
Oleh: Diaz
Jurnalis
Sistem ekonomi adalah seperangkat mekanisme yang mengatur aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi dalam suatu masyarakat. Ia mencakup aturan, kebijakan, serta struktur kelembagaan yang membentuk cara suatu negara atau komunitas mengelola sumber daya ekonominya. Tujuannya tak lain adalah untuk menciptakan keteraturan, efisiensi, dan keadilan dalam kehidupan ekonomi, sekaligus menghindari kekacauan dan monopoli oleh pihak tertentu.
Dalam praktiknya, sistem ekonomi tidak berdiri sendiri. Ia sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal seperti ketersediaan sumber daya alam, kapasitas sumber daya manusia, dan kondisi geografis; maupun faktor eksternal seperti stabilitas politik, perkembangan teknologi, serta dinamika keamanan global.
Namun di balik kerangka kerja yang tampak teknis, setiap sistem ekonomi sejatinya lahir dari sebuah pandangan hidup, yakni seperangkat ide dasar, gagasan filosofis, keyakinan, dan nilai-nilai yang disusun secara sistematis untuk mengarahkan kehidupan masyarakat. Inilah yang disebut ideologi. Pandangan hidup ini menjadi fondasi yang membentuk nilai, menentukan prioritas, serta mengarahkan orientasi kebijakan ekonomi dalam suatu sistem.
Kapitalisme, Sistem yang Meninggalkan Tuhan
Saat ini, dunia berada di bawah dominasi sistem kapitalis. Sejak dini, manusia diarahkan untuk mengejar materi sebagai tolok ukur keberhasilan. Pendidikan lebih mengutamakan nilai ujian demi pekerjaan bergaji tinggi. Politik dikendalikan oleh pemilik modal. Media menjadi corong kepentingan korporasi. Semua diarahkan pada satu tujuan: keuntungan finansial.
Akar kapitalisme bisa ditelusuri dari sejarah Eropa ketika agama dipisahkan dari urusan publik (sekularisme). Negara tak lagi bersandar pada agama, melainkan pada logika manusia. Dari sinilah kapitalisme tumbuh: sebuah sistem yang menjadikan pasar sebagai dewa, dan uang sebagai tujuan hidup.
Dalam sistem ini, negara hanya bertindak sebagai wasit. Ia tidak boleh mengatur siapa yang kaya atau miskin. Semuanya diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Yang kuat bertahan, yang lemah tersingkir.
Kapitalisme memang tidak melarang seseorang menjadi kaya. Tapi ia mengubah kekayaan dari yang sebelumnya hanya sebuah alat menjadi tujuan hidup. Ketimpangan menjadi konsekuensi logis. Segelintir orang menguasai tambang, minyak, air, hutan, bahkan udara. Sementara mayoritas lainnya hanya menjadi roda kecil dalam mesin raksasa bernama “pasar”.
Sosialisme, Reaksi yang Gagal
Sebagai respons terhadap ketimpangan kapitalisme, muncul sosialisme. Sistem ini berangkat dari ide kesetaraan mutlak. Semua alat produksi harus dikuasai negara. Kekayaan pribadi dibatasi. Tujuannya: menciptakan masyarakat yang sepenuhnya setara.
Namun sosialisme gagal membaca fitrah manusia. Manusia memiliki perbedaan potensi, semangat, dan karakter. Ada yang rajin, ada yang malas. Ada yang kreatif, ada yang pasif. Ketika semua dipaksa sama, insentif untuk berinovasi pun lenyap.
Akibatnya, banyak negara sosialis mengalami stagnasi. Rakyat harus antre untuk kebutuhan dasar seperti roti, sementara elit partai justru hidup bergelimang kemewahan. Mimpi kesetaraan berubah menjadi mimpi buruk.
Islam, Sistem Ekonomi yang Adil dan Manusiawi
Berbeda dengan dua kutub ekstrem di atas, Islam hadir sebagai sistem yang utuh dan adil. Ia tidak hanya mengatur persoalan produksi dan konsumsi, tapi menekankan pada aspek distribusi. Islam menetapkan bahwa kesejahteraan harus dirasakan oleh semua, bukan segelintir elit.
Dalam sistem ekonomi Islam, ada tiga bentuk kepemilikan yang diatur secara tegas:
- Kepemilikan Individu: Setiap individu berhak memiliki harta dan menjalankan usaha, selama diperoleh dengan cara halal. Namun individu tidak boleh menguasai sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak.
- Kepemilikan Umum: Sumber daya strategis seperti air, padang rumput, energi, tambang, dan hutan merupakan milik umat. Negara hanya bertindak sebagai pengelola, dan hasilnya wajib dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.
- Kepemilikan Negara: Negara berhak memiliki aset tertentu guna menunjang pelayanan publik. Namun, negara tidak boleh mengambil milik rakyat tanpa hak. Negara adalah pelayan, bukan pemilik mutlak.
Sistem ini mencegah penumpukan kekayaan pada segelintir orang. Islam mewajibkan zakat atas harta yang mencapai nisab dan disimpan selama satu tahun. Ini bukan sekadar kewajiban ibadah, tapi mekanisme distribusi yang bersifat ilahiah. Berbeda dengan pajak dalam sistem sekuler, zakat membersihkan harta, menyucikan jiwa, dan menyambung solidaritas sosial.
Islam juga melarang praktik riba. Tidak ada bunga bank yang menjerat hingga tiga generasi. Dalam ekonomi Islam, transaksi berbasis akad, kepercayaan, dan tanggung jawab. Jika usaha untung, hasil dibagi. Jika rugi, kerugian ditanggung bersama. Sistem ini manusiawi, tidak eksploitatif.
Islam Bukan Kompromi, Tapi Solusi
Sebagian orang mengira bahwa Islam adalah jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Padahal, Islam bukan sekadar kompromi. Ia adalah sistem independen yang sempurna (wasathiyah) karena berpijak pada wahyu, bukan hawa nafsu.
Islam mengakui perbedaan kemampuan manusia. Tapi ia juga mengatur agar yang kuat tidak menindas, dan yang lemah tidak dibiarkan tersingkir. Jika kapitalisme membiarkan kekayaan terpusat, dan sosialisme menghapus kepemilikan pribadi, maka Islam menegaskan: kaya boleh, tapi hak-hak orang lain dalam kekayaan itu wajib ditunaikan melalui zakat, infak, wakaf, investasi produktif, dan konsumsi yang bermanfaat. Tujuannya jelas:
ÙƒَÙŠْ Ù„َا ÙŠَÙƒُÙˆْÙ†َ دُÙˆْÙ„َØ©ً ۢ بَÙŠْÙ†َ الْاَغْÙ†ِÙŠَاۤØ¡ِ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْۗ
“Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Itulah sistem ekonomi Islam, jalan yang adil, manusiawi, dan seimbang. Bukan hanya teori, tapi terbukti dalam sejarah panjang kejayaan peradaban Islam yang pernah memimpin dunia selama berabad-abad menciptakan kesejahteraan yang tidak mampu dilakukan oleh dua sistem ekonomi lainnya.
Sejatinya, sistem ekonomi Islam mustahil diterapkan secara utuh tanpa ditopang oleh ideologi Islam itu sendiri, sebagaimana halnya kapitalisme dan sosialisme yang masing-masing berdiri di atas fondasi ideologinya. Islam bukan sekadar agama yang mengatur ritual, tetapi merupakan sebuah ideologi menyeluruh yang menuntut penerapan total dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk bidang ekonomi.
Tanpa penerapan Islam sebagai ideologi yang meliputi sistem pemerintahan, hukum, sosial, dan ekonomi, maka kesejahteraan ekonomi yang pernah diwujudkan dalam sejarah kejayaan Islam hanya akan menjadi angan-angan. Sebab, sistem Islam tidak dapat dipisah-pisahkan seperti potongan puzzle, ia hanya akan bekerja secara efektif jika diterapkan secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang utuh.
Wallahu A'lam Bishawab.
0 Komentar