
Oleh: Arslan
Aktivis Dakwah
Baru-baru ini, umat Islam di Indonesia kembali dikejutkan dengan kabar dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sebanyak sembilan produk pangan olahan terbukti mengandung unsur babi (porcine), berdasarkan hasil uji laboratorium dengan parameter DNA dan peptida spesifik porcine. Ironisnya, tujuh dari sembilan produk tersebut telah mengantongi sertifikat halal. Sebuah fakta yang mencoreng kepercayaan publik dan membuka borok sistem pengawasan produk di negeri mayoritas Muslim ini.
Temuan ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ia adalah puncak gunung es dari persoalan yang lebih besar: buah busuk dari sistem ekonomi kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari urusan publik, termasuk soal pangan dan perdagangan.
Kapitalisme Sekuler Tak Peduli Halal-Haram
Kapitalisme sekuler adalah sistem yang menjadikan keuntungan materi sebagai satu-satunya ukuran kesuksesan. Dalam sistem ini, nilai halal-haram bukan pertimbangan utama, bahkan sering kali dianggap tidak relevan. Selama produk laku di pasaran dan meraup untung, maka semua sah-sah saja.
Tak heran, di bawah sistem ini, pelabelan halal bisa berubah menjadi formalitas kosong, sekadar stempel administratif tanpa integritas. Lalu muncullah kasus memalukan seperti ini: produk mengandung babi tapi bersertifikat halal. Ini jelas bukan hanya pengkhianatan terhadap konsumen Muslim, tapi juga tamparan terhadap sistem yang mengklaim melindungi kepentingan umat.
Padahal Allah ﷻ telah menegaskan larangan mengonsumsi daging babi dalam firman-Nya:
قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ
Katakanlah, Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. (QS. al-An’am [6]: 145).
Sebaliknya, Allah memerintahkan:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. al-Baqarah [2]: 168)
Konsumsi Haram, Hancurnya Keberkahan
Mengonsumsi makanan haram bukan sekadar masalah kesehatan atau pelanggaran administratif. Ia menyentuh aspek spiritual dan moral umat. Rasulullah ﷺ telah mengingatkan bahwa makanan haram menjadi penghalang dikabulkannya doa, merusak hati, memudarkan cahaya keimanan, dan mengundang pengaruh setan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ ومشربه حرام وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ.رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)
Makanan haram bukan hanya mencemari tubuh, tapi juga membentuk perilaku. Dari makanan haram lahir akhlak yang rusak, perilaku maksiat, dan hilangnya rasa malu. Bahkan Rasulullah ﷺ menegaskan:
وَكُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih layak baginya. (HR. ath-Thabarani)
Solusi Bukan Sekadar Sertifikasi, Tapi Perubahan Sistemik
Selama negeri ini masih tunduk pada logika kapitalisme-sekuler, maka skandal seperti ini bukan yang terakhir. Fungsi pengawasan akan selalu mudah dibobol oleh nafsu pasar. Sertifikasi bisa dibeli. Kehalalan bisa dinegosiasikan. Karena sistem ini tidak berdiri di atas ketakwaan, tetapi di atas profit.
Solusinya bukan tambal sulam. Umat Islam membutuhkan sistem kehidupan yang memuliakan syariat, bukan mengabaikannya. Sistem yang menjadikan halal-haram sebagai standar mutlak, bukan opsional.
Itulah sistem Islam kaffah. Dalam Islam, negara memiliki peran penting untuk menjaga kehalalan konsumsi masyarakat. Khalifah adalah penjaga yang bertanggung jawab penuh atas apa yang masuk dan beredar di pasar. Rasulullah ﷺ bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Imam (kepala negara) adalah pemelihara dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sistem Khilafah Islamiyah, semua produk makanan harus diperiksa kehalalannya secara ketat, baik lokal maupun impor. Tidak ada kompromi. Tidak ada “izin edar” untuk produk haram.
Qadhi Hisbah lembaga pengawas pasar di era Khilafah bekerja secara independen dan tegas, memastikan tidak ada makanan haram yang lolos ke tangan rakyat. Bahkan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menolak daging yang tidak disembelih secara syar’i.
Menjaga Kehalalan Adalah Jalan Menuju Keberkahan
Lebih dari sekadar kewajiban syariat, menjaga kehalalan makanan adalah jalan menjaga keberkahan hidup. Sebab makanan bukan hanya soal perut, tapi juga menyangkut hati, akal, dan amal. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ. فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat... Barang siapa menjaga diri dari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sudah saatnya umat Islam tidak hanya menuntut produk halal, tapi juga menuntut sistem yang menjamin kehalalan itu secara total, yakni sistem Islam kaffah dibawah naungan Khilafah. Bukan sekadar memperbaiki lembaga sertifikasi, tapi mengganti sistem yang rusak hingga ke akar.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb
0 Komentar