NURANI IBU TERKIKIS, JUAL BAYI KARENA HIDUP MIRIS


Oleh: Azzah Fathinah Ulya
Pemerhati Remaja

Sekejam-kejamnya harimau, tak akan memangsa anaknya sendiri.

Namun, peribahasa itu tampaknya tak lagi berlaku di kehidupan nyata. Bagaimana hati tak tersentuh ketika mendengar ada seorang ibu yang tega menjual buah hatinya sendiri?

Dilansir beritasatu.com, Selasa (15/7/2025), Polda Jawa Barat membongkar sindikat penjualan bayi lintas negara. Data menunjukkan sudah 24 bayi asal Jawa Barat terjual dengan harga belasan juta rupiah. Lebih mengejutkan lagi, penjualan ini dirancang sejak bayi masih dalam kandungan. Para sindikat membiayai ibu hamil hingga proses persalinan. Ironisnya, kasus ini semakin runyam karena melibatkan oknum pejabat dukcapil yang memalsukan dokumen bayi. Sungguh, fenomena memilukan yang menunjukkan betapa naluri keibuan (yang seharusnya penuh kasih sayang) tercerabut dalam kehidupan yang serba sulit.

Kejahatan ini tentu bukan muncul begitu saja. Ia adalah buah pahit dari persoalan mendalam yang belum terpecahkan: mulai dari kemiskinan struktural hingga rapuhnya keimanan pada konsep rezeki yang sejatinya telah dijamin Sang Pencipta.


Kemiskinan yang Menyesakkan

Salah satu pemicu utama penjualan bayi adalah kemiskinan yang kian menjerat. Saat kebutuhan pokok sulit dipenuhi, pekerjaan langka, dan harga-harga semakin melambung, sebagian orang terdesak mencari jalan pintas yang kelam. Menjual bayi pun dianggap sebagai solusi instan untuk memperoleh uang dalam jumlah besar. Tragis, nyawa yang seharusnya dijaga justru diperdagangkan demi bertahan hidup.

Sayangnya, sistem sekularisme dan kapitalisme yang berlaku hari ini tak hadir sepenuhnya untuk menolong rakyat. Negara lebih berperan sebagai fasilitator dan regulator, bukan pengayom dan pelindung. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri memenuhi kebutuhan, seolah status sebagai warga negara hanya sebatas administrasi. Akibatnya, kejahatan-kejahatan seperti penjualan bayi pun sulit dihentikan.


Lemahnya Iman terhadap Konsep Rezeki

Selain faktor ekonomi, lemahnya iman juga menjadi penyebab utama. Ketika keyakinan bahwa Allah menjamin setiap rezeki mulai goyah, manusia terdorong menempuh jalan haram tanpa rasa bersalah. Padahal, Islam menegaskan bahwa setiap makhluk telah ditetapkan rezekinya.

Menjual anak sendiri, apalagi anak orang lain, demi keuntungan hanyalah cerminan keputusasaan dari hati yang tak lagi percaya pada janji Allah. Dalam masyarakat yang dibentuk sistem sekuler, nilai-nilai spiritual kian terpinggirkan. Agama dianggap sekadar urusan pribadi, bukan sumber solusi. Akibatnya, hilangnya iman dan rasa takut kepada Allah menjadi lahan subur bagi berbagai kejahatan.


Solusi Pemerintah Masih Tambal Sulam

Pemerintah memang menggulirkan program bantuan, seperti Bansos dan Program Keluarga Harapan (PKH). Namun, efektivitasnya masih dipertanyakan. Bantuan kerap tidak tepat sasaran, tidak berkelanjutan, bahkan tak jarang dipolitisasi demi kepentingan sesaat.

Lebih dari itu, akar persoalannya terletak pada sistem yang dianut. Dalam kapitalisme, pelayanan publik dihitung berdasarkan untung rugi. Rakyat yang tidak produktif dianggap beban. Padahal, sejatinya tugas negara adalah melayani dan melindungi rakyat dengan penuh tanggung jawab, bukan sekadar menjalankan roda bisnis pemerintahan.


Islam Solusi Hakiki bagi Kemiskinan

Islam menawarkan solusi berbeda. Sebagai sistem hidup yang menyeluruh, Islam terbukti dalam sejarah mampu menuntaskan kemiskinan secara struktural, bukan sekadar temporer. Beberapa mekanismenya antara lain:

Menjamin kebutuhan dasar seluruh rakyat. Makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan adalah hak setiap individu yang wajib ditanggung negara.

Menciptakan lapangan kerja dan iklim usaha sehat. Islam membuka peluang usaha tanpa pajak mencekik seperti sekarang, serta memberikan modal bagi rakyat yang memiliki keterampilan tetapi tak memiliki akses permodalan.

Mendistribusikan tanah terlantar. Negara memberikan tanah mati kepada rakyat untuk dihidupkan. Jika dibiarkan kembali terbengkalai selama tiga tahun, negara akan menariknya kembali.

Semua mekanisme ini hanya dapat berjalan bila Islam diterapkan secara menyeluruh (kaffah), bukan sekadar dijadikan aturan moral pribadi. Negara dalam Islam memiliki peran sentral sebagai penanggung jawab utama kesejahteraan rakyat, bukan menyerahkannya kepada mekanisme pasar.

Sudah saatnya kita menengok kembali sistem dari Sang Pencipta. Islam, dengan seperangkat aturan sempurnanya, mampu menyelesaikan persoalan hingga ke akar. Hanya dengan sistem Islam, kemiskinan tidak lagi menjadi alasan seorang ibu tega menjual anak kandungnya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar