KETIKA KEBENARAN DIBUNGKAM, BENDERA ONE PIECE BERKIBAR: SIMBOL ANTI-KETIDAKADILAN DI TENGAH RETAKNYA HUBUNGAN RAKYAT DAN PENGUASA


Oleh: Putri Melati
Penulis Lepas

Menjelang HUT ke-80 RI, muncul satu tren yang membuat pemerintah gelisah. Apa itu? Ya, sebuah bendera bergambar tengkorak bertopi jerami berkibar di rumah-rumah dan kendaraan.

Bagi penggemar One Piece, tentu sudah tidak asing lagi. Itu adalah simbol kru bajak laut Topi Jerami, lambang kebebasan, persahabatan, petualangan, sekaligus perlawanan terhadap ketidakadilan (Tempo, 2025).

Bagi sebagian rakyat, pengibaran bendera itu adalah bahasa lain untuk berkata: “Kami mencintai negeri ini, tapi kami muak dengan ketidakadilan yang dibiarkan subur.” Aksi tersebut bukan sekadar iseng. Banyak yang sengaja memasangnya menjelang 17 Agustus sebagai bentuk kritik damai terhadap korupsi, kebijakan timpang, dan lemahnya keberpihakan pada rakyat kecil (Metrotvnews, 2025).

Bahkan ada yang mengibarkannya berdampingan dengan Merah Putih, seolah ingin berkata: “Kami tetap merah putih, tapi kami juga ingin negeri ini benar-benar merdeka.” (Brilio, 2025).

Namun, respons pemerintah dan DPR justru negatif. Firman Soebagyo (DPR, Golkar) menyebut aksi ini bisa dianggap “simbol pembangkangan” yang berpotensi provokatif. Begitu pula, Sufmi Dasco Ahmad (Wakil Ketua DPR) khawatir hal itu dapat memecah belah bangsa, sehingga masyarakat diminta tetap bersatu. Beberapa pejabat bahkan mengaitkannya dengan makar dan meminta aparat memanggil pelaku.

Sikap berlebihan ini memunculkan kritik dari publik dan pakar. Budayawan Maman Suherman menilai pemerintah sebenarnya takut pada simbol itu sendiri, bukan ancamannya. Sementara Prof. Muradi, Guru Besar Universitas Padjadjaran, mengingatkan agar reaksi jangan berlebihan, karena justru membuat simbol ini semakin populer.

Fenomena ini sejatinya menjadi cermin retaknya hubungan rakyat dan penguasa. Bendera One Piece hanyalah kain bergambar, tetapi yang membuatnya hidup adalah rasa kecewa dan frustrasi di hati rakyat.

Ketika kritik sulit didengar, simbol menjadi bahasa baru. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mulai naik tingkat dalam menyampaikan pendapat: berbicara dengan simbol yang mewakili nilai dan keyakinan mereka.

Sistem kapitalisme yang berlaku hari ini membuat kebijakan sering berpihak pada penguasa dan pemilik modal, bukan rakyat kecil. Mirip dengan dunia One Piece, di mana Pemerintah Dunia melindungi para Tenryubito (elit yang hidup mewah), sementara rakyat biasa dibiarkan menderita.

Rakyat merasakan ketidakadilan setiap hari: harga kebutuhan yang mencekik, korupsi yang tak kunjung hilang, hingga aparat yang lebih sigap membungkam simbol daripada memberantas penindasan.

Generasi Z, yang tumbuh di tengah banjir informasi, semakin paham bahwa ada masalah besar di balik layar. Saat ruang kritik makin disempitkan, protes kreatif menjadi pilihan. Ini adalah suara anak muda yang merindukan pemimpin yang benar-benar mengayomi, memahami, dan melindungi rakyat, bukan sekadar membela penguasa lalu bersikap kasar dan sewenang-wenang terhadap yang lemah.

Islam mengajarkan bahwa pemimpin adalah pelindung rakyat, bukan pelindung kekuasaan, kepentingan pribadi, atau keuntungan segelintir orang. Nabi ﷺ bersabda:

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إلَى إمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ
Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintahkannya (berbuat baik) dan melarangnya (berbuat buruk), kemudian ia dibunuh.” (HR. Hakim).

Kritik terhadap penguasa zalim bukanlah dosa, melainkan bagian dari amar makruf nahi mungkar. Islam bahkan melarang keras keberpihakan kepada orang zalim:

وَلَا تَرْكَنُوْٓا اِلَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُۙ
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka…” (QS. Hud: 113).

Dalam sistem Islam, pintu pemerintahan terbuka untuk rakyat, menampung keluhan, saran, dan kritik selama sesuai dengan syariat. Namun dalam sistem kapitalisme saat ini, hukum buatan manusia bisa dibeli dan dipelintir demi keuntungan segelintir orang. Padahal hukum yang terbaik hanyalah hukum Allah, yang adil bagi semua tanpa memandang status, jabatan, atau harta.

Solusi nyata dari masalah ini bukan sekadar melarang atau membiarkan, melainkan mengembalikan peran negara sebagai pelayan rakyat. Negara harus berdiri di sisi rakyat, mendengar suara mereka, dan menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Hal ini hanya mungkin terwujud bila syariat Islam diterapkan secara kaffah.

Dengan sistem Islam, keadilan terjamin, kebebasan berekspresi terarah, dan pengelolaan negara dilakukan secara amanah. Karena itu, semangat protes rakyat harus diarahkan pada perubahan sistem mendasar, bukan hanya aksi simbolik. Hanya dengan itulah rakyat benar-benar bebas dari penindasan struktural yang selama ini membelenggu mereka.

Bendera One Piece mungkin hanyalah sehelai kain, tetapi di baliknya ada suara rakyat yang ingin didengar. Jika negeri ini benar-benar ingin merdeka, maka merdekakanlah rakyat dari ketakutan, penindasan, dan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Sebab merdeka bukan sekadar tanggal di kalender, melainkan terbebas dari segala bentuk kezaliman, di dunia nyata, bukan hanya di dunia anime. Dan itu hanya akan terwujud dengan mengganti sistem saat ini dengan sistem Islam.

Wallahu a‘lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar