
Oleh: Diaz
Jurnalis
Dalam peta geopolitik Timur Tengah, Israel berdiri sebagai entitas yang tidak hanya lahir dari proyek kolonial, tetapi juga menjadi alat strategis kekuatan besar Barat (terutama Amerika Serikat) untuk mengontrol kawasan. Keterkaitan antara Israel dan Rusia, ditambah sokongan tanpa batas dari Amerika Serikat, menciptakan jejaring rumit yang menyatukan kepentingan militer, teknologi, dan dominasi atas sumber daya. Di balik semua itu, ada benang merah yang jarang diungkap: Palestina adalah korban dari proyek panjang kolonialisme modern yang hanya bisa dihentikan dengan kekuatan politik umat Islam.
Akar Sejarah dan Peran Rusia dalam Kekuatan Militer Israel
Sejarah hubungan Israel–Rusia memiliki akar panjang. Pada tahun 1947, Uni Soviet termasuk pihak yang mendukung secara signifikan Resolusi Majelis Umum PBB yang menjadi pintu awal terbentuknya negara Israel. Namun, hubungan kedua pihak memburuk setelah Perang Enam Hari 1967, ketika Soviet memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan mengalihkan dukungannya kepada negara-negara Arab.
Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 menjadi titik balik. Israel dan Rusia memulihkan hubungan, yang diperkuat oleh migrasi massal sekitar 1,5 juta orang Yahudi dari wilayah bekas Uni Soviet pada akhir 1980-an hingga 1990-an. Di antara mereka, ratusan ribu adalah insinyur, ilmuwan, dan pakar teknologi lulusan sistem pendidikan Soviet yang ketat di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika.
Para imigran ini menjadi tulang punggung industri pertahanan Israel. Mereka berperan besar dalam pengembangan sistem radar, teknologi dirgantara, sistem pertahanan udara seperti Iron Dome, rudal Arrow, teknologi drone, dan keamanan siber. Keahlian teknis mereka dipadukan dengan budaya inovasi Israel, menjadikan negeri ini salah satu eksportir teknologi pertahanan terbesar di dunia.
Kerja sama formal militer Israel–Rusia terjalin melalui Memorandum of Mutual Understanding in Military Cooperation (1995) dan semakin menguat pada 2010 dengan kesepakatan melawan terorisme serta pengembangan teknologi, termasuk penjualan drone Israel ke Rusia. Kendati begitu, situasi di Suriah setelah intervensi Rusia pada 2015 mendorong Israel dan Moskow membangun mekanisme dekonflik untuk mencegah terjadinya benturan antara operasi militer Israel dan kepentingan Rusia di wilayah tersebut.
Namun, kedekatan ini tidak lepas dari kontradiksi: Rusia tetap bersahabat dengan Iran (musuh utama Israel) sementara Israel menjaga hubungan strategis dengan AS. Invasi Rusia ke Ukraina (2022) membuat Israel berada di posisi sulit, dan memilih netral demi mempertahankan koordinasi militer di Suriah.
AS dan Fungsi Strategis Israel di Timur Tengah
Meski hubungan Israel–Rusia unik, pengaruh terbesar dalam keberlangsungan Israel tetap datang dari Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat, keberadaan Israel menjadi alat strategis untuk menanamkan rasa takut di dunia Arab, sehingga mendorong negara-negara di kawasan tersebut membeli persenjataan dari industri militer AS. Prinsip perdagangan senjata AS jelas: teknologi yang dijual ke Arab tidak boleh melebihi kecanggihan senjata yang dimiliki Israel.
Inilah sebabnya kekuatan militer Arab Saudi, misalnya, tidak diarahkan untuk melawan Israel, tetapi justru digunakan untuk memerangi sesama Muslim seperti di Yaman. Israel juga menjadi dalih sah bagi AS untuk mempertahankan kehadiran militer di kawasan, mengontrol sumber daya energi, jalur perdagangan, dan memantau potensi kebangkitan kekuatan politik Islam seperti Khilafah.
Zionisme: Proyek Kolonial yang Disahkan Dunia Internasional
Untuk memahami konflik ini, kita harus kembali ke akhir abad ke-19. Theodor Herzl, bapak Zionisme, mencoba membeli Palestina dari Sultan Abdul Hamid II pada 1896 dengan tawaran £20 juta. Tawaran ini ditolak mentah-mentah. Herzl lalu menggelar Kongres Zionis Pertama (1897) yang melahirkan cita-cita pendirian negara Yahudi di Palestina, proyek yang didukung bankir-bankir Yahudi Eropa.
Setelah gagal membujuk Khilafah, Herzl beralih ke Inggris. Kesempatan datang saat Perang Dunia I: Inggris mengkhianati janji kemerdekaan bagi Arab, mengeluarkan Deklarasi Balfour (1917) yang mendukung pendirian negara Yahudi, lalu memperoleh mandat atas Palestina dari Liga Bangsa-Bangsa. Sejak saat itu, arus migrasi Yahudi ke Palestina dipercepat, diiringi dengan penindasan kejam terhadap warga Palestina.
Puncaknya terjadi pada peristiwa Nakba tahun 1948, ketika lebih dari 800.000 rakyat Palestina dipaksa mengungsi dari tanah mereka. Israel terus memperluas wilayahnya melalui perang 1967 (Naksa), pendudukan Tepi Barat dan Gaza, hingga blokade total terhadap Gaza sejak 2006. Invasi berulang ke Gaza (2008, 2012, 2014, 2021) menewaskan ribuan warga sipil. Genosida 2023–2025 menambah daftar panjang kejahatan perang yang disiarkan langsung ke seluruh dunia.
Kebuntuan Solusi Internasional dan Ilusi Two-State Solution
PBB, yang sejak awal mengakui Israel, terbukti tidak berdaya menghentikan agresi. Negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, secara konsisten memberikan dukungan dalam bentuk politik, keuangan, dan militer. Negara-negara Arab mayoritas memilih diam atau bahkan bekerja sama dengan Israel melalui normalisasi hubungan.
Gagasan two-state solution hanyalah legalisasi penjajahan. Palestina adalah tanah kharajiyah yang dibebaskan oleh Umar bin Khattab dari Romawi, dilindungi melalui Perjanjian Umariyah yang melarang Yahudi tinggal di Baitul Maqdis. Sejarah menunjukkan, pembebasan Palestina selalu dipimpin oleh penguasa Muslim yang memiliki kekuatan politik dan militer, seperti Shalahuddin al-Ayyubi.
Solusi Sejati: Khilafah dan Persatuan Umat
Realitasnya, konflik Palestina–Israel bukan sekadar sengketa dua bangsa, melainkan bagian dari strategi kolonial global untuk melemahkan umat Islam. Israel berperan sebagai ujung tombak imperialisme Barat di kawasan Timur Tengah. Selama sistem global saat ini bertahan, agresi akan terus berulang.
Satu-satunya solusi yang terbukti secara historis adalah kembalinya kepemimpinan Islam yang mampu memobilisasi kekuatan umat, menghapus belenggu nasionalisme, dan mengembalikan ukhuwah islamiyah. Rasulullah ï·º bersabda:
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا اْلإِÙ…َامُ جُÙ†َّØ©ٌ ÙŠُÙ‚َاتَÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ ÙˆَرَائِÙ‡ِ ÙˆَÙŠُتَّÙ‚َÙ‰ بِÙ‡ِ
“Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung...” (HR. Muslim).
Khilafah bukan hanya konsep teologis, tetapi mekanisme politik untuk melindungi umat, mengatur sumber daya, dan menegakkan hukum Allah secara menyeluruh. Dengan Khilafah, umat Islam memiliki kekuatan yang sepadan untuk mengusir penjajah, membebaskan Palestina, dan mengakhiri hegemoni imperialisme Barat.
0 Komentar