil, berdaulat, dan membawa rahmat bagi seluruh alam.
0 Komentar