AS MENAIKKAN TARIF IMPOR, SAATNYA NEGERI INI BERHENTI MENGEKOR


Oleh: Abd. Hafid Hamid
Pemerhati Masalah Ekonomi

Setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal atau tarif timbal balik pada Rabu, 2 April 2025, perang tarif Amerika Serikat (AS) dan Cina mulai berlangsung. Bukan hanya Cina, ketentuan tarif ini juga berlaku terhadap semua mitra dagang AS. Dalam rangka meredam dampak tarif, Pemerintah Indonesia mengambil langkah strategis dengan mengirimkan utusan ke AS guna melakukan pembicaraan langsung terkait kebijakan tarif impor resiprokal yang diberlakuan.

Menggunakan intrumen Tarif (Bea masuk) dalam perang dagang AS adalah hal yang lumrah. AS justru menjadi negara yang sangat aktif menggunakan tarif dalam perdagangan internasional selama berabad-abad lamanya. Kali ini sebanyak 180 negara dikenakan tarif impor oleh Trump. Tarif dasar ditetapkan sebesar 10 persen, dengan tambahan tarif yang berbeda-beda tergantung pada jenis barang yang diproduksi.

Sejumlah negara segera menanggapi tarif Trump. Sebagian negara segera menerapkan tarif balasan. Sebagian lagi memilih berunding. Ada juga yang belum meresponnya.

Cina merespon dengan menerapkan tarif 34 persen atas produk-produk asal AS. Trump kemudian mengancam akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 50 persen terhadap barang-barang impor dari China apabila negara tersebut tidak mencabut tarif sebesar 34 persen. Sebagai respons, China menaikkan tarifnya menjadi 84 persen untuk membalas kebijakan tarif Amerika Serikat. Di hari yang sama, Trump segera membalas ancaman Cina dengan menetapkan tarif sebesar 125 persen, kemudian 145 persen, dan terakhir 245 persen untuk barang-barang tertentu.

Langkah balasan terhadap tarif Trump untuk industri otomotif Amerika Serikat diumumkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Kanada Francois-Philippe Champagne mulai Rabu, 9 April 2025. Sebagai balasan terhadap tarif Trump, Uni Eropa menyatakan siap untuk mengikuti perang dagang dengan Amerika Serikat dan berencana untuk menyerang layanan daring (online).

Sementara Indonesia memilih untuk bernegosiasi. Indonesia siapkan daftar preferensi tarif untuk pasar AS dalam upaya meredam potensi tarif 32 %, sambil mengincar surplus dagang yang sebelumnya mencapai US$16,8 miliar pada 2024.

Pemerintah Indonesia telah menjalin koordinasi intensif dengan tim teknis dari kedua negara guna menelaah draf awal perjanjian dagang yang diajukan oleh Amerika Serikat. Demikian diungkapkan Airlangga.

Indonesia telah menyiapkan daftar tarif preferensial untuk sejumlah komoditas asal Amerika Serikat sebagai langkah lanjutan menjelang putaran kedua negosiasi yang dijadwalkan berlangsung pada Juni 2025 di Washington, D.C.

Perang tarif ini kembali menyadarkan kita akan ketimpangan yang masih melekat dalam sistem perdagangan global. Langkah ini selain sebagai persoalan ekonomi, juga sebagai refleksi dari dominasi kekuatan global yang kerap menggunakan instrumen ekonomi sebagai alat tekanan politik dan strategi proteksi kepentingan nasionalnya.

Perang tarif sangat kontradiktif dengan pasar bebas yang selalu diagung-agungkan oleh negara adidaya. Pasar bebas menjadi prinsip utama ideologi kapitalisme. Kapitalisme menyakini bahwa: pasar bebas akan menemukan jalannya sendiri, barang mengalir ke tempat yang paling efisien, persaingan mendorong inovasi, dan keuntungan mendorong pertumbuhan. Sesuai dalam teori kapitalisme klasik, perdagangan bebas adalah tulang punggung kemakmuran. Negara dilarang ikut campur kecuali untuk memastikan hukum ditegakkan dan kontrak dipenuhi.

Prinsip inilah yang disebarkan dan dipaksakan ke seluruh dunia selama ini oleh organisasi internasional atas desakan negara adidaya. Namun, saat ini tidak berlaku bagi Negara Paman Sam. Ironisnya lagi, negara adidaya yang getol menyuarakan keterbukaan pasar justru sering melanggar prinspi itu sendiri. Negaranya memberikan subsidi besar bagi petani dan industrinya, memberlakukan hambatan non-tarif yang rumit, menerapkan embargo atau tarif tinggi ketika terjadi defisit perdagangan. Bahkan tarif impor dari cina ditetapkan hingga 245 persen.

Saat ini prinsip dasar kapitalisme telah dibalikkan oleh Trump. Alih-alih membiarkan pasar bekerja. Ia memasang pagar tinggi, mengatur produk apa yang bisa diimpor serta yang dibatasi, negara yang boleh masuk dan negara yang harus membayar biaya lebih tinggi.

Kebijakan tarif yang agresif sebagaimana yang dilakukan oleh Trump saat ini adalah bentuk nyata dari proteksionisme. Ketika negara-negara sosialis atau komunis menerapkan proteksionisme dulu yang justru Amerika kritik habis-habisan.

Inilah wajah asli negara kapitalis yang dipertontonkan oleh AS. Prinsip yang dipegang teguh selama ini bisa dibuang ketika kondisi tidak menguntungkan lagi. Ironisnya, sebagian besar negara mitra dagangnya mengikuti keinginan AS, meskipun itu merugikan negaranya sendiri. Negara lain seolah tidak memiliki pilihan atau kebijakan sendiri dalam mengamankan kepentingan dalam negeri masing-masing. Tak terkecuali negeri ini.

Alhasil, negeri ini harus segera mengambil sikap untuk segera keluar dari perangkap negara kapitalisme. Jika China mampu merespons dengan menaikkan tarif serupa, maka Indonesia pun seharusnya bisa mengambil langkah perlawanan melalui kebijakan perdagangan luar negeri yang mampu menghapus ketimpangan jika diterapkan secara tepat. Kebijakan ini ada dalam syariat Islam, yang bersumber dari wahyu ilahi.

Dalam syariat Islam, ketentuan hukum terkait perdagangan luar negeri bergantung pada status pelaku perdagangannya, yaitu para pedagang yang terlibat. Karena itu para pedagangnya yang dijadikan fokus pembahasan, bukan barang dagangannya atau harta bendanya. Karena pada dasarnya, hukum syara ditujukan untuk mengatur perbuatan manusia sebagai hamba Allah. Hukumnya mengikuti hukum para pemiliknya (pedagang) karena barang dagangan terkait dengan dengan pemiliknya. Adapun beberapa pengaturannya adalah sebagai berikut:

  • Dengan Negara-negara kafir Mu'ahid (yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah), diberlakukan hubungan perdagangan dengan mereka sesuai dengan butir-butir yang terdapat dalam teks perjanjian. Termasuk rincian barang-barang yang bisa diekspor atau impor. Diluar barang-barang tersebut tidak dibolehkan. Termasuk juga dengan barang-barang militer atau barang yang bisa menambah kekuatan negara lain tidak dibolehkan, seperti menjual uranium, pipa baja khusus, radar, satelit meliter, teknologi angkasa luar dan sebagainya.
  • Dengan Negara kafir harbiy berlaku hukum sebagai berikut. Pertama, kita memperlakukan mereka (termasuk pedagangnya) sebagai musuh yang dapat ditawan atau dibunuh jika antara kita dengan mereka tengah berkecamuk perang, pass keamanan (visa khusus) tidak dapat diberikan, dan harta benda mereka halal untuk dirampas. Kedua, selama tidak dalam situasi perang dan tanpa adanya perjanjian yang sah, mereka hanya dapat memasuki wilayah Negara Khilafah dengan izin khusus. Perlakuan kita terhadap pedagangnya sama dengan seperti mereka memperlakukan para pedagang kita. Setiap jenis barang dagangannya harus ada surat izin khusus. Barang-barang militer atau sesuatu yang bisa memperkuat mereka tidak dibolehkan Khilafah untuk dijual kepada mereka.

Pada dasarnya, prinsip perdagangan luar negeri adalah kemudahan. Tidak samasekali dikenakan pungutan (cukai perbatasan) apapun terhadap mereka, jika para pedagang itu adalah warga Negara Khilafah Islam, baik muslim maupun kafir dzimmi.

Dan perlakuan terhadap mereka akan sama seperti Negara mereka memperlakukan para pedagang kita terhadap para pedagang yang menjadi warga Negara kafir harbiy hukman atau kafir harbiy mu'ahid.

Demikianlah Islam memberikan pangaturan perdagangan luar negeri yang komprehensip. Sistem Islam menegaskan bahwa menjaga kehormatan dan kedaulatan umat merupakan prioritas utama, jauh lebih penting daripada sekadar menjalin hubungan dagang atau meraih keuntungan materi sesaat. Sebab, martabat umat tidak boleh dikorbankan demi kepentingan pragmatis, apalagi jika itu berarti tunduk pada sistem yang zalim dan timpang.

Kenaikan tarif adalah instrumen yang kerap digunakan AS dalam perdagangan internasional. Bahkan sampai mendobrak prinsip pasar bebas yang selama ini dipaksakan pada negara lain. Ironisnya, masih banyak negara yang manut dan mengekor pada AS, dengan segera menegosiasi tarif tersebut. Saatnya negeri ini keluar dari sistem perdagangan yang menghasilkan ketimpangan. Kondisi ini akan terwujud melalui pengaturan perdagangan luar negeri yang komprehensip. Itulah syariah Islam yang bersumber dari wahyu Ilahi.

Wallahu a’lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar