GENOSIDA SADIS DI GAZA: KETIKA KELAPARAN MENJADI SENJATA PEMUSNAH MASSAL


Oleh: Abu Ghazi
Pemerhati Kebijakan Publik

Di tengah gempuran rudal dan reruntuhan bangunan yang menyisakan debu dan duka, ada senjata lain yang digunakan Zionis Israel namun tidak terlihat, tapi sangat mematikan: kelaparan! Sejak Oktober 2023, Gaza tak hanya dibombardir dengan roket, tapi juga dibekap dalam diam oleh senjata pemusnah masal yaitu ‘lapar’. Blokade total yang dilakukan oleh entitas Zionis Israel memutus seluruh jalur pasokan makanan, air bersih, bahan bakar, dan obat-obatan.

Tak ada suara ledakan, tak ada sirine. Hanya perut-perut kosong yang mengerut, tubuh-tubuh kurus yang mengering, dan tangis anak-anak yang tak bisa lagi disusui ibunya karena tubuh sang ibu pun nyaris tak bernyawa.

Sejak awal tahun 2025, bencana kelaparan telah menjalar seperti api dalam sekam. World Food Programme (WFP) menyatakan Gaza telah memasuki fase “catastrophic hunger”, tahap kelima (terakhir) dalam klasifikasi darurat pangan dunia. Ini bukan hanya darurat. Ini adalah kehancuran total.


Kelaparan yang Disengaja

Pada awal Juli 2025, Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, dengan gamblang menyatakan dalam laman Times of Israel bahwa:

Mereka harus dihancurkan, dibiarkan kelaparan, dan tidak diberi bantuan kemanusiaan yang justru memberi mereka oksigen untuk bertahan hidup.

Pernyataan itu bukan sekadar retorika. Ia adalah kebijakan.

Lebih dari 1.000 truk bantuan dihancurkan. Ribuan warga yang mengantre makanan dijadikan sasaran tembak. Tak peduli anak-anak, lansia, atau perempuan. Sejak Mei 2025, lebih dari 1.060 warga Gaza tewas hanya karena mencoba mencari makan. 7.200 lainnya terluka.

WFP mencatat, 90.000 perempuan dan anak-anak kini menderita malnutrisi berat. Bahkan 70.000 di antaranya membutuhkan perawatan medis segera. Rumah sakit pun tak bisa berbuat banyak. Unit cuci darah di RS Al-Shifa lumpuh karena kehabisan bahan bakar akibat blokkade berkepanjangan. Mirisnya, petugas medis pun pingsan karena kelaparan.

PBB pada akhirnya menyebut situasi ini sebagai “krisis kemanusiaan ekstrem”. Tapi, seperti biasa, dunia hanya mencatat, mengecam dan bersedih. Tidak bergerak.


Racun dalam Bantuan, Kematian dalam Harapan

Tak hanya memblokade bantuan, militer Israel juga menyusupkan racun ke dalam bahan makanan yang mereka salurkan. Tepung-tepung yang dibagikan lewat jalur yayasan bekingan Zionis seperti Gaza Humanitarian Foundation (GHF) ditemukan mengandung narkotika. Bantuan yang seharusnya menghidupkan justru ditujukan untuk mematikan dengan cara perlahan dan licik.

Pada 27 Juli 2025, ketika sebagian warga Gaza menaruh harapan pada bantuan airdrop yang dijatuhkan dari udara, sebuah tragedi kembali terjadi. Sebelas warga Gaza terluka karena paket bantuan menimpa tenda-tenda pengungsi. Ini menambah daftar panjang korban dari kebijakan distribusi yang ceroboh. Dan tragisnya, hal itu menjadi satu-satunya cara yang tersisa karena semua jalur darat telah diblokade.


Rezim-Rezim Arab dan Pengkhianatan yang Nyata

Di sisi lain perbatasan, rezim Mesir justru menutup gerbang Rafah, satu-satunya jalur darat untuk bantuan masuk ke Gaza. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena tunduk pada tekanan geopolitik. Presiden As-Sisi beralasan bahwa membuka Rafah bisa memicu ketidakstabilan dan gelombang pengungsi. Padahal, pada tahun 2023, rezim yang sama pernah membuka Rafah demi mengevakuasi warga negara Amerika. Jika untuk warga Amerika bisa, mengapa untuk warga Gaza tidak?

Lebih parah lagi, rezim Mesir menekan Imam Al-Azhar, Ahmad Al-Tayeb, agar mencabut pernyataannya yang mengecam kekejaman Zionis. Alasannya sederhana: menjaga hubungan baik dengan penjajah dan memastikan proses negosiasi tidak terganggu. Mereka takut pada manusia, tapi tak takut pada Allah ﷻ.


Islam Mencela Pengkhianat dan Pengecut

Sungguh memilukan. Di saat anak-anak Palestina menahan lapar hingga kulit mereka menempel ke tulang, para tetangga mereka (penguasa negeri-negeri Muslim) justru tidur nyenyak dalam selimut kemewahan dan keamanan. Mereka membiarkan saudara seiman mereka kelaparan, seolah tak pernah mengenal sabda Rasulullah ﷺ yang memperingatkan dengan tegas dan tajam:

لَيْسَ بِمُؤْمِنٍ مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ، وَجَارُهُ إِلَى جَنْبِهِ جَائِعٌ وَهُوَ يَعْلَمُ
Bukanlah Mukmin, orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangga di sampingnya kelaparan, padahal ia tahu.” (HR. Abu Ya’la)

Juga sabda beliau ﷺ:

مَا ‌مِنِ ‌امْرِئٍ ‌يَخْذُلُ امْرَأً مُسْلِمًا فِي مَوْطِنٍ تُنْتَهَكُ فِيهِ حُرْمَتُهُ، وَيُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ، إِلَّا خَذَلَهُ اللَّهُ فِي
Tidaklah seorang muslim menelantarkan saudaranya, sementara kesucian dan kehormatan saudaranya itu telah direndahkan, melainkan Allah pun akan menelantarkannya di akhirat.” (HR. Ahmad)

Apa lagi yang tersisa dari iman para penguasa dunia Islam, ketika mereka menggelontorkan ribuan triliun rupiah ke Amerika Serikat (negara yang secara terang-terangan menopang agresi Israel) namun hanya setetes yang mereka kucurkan ke Gaza?


Gaza dan Realita Dunia yang Buta

Hari ini, 59.676 warga Palestina telah gugur sejak agresi yang dimulai pada Oktober 2023. Ribuan masih terkubur di bawah reruntuhan. 122 di antaranya meninggal karena kelaparan, termasuk 83 anak-anak. Israel menyasar pencari makanan, pasien, hingga anak-anak malnutrisi. Bahkan remaja yang sekadar mencari air pun ditembak mati.

Di Tepi Barat, 25 warga Palestina ditangkap dalam satu malam. Di Gaza, 15 orang terbunuh dalam satu hari, lima di antaranya karena kelaparan. Semua terjadi di tengah jeda kemanusiaan yang seharusnya memberi napas. Tapi bagi Israel, jeda hanyalah jeda untuk menata peluru.


Jangan Lagi Berharap pada Dunia

PBB sejak lama tak lebih dari sekadar alat legitimasi Amerika dan sekutunya untuk melanggengkan penjajahan atas dunia agar mereka selalu terlihat bersih dan legal. Negara-negara Barat (Eropa, Amerika, Australia) juga bukan penengah, tapi justru pendana utama genosida ini. Ironisnya, para penguasa negeri-negeri Islam yang memiliki kekuatan militer, cadangan energi, dan potensi ekonomi justru memilih bungkam, bahkan bersekongkol demi menjaga relasi dengan penjajah.

Lalu, apakah umat Islam masih akan terus berharap pada mereka? Sudah saatnya umat menyadari bahwa keadilan tidak akan datang dari lembaga internasional atau negara-negara penjajah, melainkan hanya bisa diwujudkan dengan kekuatan sendiri, dalam naungan Islam yang diterapkan secara menyeluruh (kaffah).


Khilafah dan Jihad, Bukan Retorika Kosong

Saatnya umat menyadari: kemenangan bukan datang dari meja diplomasi, tetapi dari ketaatan pada perintah Allah. Gaza tidak butuh simpati, tapi butuh pembebasan. Dan pembebasan itu tak akan datang kecuali dari kekuatan riil: Jihad fi Sabilillah di bawah komando Khilafah Islamiyah.

Allah ﷻ telah berfirman:

وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka. Usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian. Fitnah (kekufuran) itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan.” (QS. al-Baqarah: 191)

Dan pada Hari Kiamat kelak, Allah ﷻ akan berkata:

يَا ابْنَ آدَمَ، اسْتَطْعَمْتُكَ، فَلَمْ تُطْعِمْنِى. قَالَ: يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ، وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِى فُلاَنٌ، فَلَمْ تُطْعِمْهُ. أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ، لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى
“Wahai Anak Adam! Aku pernah meminta makan kepadamu, tapi kamu tidak memberiku makan.” Anak Adam menjawab, “Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku memberi-Mu makan, sementara Engkau adalah Tuhan seluruh alam?” Allah berkata, “Tidakkah kamu tahu bahwa hamba-Ku, si fulan, pernah meminta makan kepadamu, tapi kamu tidak memberinya? Tidakkah kamu tahu bahwa jika kamu memberinya makan, kamu pasti akan mendapatkan pahalanya di sisi-Ku?” (HR. Muslim)

Gaza bukan sekadar medan perang: ia adalah cermin besar yang memantulkan wajah kemanusiaan dan keimanan. Di balik puing-puing bangunan dan darah syuhada, Gaza mempertanyakan nurani kita: siapa yang benar-benar peduli, dan siapa yang hanya berpura-pura? Dunia yang konon menjunjung hak asasi manusia justru bungkam terhadap genosida Israel. Sementara itu, para penguasa negeri-negeri Muslim hanya menjadi penonton, sibuk menjaga hubungan diplomatik dengan penjajah, tetapi abai terhadap penderitaan saudara seiman.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa umat Islam butuh lebih dari sekadar simpati dan bantuan kemanusiaan: umat butuh sistem yang menyatukan dan menggerakkan. Hanya Khilafah yang mampu menyatukan kekuatan umat, memobilisasi potensi militer dan kekayaan negara-negara Muslim, serta menyerukan jihad yang sah untuk membebaskan Palestina dari penjajahan. Tanpa Khilafah, seruan jihad akan terus menjadi gema kosong tanpa pelaksanaan nyata.

Wallahu a'lam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar