KEADILAN SEJATI TIDAK LAHIR DARI HUKUM SEKULER


Oleh: Abu Ghazi
Pengamat Kebijakan Publik

Sampai kapan kita harus menyaksikan hukum dipermainkan layaknya pion di papan catur politik? Hari ini, seseorang bisa lolos dari jerat hukum hanya karena memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Esok harinya, orang lain justru dijadikan tumbal demi menjaga citra penguasa. Inilah wajah asli sistem hukum sekuler: tajam menusuk rakyat kecil, tetapi tumpul ketika berhadapan dengan penguasa dan kroninya. Rakyat dipaksa patuh, keadilan dikhianati, dan kehormatan hukum pun terinjak-injak.


Keadilan yang Terluka

Keadilan adalah salah satu pilar terpenting dalam kehidupan bernegara. Ia ibarat tiang penyangga bangunan: jika rapuh, maka seluruh bangunan akan runtuh. Dalam konteks negara, jika pilar keadilan runtuh, maka rakyat akan hidup dalam ketidakpastian hukum, rasa aman akan menghilang, dan kepercayaan publik pun terkikis. Sayangnya, di negeri ini, pilar tersebut semakin retak karena sistem peradilan yang ada dibangun di atas pondasi hukum sekuler, aturan yang lahir dari akal dan kepentingan manusia, bukan wahyu Allah ﷻ.

Kasus terbaru yang menjadi sorotan adalah keputusan Presiden memberi abolisi kepada Thomas Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto. Publik umumnya sepakat bahwa Thomas Lembong layak dibebaskan karena dinilai sebagai korban kriminalisasi hukum. Namun, pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto justru memantik kritik keras. Banyak pihak menilai kebijakan ini sarat kepentingan politik, mencederai rasa keadilan, dan semakin merusak kredibilitas sistem hukum yang sudah lama bermasalah.

Di balik polemik ini, kita perlu jujur mengakui bahwa dalam sistem hukum sekuler, Presiden memang memiliki kewenangan absolut untuk memberi amnesti, abolisi, bahkan remisi, termasuk kepada koruptor sekalipun. Wewenang seperti ini menempatkan Presiden seolah berada di atas pengadilan. Dengan kata lain, satu tanda tangan dari penguasa bisa mengubah nasib seorang terdakwa, terlepas dari benar atau salahnya putusan hukum sebelumnya. Inilah celah yang membuka peluang intervensi politik dan menciptakan ketidakadilan struktural.


Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Realitas yang berulang di negeri ini adalah hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat kecil yang melakukan pelanggaran ringan bisa langsung dijerat, bahkan dengan hukuman maksimal. Sementara para elit politik atau pengusaha besar, yang terjerat kasus raksasa seperti korupsi ratusan triliun, sering kali lolos dari jeratan hukum.

Contohnya, kasus dugaan korupsi di PT Pertamina dengan nilai fantastis ratusan triliun rupiah. Hingga kini, kasus tersebut tak jelas ujungnya, tak satu pun yang dijadikan tersangka, bahkan nyaris tak terdengar kelanjutannya. Belum lagi deretan kasus korupsi besar lain yang seperti sengaja diabaikan.

Fenomena ini membuat rakyat semakin kehilangan kepercayaan terhadap hukum. Bagaimana mungkin percaya pada sistem yang nyata-nyata berpihak kepada elit dan menindas rakyat jelata? Inilah buah dari hukum sekuler yang bertumpu pada akal manusia dan kepentingan segelintir orang, bukan pada wahyu Allah ﷻ.


Islam: Peradilan Bebas Intervensi dan Berlandaskan Iman

Berbeda dengan hukum sekuler, Islam memiliki sistem peradilan yang kokoh, adil, dan sepenuhnya bebas dari intervensi politik. Sumber hukumnya adalah wahyu Allah ﷻ yang suci dari kepentingan kelompok atau individu. Allah berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Hak memutuskan hukum itu hanya ada pada Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dialah Pemberi keputusan terbaik.” (QS. al-An’am [6]: 57)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ
Siapa pun yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah, mereka itulah pelaku kezaliman” (QS. al-Maidah [5]: 45).

Imam al-Mawardi menegaskan, dalam sistem Islam, orang kafir tidak boleh diangkat sebagai hakim untuk mengadili kaum Muslim, bahkan untuk perkara sesama non-Muslim. Alasannya sederhana: mereka tidak memutuskan berdasarkan hukum Allah.

Hakim (qâdhi) dalam Islam bekerja sepenuhnya berdasarkan syariat, tidak tunduk pada tekanan penguasa atau opini publik. Bahkan seorang Khalifah pun tidak berhak membatalkan putusan hakim yang sah, kecuali jika terbukti ada kesalahan prosedural atau ditemukan bukti baru yang kuat.

Sistem pembuktiannya pun ketat dan objektif. Rasulullah ﷺ bersabda:

الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
Menghadirkan bukti adalah kewajiban pihak yang menuduh, dan sumpah adalah keharusan pihak yang dituduh.” (HR. at-Tirmidzi)

Dengan mekanisme ini, tidak ada vonis tanpa dasar, tidak ada manipulasi alat bukti, dan tidak ada yang kebal hukum.


Sejarah Emas Keadilan Islam

Sejarah Islam memberikan banyak contoh nyata tentang keadilan tanpa pandang bulu. Imam Ali ra., saat menjadi Khalifah, pernah kalah perkara melawan seorang kafir dzimmi karena tidak memiliki bukti kuat. Beliau menerima keputusan itu dengan lapang dada, tanpa menggunakan kekuasaannya untuk mengubah putusan. Kejujuran ini membuat lawannya masuk Islam.

Khalifah Umar ra. dikenal tidak segan diawasi rakyat. Dalam satu peristiwa, beliau diminta menjelaskan asal-usul jubah yang dipakainya. Alih-alih marah, beliau menjelaskan bahwa jubah itu pemberian budaknya, sebuah teladan keterbukaan yang nyaris mustahil ditemukan di penguasa zaman sekarang.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz bahkan memerintahkan pasukan Islam keluar dari Samarkand karena masuk tanpa prosedur dakwah terlebih dahulu. Keputusan ini ditaati sepenuhnya oleh pasukan, dan penduduk Samarkand yang terkesan akhirnya banyak yang memeluk Islam.

Khalifah Harun ar-Rasyid pun dikenal tegas mengangkat qâdhi yang adil dan mencopot pejabat zalim tanpa kompromi. Semua kisah ini membuktikan bahwa keadilan dalam Islam bukan sekadar slogan, tetapi sistem yang dijalankan dengan konsisten.


Tidak Ada Amnesti atau Abolisi Politik

Dalam sistem peradilan Islam, tidak ada mekanisme banding berlapis yang melelahkan, tidak ada kasasi yang bisa diatur, apalagi intervensi penguasa melalui abolisi atau amnesti. Independensi peradilan dijaga mutlak.

Jika keputusan hakim sudah sesuai syariat dan kaidah ijtihad, maka keputusan itu mengikat dan tidak bisa dibatalkan oleh siapa pun, termasuk Khalifah. Inilah yang menjaga kredibilitas hukum di tengah masyarakat.


Solusi: Kembali pada Sistem Islam Kaffah

Selama hukum tunduk pada hawa nafsu manusia, kezaliman akan terus hidup. Keadilan sejati hanya akan tegak jika hukum bersandar pada wahyu Allah ﷻ. Itulah sebabnya umat harus kembali menerapkan Islam secara kaffah, termasuk sistem peradilan, melalui institusi pemerintahan Islam yaitu Khilafah.

Di bawah Khilafah, tidak ada satu pun yang kebal hukum, bahkan Khalifah sekalipun. Tidak ada kasus yang ditutup-tutupi demi kepentingan politik. Tidak ada keadilan yang bisa dibeli.

Allah ﷻ memerintahkan:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Maidah [5]: 8)

Saatnya kita meninggalkan sistem hukum sekuler yang telah berulang kali mengkhianati keadilan. Saatnya kembali pada hukum Allah yang membawa keadilan hakiki bagi semua, tanpa pandang bulu.

Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar