ANAK KECANDUAN JUDOL: GENERASI RUNTUH DI BAWAH SISTEM KAPITALISME


Oleh: Winda Raya, S.Pd., Gr.
Aktivis Muslimah

Judi online yang marak di Indonesia tidak hanya melibatkan orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Data demografi menunjukkan bahwa pemain judi online (judol) di bawah usia 10 tahun mencapai 2%, atau sekitar 80.000 orang. Sebanyak 440.000 orang (11%) berusia 10 hingga 20 tahun, sedangkan pemain usia 21 hingga 30 tahun tercatat sebanyak 520.000 orang (13%). Sebanyak 1.640.000 orang (40%) berasal dari kelompok usia 30–50 tahun, mendominasi jumlah keseluruhan, sementara usia di atas 50 tahun mencakup 1.350.000 orang (34%).

Data tersebut diungkap oleh PPATK bersama Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Woro Srihastuti Sulistyaningrum, dalam Podcast Jumatan edisi 26 Juli 2024 (Jumpa PPATK).

Perkembangan pesat teknologi serta ketersediaan internet membuat judi online semakin mudah diakses, dimanapun dan kapanpun tanpa batas. Iklan judol tersebar luas di media sosial, bahkan kerap menampilkan konten yang menarik perhatian anak-anak, disertai janji hadiah besar. Masalah ekonomi juga menjadi salah satu alasan seseorang terjerat judol, tergiur dengan janji keuntungan besar dalam waktu singkat, sebuah ilusi jalan pintas menuju kekayaan. Banyak anak dan pemain lainnya tidak memahami dampak negatif dari judol, seberti bisa menyebabkan kecanduan, hingga kerugian finansial yang parah. Akibatnya, perkembangan mental dan pendidikan mereka menjadi terganggu.

Dilansir dari bisnis.com, 14 Mei 2025, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengadakan sosialisasi di SMAN 2 Purwakarta, Jawa Barat. Pada tahun 2024, provinsi ini menempati posisi teratas sebagai wilayah dengan transaksi dan jumlah pengguna judi online terbanyak di Indonesia, dengan total transaksi sebesar Rp3,8 triliun. Jumlah pemain di Jawa Barat yang tercatat oleh PPATK lebih dari 535.000 orang. Menteri Komdigi Meutya Hafid menyatakan tingginya jumlah pemain disebabkan oleh besarnya populasi Jawa Barat, sehingga perlu penanganan serius.

Pemerintah harus terus-menerus melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar bijak menggunakan internet, supaya angka transaksi judol tidak terus meningkat dan dapat ditekan,” ungkap Meutya.

Ia juga menegaskan pentingnya kerja sama berbagai pihak dalam menekan angka judi online, khususnya di Jawa Barat. Kepada siswa, guru, dan wali murid di SMAN 2 Purwakarta, Meutya menekankan pentingnya penggunaan internet secara bijak untuk menghindari dampak negatif, termasuk ketergantungan. Jika anak-anak sudah kecanduan internet, maka ketika dibatasi mereka mudah marah atau mengalami tantrum.

Dilansir pula dari beritasatu.com pada 19 Mei 2025, pemerintah mempertegas langkah pemberantasan judi online anak dengan menerapkan Peraturan Pemerintah mengenai Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam rangka Perlindungan Anak (PP Tunas). Aturan ini mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk membatasi akses digital anak, melindungi data pribadi, dan meningkatkan literasi digital.

Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tertanggal 8 Mei 2025, tercatat sekitar 197.054 anak berusia 10 hingga 19 tahun terlibat dalam aktivitas judi online pada triwulan I tahun 2025, dengan nilai deposit sebesar Rp50,1 miliar.

Sistem kapitalisme kembali menjadi biang kerok kehancuran generasi. Kapitalisme membiarkan judi online berkembang bebas dan menyasar anak-anak, tanpa memedulikan masa depan mereka. Bahkan, kapitalisme menjadikan judol sebagai industri yang sangat menguntungkan, dan anak-anak adalah target pelanggan masa depan. Fenomena ini bukan kebetulan. Sistem ini menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, tanpa mengenal batas moral.

Kurangnya ketegasan dalam regulasi dan penegakan hukum dari pemerintah membuat pemberantasan judi online berjalan tidak optimal. Akses situs judi mungkin diputus, namun bersifat tebang pilih, sehingga banyak situs masih aktif. Inilah wajah demokrasi kapitalisme, tidak mampu memberikan solusi hakiki dalam menyelamatkan generasi muda dari perilaku menyimpang yang bertentangan dengan hukum Allah.

Lemahnya pengawasan orang tua, khususnya ibu yang sibuk bekerja, membuat anak-anak bebas menggunakan gawai tanpa pengawasan. Mereka pun dengan mudah mengakses konten-konten berbahaya seperti judol. Padahal, ibu memiliki peran penting dalam mendidik anak dan menanamkan akidah yang kokoh sebagai benteng dari kerusakan moral.

Dalam sistem Islam, pendidikan tidak hanya fokus pada nilai akademik, melainkan membentuk pola pikir dan sikap anak sesuai ajaran Islam. Anak-anak dididik untuk berperilaku berdasarkan syariat, menjadikan halal dan haram sebagai standar dalam setiap aktivitas, termasuk dalam penggunaan teknologi dan literasi digital.

Allah ﷻ berfirman dalam Surah Al-Maidah ayat 91:

اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?

Ayat ini menunjukkan bahwa judi adalah perbuatan haram. Ia menjadi alat setan untuk menciptakan permusuhan, pertikaian, dan kebencian, serta menjauhkan manusia dari salat dan mengingat Allah. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan haram tersebut.

Negara dalam sistem Islam memiliki tanggung jawab untuk menjaga rakyat dari segala bentuk kerusakan, termasuk judi online. Negara Islam akan menutup akses terhadap konten-konten merusak secara menyeluruh, serta mengarahkan digitalisasi demi kemaslahatan umat.

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar