BALITA TEWAS AKIBAT CACINGAN, NEGARA GAGAL MENJAMIN KESEHATAN


Oleh: Retno Purwaningtias, S.IP
Pegiat Literasi

Di sebuah rumah panggung sederhana di Sukabumi, seorang bocah tiga tahun terbaring dengan tubuh ringkih. Tulangnya menonjol, matanya sayu, napasnya tersengal. Tak seorang pun menduga, di balik tubuh sekecil itu bersarang hampir satu kilogram cacing yang perlahan-lahan merenggut kesehatannya. Hingga suatu hari, cacing-cacing itu keluar lewat hidung dan anusnya (Tempo, 20/8/2025).

Ibunya yang mengalami gangguan jiwa hanya bisa merintih tak berdaya, sementara sang ayah yang sakit paru-paru tak kuasa melakukan banyak hal selain memeluk tubuh mungil yang makin dingin. Tangisan pecah di rumah itu, menyayat hati tetangga yang menyaksikan. Nyawa seorang anak melayang, meninggalkan luka yang tak mungkin terhapus dari ingatan keluarganya.

Video peristiwa menyesakkan itu pun tersebar luas di media sosial. Orang-orang menutup mulutnya, tercekat melihat kenyataan pahit. Pertanyaan besar pun menggema, bagaimana mungkin di abad modern, ketika negeri ini bangga bicara tentang kecerdasan buatan, mobil listrik, bahkan ibu kota baru yang mewah, masih ada anak Indonesia yang mati hanya karena cacingan, penyakit klasik yang bisa dicegah dengan sabun dan air bersih.

Yang lebih menyayat, balita ini berasal dari keluarga miskin yang tak punya kartu keluarga dan BPJS. Sebelum meninggal, ia sempat didiagnosis sakit paru-paru. Namun pengobatan tak bisa dilanjutkan, sebab biaya menjadi tembok penghalang. Lingkungan tempatnya bermain pun jauh dari sehat. Ia kerap berlarian di kolong rumah bersama ayam, dengan lantai tanah basah dan bau kotoran yang menjadi sarang penyakit.

Tragedi ini bukan sekadar kisah duka sebuah keluarga, melainkan potret buram negeri. Nyawa anak-anak begitu rapuh, terancam penyakit yang sebenarnya sepele untuk dicegah. Betapa ironis, ketika di satu sisi pemerintah bangga memamerkan proyek-proyek raksasa, di sisi lain seorang anak kecil meregang nyawa karena perutnya dipenuhi cacing. Jurang antara “kemajuan” dan kenyataan rakyat begitu dalam, nyaris tak terjembatani.

Penulis menelanjangi dua hal mendasar. Pertama, kesenjangan sosial yang makin menganga. Anak-anak dari keluarga miskin sangat rentan terjebak dalam lingkaran stunting, gizi buruk, dan penyakit akibat sanitasi yang kotor. Dalam sistem hari ini, akses terhadap makanan bergizi, air bersih, dan lingkungan sehat bukanlah hak semua warga, melainkan privilege bagi mereka yang punya uang. Akibatnya, kemiskinan menjadi warisan turun-temurun. Jutaan anak tumbuh kerdil, bukan hanya tubuhnya, tapi juga kesempatan hidupnya.

Kedua, lemahnya sistem kesehatan dan jaminan sosial. Bagaimana mungkin rakyat kecil harus menunggu birokrasi kependudukan hanya untuk bisa berobat? Apakah nyawa seorang anak lebih murah dari selembar fotokopi kartu keluarga? Betapa pilu ketika orang tua berlari dari kantor ke kantor demi selembar kartu, sementara anak mereka meregang nyawa di pelukan. Sistem ini telah menjadikan pelayanan kesehatan sebagai komoditas, bukan kewajiban. Rumah sakit berorientasi pada untung rugi, bukan pada penyelamatan jiwa. Padahal, kesehatan adalah hak paling dasar, yang seharusnya diberikan tanpa syarat dan tanpa diskriminasi.

Lebih tragis lagi, klaim pemerintah tentang layanan kesehatan gratis dan pemerataan gizi ternyata hanya jargon kosong. Faktanya, akses kesehatan tetap bergantung pada dokumen administratif yang kerap tak dimiliki rakyat miskin. Sementara itu, anggaran justru dihamburkan pada proyek mercusuar seperti IKN, atau subsidi bagi pemilik modal. Nyawa rakyat kecil dibiarkan menjadi angka statistik, tak pernah benar-benar menjadi prioritas.

Kita bisa menyaksikan bersama gagalnya negara menyediakan lingkungan hidup yang sehat. Air bersih sulit didapat, sanitasi layak hanya milik sebagian kecil orang, edukasi kesehatan tak pernah menjangkau desa-desa miskin. Akibatnya, penyakit yang seharusnya bisa diberantas sejak puluhan tahun lalu terus merenggut korban. Padahal, pemenuhan kebutuhan dasar seperti air bersih dan sanitasi adalah tanggung jawab negara, bukan amal kebajikan yang bisa dikerjakan ala kadarnya.

Jelaslah, kesehatan rakyat tak bisa dipisahkan dari struktur ekonomi yang timpang. Sumber daya alam melimpah dikeruk demi segelintir elite dan asing, sementara rakyat kecil hanya kebagian remah. Maka jangan heran bila gizi buruk, sanitasi buruk, dan kemiskinan saling mengunci dalam lingkaran setan yang tak pernah usai.

Yang lebih mengerikan, kesehatan kini berubah menjadi komoditas. Obat-obatan, layanan medis, hingga rumah sakit swasta berjalan dengan logika bisnis. Yang mampu membayar, selamat. Yang tak mampu, tereliminasi. Seolah-olah nyawa manusia bisa ditakar dengan rupiah. Bukankah ini bentuk nyata ketidakadilan paling keji?

Kapitalisme telah menempatkan kesehatan sebagai sektor bisnis, bukan amanah. Jaminan kesehatan hanyalah tambal sulam penuh iuran, birokrasi, dan antrean panjang. Negara absen sejak awal, tidak serius mengedukasi, tidak merata memenuhi gizi, tidak memastikan sanitasi. Padahal, semua itu adalah kebutuhan dasar yang wajib dijamin penuh.

Kita bisa menyimpulkan bahwa peristiwa ini bukanlah sekadar soal lemahnya birokrasi, tetapi persoalan sistemik. Negara hari ini bukan benar-benar menjadi pengurus rakyat, melainkan penjaga kepentingan segelintir pihak. Maka tragedi semacam ini akan terus berulang, sebab asas pengaturan masyarakat tidak berorientasi pada nyawa dan kesejahteraan manusia.

Berbeda dengan sistem Islam yang menempatkan negara sebagai penanggung jawab penuh atas rakyat. Islam tak membiarkan kesehatan diperlakukan sebagai komoditas. Negara wajib menyediakan layanan kesehatan gratis dan berkualitas, menjamin distribusi pangan bergizi, dan mengelola kekayaan alam untuk kepentingan rakyat, bukan investor. Sejarah membuktikan, peradaban Islam mampu menanggulangi penyakit menular dengan kebijakan tegas, distribusi adil, dan pelayanan kesehatan prima.

Rasulullah ﷺ bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اْلْ ِمَامُ ر
Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari-Muslim). Hadis ini mengingatkan, negara tidak boleh membiarkan rakyat mati hanya karena biaya atau administrasi.

Allah ﷻ pun berfirman:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu alasan yang benar.” (QS. Al-Isra [17]: 33).

Ayat ini menegaskan, setiap nyawa begitu berharga. Membiarkan rakyat mati karena penyakit sepele adalah kelalaian besar yang akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.

Kasus balita di Sukabumi bukanlah insiden biasa. Ia adalah potret kegagalan sistem yang tak lagi mampu menjaga hak dasar rakyat. Selama kesehatan dianggap beban anggaran, bukan amanah, tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu.

Pertanyaannya, berapa lagi anak-anak kecil yang harus meregang nyawa, sebelum negeri ini sadar bahwa nyawa manusia tak bisa ditukar dengan proyek mercusuar atau angka pertumbuhan ekonomi?

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar