IRAN? ATAU ISRAEL?


Oleh: Ahmad Aqil Al-Mutashim
Mahasiswa

Jum'at, 13 Juni 2025, kabar dari Timur Tengah langsung menyedot perhatian dunia. Israel melancarkan serangan ke fasilitas militer di Isfahan, Iran. Ini bukan langkah iseng atau sekadar isyarat. Serangan itu nyata dan menyasar titik strategis. Dunia internasional pun sontak menoleh. Tak butuh waktu lama, Iran membalas. Rudal balistik dikirimkan ke pangkalan militer Israel di Negev. Serangan dibalas serangan. Cepat dan terarah. Kali ini bukan lagi perang lewat perantara atau proksi, bukan pula adu gertak di media. Ini adalah konfrontasi langsung.

Tak mengherankan jika efeknya merembet ke berbagai penjuru. Amerika Serikat segera memantapkan posisinya, mendukung Israel seperti biasa. Sementara itu, Rusia dan Tiongkok memilih berada di kubu seberang, berpihak kepada Iran. Dalam sehari, posisi tiga kekuatan besar dunia terlihat jelas. Dan ketika mereka bersilang pendapat, dunia pun goyah. Pasar global bereaksi cepat. Harga energi melonjak. Ekonomi negara-negara kecil ikut terguncang.

Di Indonesia, reaksi publik tak kalah riuh. Muncul berbagai opini yang menyuarakan kekaguman terhadap keberanian Iran. Banyak yang menilai, inilah untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, ada negara yang benar-benar berani menantang Israel secara terbuka. Sebagian menyebutnya sebagai perlawanan yang mewakili hati umat Islam. Namun, benarkah demikian?

Ada satu hal penting yang perlu dicatat: Iran tidak menyebut Palestina dalam pernyataan resminya. Tak ada klaim bahwa serangan mereka bertujuan membebaskan Gaza atau menghentikan penjajahan. Yang muncul hanyalah pernyataan balasan, ungkapan tentang kedaulatan yang dilanggar, dan harga diri yang diinjak. Artinya, tindakan Iran adalah murni respons terhadap serangan yang dianggap melanggar wilayah mereka. Ini soal Iran. Bukan soal siapa pun yang lain.

Tentu, Iran berhak membela diri. Tak ada negara yang akan tinggal diam ketika fasilitas militernya diserang. Tetapi, publik dunia (khususnya umat Islam) tampaknya berharap lebih. Dalam imajinasi banyak orang, kekuatan seperti Iran diharapkan menjadi pelindung kaum tertindas. Dalam konteks saat ini: rakyat Palestina.

Justru karena itu penting untuk menyuarakan harapan. Jika perang ini memang tak dapat dihindari, maka seharusnya tidak berhenti pada urusan harga diri nasional. Kekuatan militer yang dimiliki Iran seyogianya diarahkan pada misi yang lebih besar: menantang ketidakadilan dan membela bangsa yang telah terlalu lama dijajah. Palestina seharusnya bukan sekadar objek simpati. Ia bisa dijadikan tujuan strategis. Sebuah poros gerakan. Sebuah arah perjuangan.

Namun tentu saja, harapan ini tidak bisa dibebankan kepada Iran semata. Kita semua memiliki tanggung jawab. Umat Islam, para aktivis hak asasi, dan siapa pun yang peduli terhadap nasib rakyat yang terusir dari tanahnya, harus turut bersikap. Bukan dengan kekerasan, barangkali. Tapi dengan menyuarakan kebenaran. Dengan mendorong pemerintah-pemerintah kita agar tidak bersikap netral saat keadilan diinjak-injak.

Indonesia, dalam sejarahnya, berdiri di atas prinsip menolak penjajahan. Kita tahu, itu bukan sekadar kalimat pembuka dalam Undang-Undang Dasar. Itu adalah fondasi kemerdekaan kita. Maka dalam menyikapi konflik ini, kita pun harus konsisten. Jika benar kita berpihak kepada keadilan, maka kita tahu ke mana hati ini harus condong.

Kita boleh berbeda pendapat soal strategi. Tapi dalam urusan kemanusiaan, kita tak boleh ragu untuk berpihak. Dan barangkali, inilah momen awal. Bukan untuk memilih siapa pemenang perang, melainkan untuk memulai langkah panjang menuju pembebasan mereka yang telah terlalu lama diabaikan dunia.

Jadi, pertanyaannya mungkin bukan lagi Iran atau Israel. Tapi harus lebih dalam dari itu.

Satu pertanyaan yang harus menggema di relung hati kita.

Satu pertanyaan yang mendasari setiap suara, setiap sikap, dan setiap langkah kita:

Akankah kita bergerak?

Posting Komentar

0 Komentar