
Oleh: Mayang Eka Wijayanti
Penulis Lepas
Ketika menjadi pembicara dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025, Rabu (13/08/2025), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan dalam pidatonya bahwa kewajiban membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf. Karena ketiganya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menyisihkan sebagian harta bagi mereka yang membutuhkan (CNN Indonesia).
Pernyataan ini tentu memicu berbagai tanggapan dari masyarakat mengingat beban pajak yang harus ditanggung oleh rakyat semakin lama semakin meningkat. Seperti sebuah kasus yang terjadi di wilayah Cirebon, seorang warga di Cirebon, Jawa Barat, yang pada tahun 2023 membayar sebanyak Rp93,9 juta untuk tanah dengan luas 10.000 meter persegi dan bangunan seluas 625.000 meter persegi, namun pada tahun 2024, pajak yang harus dibayarkan tiba-tiba melonjak menjadi Rp369,3 juta, empat kali lipat lebih besar dari sebelumnya. Narasumber yang berbicara secara anonim mengatakan lonjakan pajak ini dinilai tidak rasional, dan tidak ada penjelasan yang transparan dari pemerintah (Bisnis, 19/08/2025).
Ditambah adanya wacana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan di berbagai daerah yang kenaikannya sampai 1000%. Serta banyaknya pajak yang dinilai tidak masuk akal menurut rakyat, seperti pajak royalti musik di tempat-tempat komersial maupun pajak untuk makanan asin yang sedang menjadi wacana. Hal ini semakin menyulut amarah masyarakat.
Beberapa daerah yang wacananya akan menaikkan pajak bumi dan bangunan di antaranya Pati sebesar 250%, Jombang sebesar 400%, Semarang 441%, dan Cirebon 1000%. Kenaikan pajak bumi dan bangunan ini disinyalir karena tahun ini pemerintah pusat melakukan efisiensi anggaran. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, mengatakan tahun ini pemerintah pusat memangkas transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50,29 triliun. Efisiensi anggaran ini dilakukan karena terdapat utang yang sudah jatuh tempo dan harus dibayar oleh pemerintah periode 2025-2027 sebesar Rp2.827 triliun.
Sungguh menyedihkan, di tengah kondisi ekonomi yang semakin buruk dan membebani rakyat, pemerintah malah mengambil kebijakan yang justru menambah beban baru bagi mereka. Hal ini terjadi karena pemerintah menerapkan sistem kapitalisme, menjadikan pajak sebagai tulang punggung ekonomi dan pada saat yang sama menyerahkan sumber daya alam pada swasta kapitalis.
Pajak yang diterapkan dalam sistem kapitalis memang begitu zalim, mengambil harta rakyat miskin tanpa terkecuali, tanpa memperhatikan kondisi rakyat yang semakin hari semakin sulit. Di sisi lain, uang hasil pajak tidak mampu menjamin kesejahteraan rakyat miskin, tetapi digunakan untuk proyek-proyek yang menguntungkan kapitalis.
Kebijakan pajak ini juga cenderung lebih berpihak kepada kapitalis, dengan memberikan mereka berbagai kemudahan, seperti tax amnesty, yang memberikan pengampunan pajak kepada para pengusaha besar. Kebijakan semacam ini justru lebih menguntungkan mereka, sementara rakyat kecil semakin terbebani.
Dalam Islam, pajak berbeda dengan zakat dan wakaf. Zakat adalah kewajiban atas harta bagi muslim yang kaya dan kekayaannya melebihi nisab serta mencapai haul, dan merupakan salah satu dari sumber pemasukan APBN Khilafah (baitulmal). Namun, pengeluaran zakat (objek penerimanya) sudah ditentukan oleh syariat, yaitu hanya 8 asnaf sebagaimana disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60.
Sedangkan wakaf adalah konsep dalam Islam yang berarti menyumbangkan harta kekayaan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya. Wakaf tidak selalu berupa uang, dapat berupa tanah, bangunan, atau harta lainnya yang digunakan untuk kepentingan umum dan berkelanjutan. Wakaf hukumnya sunnah, bukan sebuah kewajiban.
Pajak dalam Islam diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu yang merujuk pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pemungutan pajak, di antaranya yaitu:
- Pajak dipungut untuk melaksanakan kewajiban syariah bersama.
- Pajak dipungut ketika dana di Baitul Mal (Kas Negara) kosong atau kurang.
- Pajak dipungut hanya dari kaum Muslim saja, karena warga non-Muslim sudah dikenai pajak khusus yang disebut jizyah.
- Pajak hanya boleh dipungut dari mereka yang mampu, dan tidak diperbolehkan untuk memungut pajak dari warga yang fakir atau miskin. Baitulmal sendiri memiliki banyak pemasukan, tidak bersandar hanya pada zakat, karena salah satu pemasukan terbesarnya adalah dari pengelolaan sumber daya alam milik umum oleh negara yang tidak diserahkan pada swasta.
Negara mengelola sebaik mungkin kekayaan alam dan potensi yang ada dalam setiap wilayah di dalam daulah, semata-mata untuk kemaslahatan umat.
Dengan pengelolaan keuangan yang baik dan sesuai dengan syariat Islam, negara dapat memberikan pelayanan yang benar-benar dibutuhkan oleh umat. Seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis. Penerapan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh dalam sistem Khilafah akan memastikan tercapainya kesejahteraan bagi setiap individu dalam masyarakat.
Wallahu a'lam bishshawab.
0 Komentar