
Oleh: Diaz
Jurnalis
Tokopedia pernah menjadi simbol kebanggaan ekonomi digital Indonesia—platform yang menjembatani jutaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan konsumen di seluruh negeri. Tapi kini, citra itu perlahan runtuh. PHK besar-besaran, pergeseran orientasi bisnis ke produk impor, dan dominasi asing dalam pengelolaan platform ini mengundang pertanyaan kritis: Masihkah e-commerce nasional menjadi milik rakyat, atau sudah jadi alat kapitalisme global?
Akuisisi yang Penuh Tanda Tanya
Sejak penutupan TikTok Shop oleh pemerintah pada 2023, publik merasa negara hadir melindungi UMKM. TikTok dianggap melanggar regulasi karena menjalankan fungsi e-commerce lewat media sosial tanpa izin dan menjual barang impor murah yang membunuh produk lokal (CNN Indonesia, 19/09/2023). Namun, hanya beberapa bulan kemudian, TikTok (lewat entitas barunya) diizinkan membeli 75% saham Tokopedia dengan nilai sekitar $840 juta—jauh di bawah valuasi ideal. Alhasil, TikTok Shop “reborn” dalam wujud Tokopedia, tapi kini dengan wajah baru yang lebih menguntungkan pihak asing (CNBC Indonesia, 27/02/2024).
PHK Massal dan Penghancuran Rantai UMKM
Usai akuisisi, TikTok-Tokopedia melakukan efisiensi brutal. Ribuan pegawai diberhentikan, termasuk mereka yang sedang hamil dan memiliki masa kerja panjang. Menurut laporan, pegawai yang akan di PHK sekitar 80 persen, sehingga menyisakan hanya 600 orang (Bloomberg Technoz, 04/06/2025). Tidak hanya itu, seller UMKM yang dulu menjadi “anak emas” kini terpinggirkan. Platform perlahan diisi barang-barang impor dari China, dijual langsung oleh sistem yang dimiliki TikTok, mirip dengan strategi TikTok Shop sebelumnya (Bacakoran.co, 03/06/2025).
Kondisi ini menyakitkan bagi pelaku UMKM. Potongan biaya platform yang tinggi, ketatnya persaingan harga, dan kebijakan promosi yang tak lagi memihak produk lokal membuat margin keuntungan makin tipis. Banyak pengusaha kecil yang mengandalkan Tokopedia sebagai tulang punggung bisnis kini merasa ditinggalkan. Alih-alih memberdayakan ekonomi rakyat, e-commerce justru berubah menjadi kendaraan kapital asing.
Solusi Islam Mengedepankan Kedaulatan Ekonomi
Dalam sistem Islam, urusan ekonomi tidak diserahkan semata-mata pada mekanisme pasar bebas atau kekuatan modal raksasa. Islam memiliki seperangkat aturan yang menjamin kedaulatan ekonomi negara dan kesejahteraan rakyat, terutama bagi pelaku usaha kecil. Berikut beberapa mekanisme yang akan Islam terapkan:
1. Negara Wajib Melindungi Pelaku Usaha Lokal
Dalam Islam, negara (Khilafah) berfungsi sebagai rā‘in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung). Negara tidak boleh membiarkan UMKM lokal mati oleh dominasi korporasi asing atau produk murah hasil subsidi negara lain. Karenanya Negara Islam akan:
- Membatasi masuknya barang impor yang merusak industri dan pasar lokal.
- Mewajibkan transparansi asal-usul produk.
- Menyediakan sarana distribusi dan logistik yang murah dan adil untuk pelaku usaha lokal.
Rasulullah ﷺ bersabda, "Imam (khalifah) adalah pengurus (rā‘in) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. al-Bukhari)
2. Asing Tidak Dibiarkan Menguasai Infrastruktur Strategis
Platform e-commerce, walau milik swasta, dalam Islam bisa dikategorikan sebagai bagian dari infrastruktur strategis—karena menjadi jalur distribusi barang secara nasional. Dalam sistem Khilafah, asing tidak boleh memiliki dominasi atas sektor-sektor yang menyangkut kepentingan umum.Islam menolak privatisasi total atas layanan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.Akuisisi besar oleh perusahaan asing akan dicegah bila berpotensi mengancam independensi ekonomi umat.
3. Ekonomi Tidak Bergantung pada Kapitalisme Pasar Bebas
Sistem kapitalisme membuat negara tidak bisa lepas dari tekanan modal global. Yang kecil kalah oleh yang besar. Yang punya uang bisa membeli apa saja, bahkan platform yang tadinya dibuat untuk rakyat. Sistem Islam menolak sistem seperti ini. Kerenanya Negara dalam Islam akan:
- Menghapus riba dan sistem pajak kapitalistik yang membebani usaha kecil.
- Memberi modal dan pelatihan kepada pelaku usaha kecil tanpa bunga.
- Membangun pasar yang adil (sūq) tanpa manipulasi harga dan intervensi raksasa bisnis.
4. Menghidupkan Pasar Fisik dan Digital yang Syariah
Selain e-commerce, Islam mendorong berkembangnya pasar fisik dan digital berbasis syariah, dengan:
- Tanpa iklan manipulatif.
- Tanpa algoritma yang mematikan seller kecil.
- Tanpa potongan berlebihan dari transaksi penjualan.
Dalam sejarahnya, Khalifah Umar bin Khattab bahkan membangun pasar negara sendiri untuk melindungi rakyat dari praktik pasar zalim milik swasta atau non-Muslim.
Jangan Biarkan Ekonomi Digital Dijajah
Kasus Tokopedia adalah potret jelas bagaimana ekonomi digital Indonesia begitu rapuh di tangan kapital asing. Pemerintah seolah lepas tangan, rakyat kebingungan, dan pelaku UMKM hanya bisa bertahan seadanya.
Sudah saatnya kita menggugat sistem yang membiarkan kapitalisme menguasai hajat hidup rakyat. Kita membutuhkan sistem ekonomi Islam yang berpihak pada umat, melindungi yang lemah, dan menjadikan negara sebagai pengurus sejati.
Hal tersebut mustahil terwujud jika tidak menjadikan Islam sebagai solusi, tidak hanya dalam politik, tetapi juga sebagai sistem ekonomi yang membebaskan—bukan sekadar mengganti dominasi lama dengan yang baru, melainkan membangun tatanan baru yang benar-benar adil.
Wallahu a'lam bishawab.

0 Komentar