MENYINGKAP SEJARAH NEGERI KHALIFATUL KHAMIS


Oleh: Zaid Abu Fatih
Penulis Lepas

Bayangkan sebuah pulau di ujung tenggara Sulawesi, tempat ombak menyapu pantai dengan lembut, dan angin laut membawa bisikan masa lalu. Di sanalah berdiri sebuah kerajaan Islam yang pernah dijuluki Khalifatul Khamis, “Khalifah Kelima”. Sebutan yang tidak main-main, sebab ia mewarisi spirit kepemimpinan empat khalifah agung: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu ‘anhum.

Gelar ini disematkan pada Kesultanan Buton. Bukan hanya simbol kehormatan, melainkan penegasan bahwa sultan-sultan Buton berusaha menegakkan syariat Islam sebagaimana yang diwariskan Khulafaur Rasyidin. Filosofinya jelas: pemimpin di Buton tidak sekadar raja lokal, tetapi dianggap bagian dari mata rantai peradaban Islam dunia.


Jejak Peradaban yang Menyala dari Madinah ke Nusantara

Ketika kita menyebut nama Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, sesungguhnya kita sedang menyebut empat tiang yang menyangga bangunan besar peradaban Islam. Dari tangan merekalah hukum Allah ditegakkan, jihad menyala, dan dua kekaisaran raksasa (Persia dan Romawi) takluk di bawah panji tauhid.

Namun sinar itu tidak berhenti di Madinah. Ia merambat, menembus gurun, menyeberangi lautan, lalu sampai ke negeri jauh yang terdiri atas ribuan pulau: Nusantara. Dan uniknya, cahaya Islam datang bukan lewat pasukan perang, melainkan lewat dakwah yang lembut.

Para pedagang Muslim, dengan akhlak yang jujur dan tutur kata yang santun, menjadi utusan tak resmi Islam. Pernikahan dengan penduduk lokal, ikatan persaudaraan, serta teladan adab mulia, membuat Islam tumbuh di hati masyarakat. Tak lama, Islam bukan hanya keyakinan pribadi, melainkan menjadi identitas sebuah bangsa kepulauan.


Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara

Sejarah mencatatnya dengan jelas. Aceh Darussalam dikenal sebagai Serambi Mekkah, tempat para ulama menimba ilmu sebelum berhaji. Demak di Jawa Tengah mendirikan Masjid Agung yang hingga kini masih berdiri gagah, saksi bisu lahirnya sebuah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Ternate dan Tidore di Maluku menjalin persaudaraan erat dalam bingkai ukhuwah Islamiyah.

Dan di Buton, sebuah struktur politik Islam yang rapi dibangun, dengan sultan sebagai pemimpin yang diakui rakyat sekaligus dihormati dunia Islam. Gelar “Khalifatul Khamis” menjadi tanda bahwa negeri ini tidak berdiri sendiri.

Fakta sejarah bahkan menunjukkan, para sultan di Nusantara kerap berhubungan dengan Khalifah di pusat kekuasaan Islam. Surat-surat dikirim, baiat dilakukan, hubungan ukhuwah dijalin. Semua itu menegaskan bahwa Nusantara merupakan bagian dari rumah besar umat Islam.


Menapaki Negeri Khalifatul Khamis Hari Ini

Kini, jika engkau berkunjung ke Buton, mungkin yang terlihat adalah benteng megah, museum, atau jejak peninggalan sejarah. Tetapi sejatinya, menjelajahi negeri Khalifatul Khamis bukan sekadar perjalanan fisik. Ia adalah perjalanan batin, menyingkap kembali jati diri bahwa kita (umat Islam di Nusantara) pernah menjadi bagian dari barisan besar kaum Muslimin dunia.

Dulu, Aceh, Jawa, Sulawesi, Maluku, hingga Papua terikat dalam simpul ukhuwah Islamiyah global, di bawah naungan Khilafah Islamiyyah. Satu kesatuan yang memayungi umat dengan wibawa, keadilan, dan rahmat.

Sayangnya, hari ini kita dipaksa menerima batas-batas sempit yang diwariskan kolonial. Nasionalisme dijejalkan, seolah-olah kita cukup puas dengan jargon “NKRI harga mati”. Padahal, bukankah lebih agung bila kita kembali ke rumah besar umat, di mana tidak ada sekat bangsa, warna kulit, atau bahasa?


Spirit yang Harus Dibangkitkan

Di titik ini, pertanyaan penting muncul: beranikah kita membangkitkan kembali spirit itu? Beranikah kita melihat Indonesia bukan sekadar “tanah airku”, melainkan “negeri umatku”?

Sungguh, demokrasi hari ini telah menjadikan rakyat sekadar komoditas lima tahunan. Suara dibeli, janji dijual, lalu rakyat ditinggalkan. Maka sudah saatnya kita menoleh kembali pada sistem yang pernah mempersatukan dua pertiga dunia dalam satu panji.

Khilafah bukanlah khayalan. Ia pernah hidup, nyata, dan membawa rahmat bagi seluruh manusia. Sejarah menuliskannya dengan tinta emas. Maka pilihan kini berada di tangan kita: terus bertahan dalam sistem usang warisan asing, atau kembali ke pangkuan rumah besar umat yang bernama Khilafah Islam.

Allahu a‘lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar