
Oleh: Mujiman
Penulis
Jumat malam, sekitar pukul 22.30 WIB, tanggal 20 Juni 2025, saya baru saja pulang dari acara pertemuan pemuda. Saat memasuki jalan desa, saya melihat kerumunan orang. Awalnya saya mengira telah terjadi musibah, mungkin ada warga yang meninggal dunia. Namun, setelah saya mendekat, ternyata mereka sedang latihan joget untuk acara 22 Agustus 2025.
Saya pun langsung menancap gas, ingin segera tiba di rumah. Namun tak lama dari lokasi pertama, saya kembali berpapasan dengan rombongan pemuda lain yang juga tengah berlatih joget. Saya tetap melaju, tak terlalu memperhatikan mereka.
Sekitar pukul 23.15 saya tiba di rumah. Setelah membersihkan diri, saya langsung beristirahat. Sambil berbaring, saya mulai memikirkan kejadian yang baru saja saya saksikan. Saat itulah saya tersadar, ternyata mereka semua sedang mempersiapkan diri untuk karnaval! Ya, karnaval yang akan digelar pada bulan Agustus di desa kami, Desa Srimulyo.
Karnaval, Antara Kemeriahan dan Problematika
Kata karnaval langsung membangkitkan imaji kemeriahan, warna-warni, dan tawa riang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karnaval diartikan sebagai “pesta yang diadakan di jalan raya (lapangan dan sebagainya) yang biasanya berupa pawai berkostum, kendaraan hias, dan arak-arakan”. Definisi ini menangkap esensi karnaval sebagai perayaan publik yang penuh warna dan melibatkan partisipasi visual yang aktif.
Namun di balik gemerlapnya, karnaval juga menyimpan sejumlah persoalan yang patut ditinjau ulang secara kritis.
Jejak Sejarah Karnaval
Karnaval memiliki akar sejarah yang panjang, jauh sebelum era modern. Banyak sejarawan menyebut festival pagan Romawi seperti Saturnalia dan Lupercalia sebagai cikal bakal tradisi ini. Festival-festival tersebut sering melibatkan pembalikan norma sosial, pelepasan aturan, dan pesta pora menjelang musim dingin atau masa paceklik.
Seiring menyebarnya agama Kristen, tradisi-tradisi ini mengalami asimilasi. Karnaval lalu menjadi ajang perayaan menjelang masa Prapaskah (Lent), periode puasa dan pertobatan dalam kalender Kristen. Dari situlah muncul istilah carne vale (bahasa Latin) yang berarti “selamat tinggal daging”. Ini menjadi momen terakhir untuk berpesta sebelum memasuki masa pembatasan. Dari topeng misterius di Venesia, samba meriah di Rio de Janeiro, hingga Mardi Gras di New Orleans, setiap karnaval punya ciri khas dan sejarahnya sendiri.
Kebijakan Pemerintah dan Problematika di Balik Panggung
Pemerintah daerah umumnya menganggap karnaval sebagai aset budaya sekaligus motor penggerak pariwisata. Dukungan finansial, perizinan, dan promosi rutin diberikan. Namun di lapangan, implementasinya tak selalu mulus. Sejumlah persoalan sering kali muncul:
- Pertama, gangguan kebisingan: Sound system berdaya tinggi yang digunakan secara berlebihan kerap menimbulkan kebisingan melampaui batas wajar. Ini mengganggu ketenangan warga, khususnya mereka yang sedang sakit, lansia, atau membutuhkan istirahat. Hak atas kenyamanan lingkungan pun terlanggar.
- Kedua, penutupan jalan: Penutupan jalan demi keamanan karnaval berdampak langsung pada mobilitas warga. Kemacetan, terganggunya akses kendaraan darurat, dan terhambatnya aktivitas ekonomi menjadi konsekuensi tak terelakkan.
- Ketiga, pemaksaan iuran: Iuran atau pungutan untuk mendukung karnaval sering kali dipaksakan tanpa kejelasan hukum dan transparansi penggunaan dana. Ini bisa memberatkan warga, apalagi pelaku usaha kecil.
- Keempat, ketertiban dan keamanan: Kerumunan massa membuka peluang terjadinya pencopetan, perkelahian, atau gangguan ketertiban umum lainnya. Pengelolaan keamanan sering tidak optimal.
Kondisi ini menunjukkan perlunya kebijakan yang tak sekadar mendukung sisi budaya, tetapi juga peka terhadap potensi dampak negatif terhadap masyarakat.
Karnaval dalam Pandangan Islam
Dalam perspektif Islam, pandangan terhadap karnaval sangat bergantung pada isi dan pelaksanaannya. Islam tidak menolak kegembiraan atau ekspresi seni selama tidak melanggar syariat. Namun, beberapa hal berikut menjadi catatan kritis:
- Pertama, joget tak senonoh dan aurat terbuka: Joget-joget sensual dan pakaian terbuka jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Islam menuntut kesopanan, menjaga pandangan (ghadhul bashar), dan menghindari percampuran bebas antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (ikhtilat).
- Kedua, kelalaian ibadah dan potensi maksiat: Karnaval yang meriah bisa membuat orang lalai dari ibadah, bahkan terjebak dalam kemaksiatan.
- Ketiga, israf dan kesia-siaan: Pemborosan dana untuk kegiatan yang tidak membawa manfaat jangka panjang masuk kategori israf (berlebihan), yang jelas dilarang dalam Islam.
Namun demikian, pandangan yang lebih moderat tetap ada. Islam tidak anti-kesenian. Selama karnaval diselenggarakan dalam koridor syariah, menjunjung adab, dan membawa manfaat, ia bisa ditoleransi.
Solusi Islam, Menyelaraskan Budaya dan Syariat
Menyikapi realitas di atas, diperlukan solusi berbasis syariat Islam agar karnaval bisa menjadi ajang kebaikan, bukan pelanggaran nilai-nilai.
- Pertama, regulasi ketat dan pengawasan partisipatif: Pemerintah perlu membuat aturan ketat terkait penggunaan sound system, jam operasional, dan rute penutupan jalan, dengan mengedepankan hak warga sekitar. Libatkan tokoh agama dan masyarakat dalam perencanaannya.
- Kedua, transparansi dana: Jika ada iuran, harus dilakukan secara sukarela, dengan laporan keuangan yang transparan dan akuntabel.
- Ketiga, konten syar’i dan edukatif: Isi karnaval bisa diarahkan pada parade busana muslim, seni Islami seperti nasyid atau shalawat, serta tema sejarah Islam yang mendidik.
- Keempat, peneguhan akhlak dan etika: Peserta dan penonton diimbau menjaga akhlak Islami, pandangan, ucapan, pakaian, dan interaksi antar gender.
- Kelima, keamanan profesional: Manajemen massa harus ditingkatkan demi mencegah kriminalitas dan menjaga ketertiban.
- Keenam, hindari pemborosan: Anggaran harus digunakan efisien dan sesuai prioritas. Esensi bukan pada kemewahan, tapi nilai dan manfaatnya.
Jalan Tengah Menuju Kemaslahatan
Karnaval adalah fenomena budaya dengan dua sisi mata uang: antara hiburan dan potensi keburukan. Umat Islam ditantang untuk bersikap arif: tidak serta-merta menolak, tapi juga tidak larut dalam euforia yang melanggar syariat.
Jika dikelola dengan benar, berpijak pada nilai-nilai Islam, dan melibatkan masyarakat secara inklusif, karnaval bisa menjadi wahana edukatif, sarana kebersamaan, dan ajang kreativitas yang diridhai Allah ï·».
0 Komentar