MIRIS: MBG BERMASALAH, TAPI ALOKASI DANA BESAR


Oleh: Ainul Mizan
Peneliti LANSKAP

Program MBG (Makan Bergizi Gratis) sudah dimulai sejak awal tahun 2025. Tercatat kasus keracunan MBG ini sebesar 6.452 siswa atau pelajar yang menjadi korban. Menanggapi hal tersebut, Kepala BGN malah merespons masih dalam batas wajar. Menurutnya, dari 1 milyar porsi MBG, yang bermasalah hanya 4.711 porsi MBG.

Jumlah siswa yang keracunan dan jumlah porsi MBG yang bermasalah sudah sangat tinggi, dan itu bukan hal yang wajar lagi. Ini adalah sebuah tragedi, apalagi yang terkena dampak adalah generasi penerus kita. Oleh karena itu, kejadian ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah tidak bisa menghindar dari tanggung jawab ini.

Anehnya, sudah sedemikian tragisnya, justru program MBG mendapat jatah alokasi dana yang besar di RAPBN 2026 yang disahkan DPR. Anggaran untuk pendidikan di RAPBN 2026 adalah sebesar Rp 757,8 triliun. Untuk MBG sebesar Rp 223 triliun dari anggaran pendidikan. Artinya, 29,42 persen dana pendidikan dipakai untuk MBG.

Besaran alokasi MBG dari anggaran pendidikan ini telah mengurangi amanat undang-undang bahwa 20 persen dari APBN dipakai untuk anggaran pendidikan. Realitasnya, untuk pendidikan hanya 14 persen dari APBN karena terkurangi oleh program MBG. Belum lagi, program MBG ini menyerap juga dana dari sektor ekonomi dan kesehatan hingga membengkak menjadi Rp 335 triliun.

Dengan kata lain, program MBG ini tampaknya lebih sebagai cara untuk mencari keuntungan besar. Awalnya, setiap porsi MBG dialokasikan Rp 15.000, namun kemudian dipotong menjadi hanya Rp 10.000 per porsi. Ini berarti ada pengurangan dana sebesar Rp 2.500 hingga Rp 5.000 per porsi. Hal ini menunjukkan adanya dugaan penyalahgunaan dana dalam program MBG. Tidak heran jika banyak menu MBG yang ternyata tidak layak.

Dari kasus keracunan yang terjadi di Bandung Barat, terungkap bahwa menu ayamnya bermasalah. Ayam dibeli di pasar hari Sabtu, lalu dimasak untuk MBG pada hari Rabu. Tentu saja ini bermasalah.

Belum lagi ada dugaan banyak anggota DPR yang ikut punya bisnis menyediakan dapur MBG. Tatkala disorot, Kepala BGN tidak menampik hal tersebut. Ia menegaskan siapapun bisa ikut berpartisipasi dalam menyediakan menu MBG.

Tatkala banyak masalah yang membelit MBG, anggaran MBG justru membengkak di RAPBN 2026. Sangat miris sekali. MBG telah merenggut hak anak bangsa dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Demikianlah program MBG yang dijalankan dalam sistem sekuler. Penuh dengan masalah. Berpotensi besar terjadi penyalahgunaan dana. Akhirnya yang menjadi korban adalah generasi penerus bangsa.


Pemenuhan Gizi Dalam Islam

Pemimpin dalam Islam, tidak akan terbersit dalam pikirannya untuk membuat program MBG. Apalagi program MBG yang pendanaannya mengurangi jatah untuk sektor pendidikan. Program MBG itu lebih tepatnya masuk dalam ranah kebijakan pangan dan ekonomi negara.

Anggaran pendidikan seharusnya sepenuhnya digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan bagi masyarakat. Menghadirkan guru-guru yang berkualitas, yang bisa dijadikan teladan. Guru dengan berkepribadian Islam yang kuat, sehingga mampu menanamkan nilai-nilai Islami kepada siswanya. Dengan demikian, hasil pendidikan yang dihasilkan adalah generasi yang berkepribadian Islami yang kuat dan mampu memberikan manfaat bagi kehidupan.

Adapun terkait pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi warga negaranya termasuk para generasi, Islam memiliki mekanisme yang sistematis, terukur, dan kokoh untuk menjamin pemenuhan gizi warga negaranya.

Islam mendorong agar para kepala keluarga untuk bekerja. Hal tersebut ditegaskan oleh Rasulullah ﷺ:

وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف
"Menjadi kewajiban ayah adalah memberikan makanan dan pakaian kepada keluarganya."

Bahkan Islam juga menekankan bahwa 1 dirham yang dibelanjakan untuk kebutuhan keluarga itu nilainya lebih baik dari 1 dirham yang dibelanjakan untuk jihad fi Sabilillah. Walhasil, akan berdosa besar bagi para lelaki yang tidak mau bekerja untuk bisa menafkahi keluarganya.

Di satu sisi, negara menyediakan lapangan kerja yang luas bagi para kepala keluarga. Dengan begitu, tidak ada lagi lelaki pengangguran.

Saat ini, banyak sektor ekonomi yang mengandalkan perempuan sebagai pekerja, yang menyebabkan banyak kepala keluarga laki-laki menganggur. Kita bisa melihat banyak pekerja perempuan di pusat perbelanjaan, perusahaan, dan SPBU. Tentunya, kondisi seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam.

Dengan kepala keluarga bekerja, kecukupan gizi keluarga bisa terpenuhi. Ditambah pula, Islam menekankan bahwa tatkala kepala keluarga belum mampu mencukupi kebutuhan pangan dan gizi keluarganya, bisa dikarenakan kurangnya penghasilannya maupun karena cacat, wali dari perempuan yang menjadi istri tersebut ikut membantu memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya. Bila tetap kurang dalam memenuhi kebutuhan keluarga, negara turun tangan untuk memberikan bantuan atau pemberian negara.

Bantuan negara ini bisa melalui mekanisme ekonomi maupun non-ekonomi. Melalui mekanisme ekonomi, negara akan mengintervensi ketersediaan kebutuhan pokok rakyat untuk menjaga kestabilan harga pasar. Sedangkan mekanisme non-ekonomi bantuan negara adalah berupa bantuan modal kerja atau usaha dan bantuan tunai. Negara bisa memberikan tanah garapan kepada lelaki yang siap bekerja tapi tidak memiliki modal.

Sedangkan bantuan tunai ini bagi yang mengalami cacat sehingga tidak bisa bekerja. Bantuan tunai negara itu tidak bersifat sebagai kompensasi dari kebijakan negara yang memberatkan warganya sebagaimana sistem sekuler. Bantuan tunai negara ini bersifat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pangan warganya dengan selayaknya.

Selanjutnya, keberlangsungan ketercukupan kebutuhan pangan ini ditopang oleh kebijakan pertanian negara. Islam melarang terjadinya penggusuran lahan pertanian untuk kepentingan pembangunan dan teknologi. Bahkan target swasembada pangan akan diwujudkan. Dengan demikian, stok pangan akan mencukupi kebutuhan warga negara. Walhasil, ekonomi dan pangan dalam sistem Islam menjadi kokoh, apalagi bila dalam kondisi perang.

Islam telah mencanangkan agar umat Islam menjadi umat yang mandiri. Umat Islam tidak tergantung kepada pasar luar negeri.

Bahkan Islam telah menegaskan bahwa muslim yang satu kepada muslim lainnya harus saling membantu dan menolong. Rasulullah ﷺ menegaskan:

ليس منا من بات شبعان وجاره جائع وهو يعلم
"Bukanlah termasuk golongan umat Nabi ﷺ, mereka yang tidur di malam hari dalam keadaan kenyang, sementara ia mengetahui tetangganya kelaparan."

Tidak mengherankan bila orang-orang kaya di masa Islam saling berlomba untuk membebaskan dan melunasi utang orang lain tanpa sepengetahuan si pengutang. Termasuk terdapat budaya saling berlomba dalam kebaikan untuk menyediakan makanan dan minuman yang bergizi bagi kaum fakir miskin, termasuk untuk musafir.

Walhasil, tatkala sistem ekonomi Islam diterapkan, maka kesejahteraan bisa mudah untuk diwujudkan, termasuk memenuhi kebutuhan gizi bagi warganya, apalagi untuk para penuntut ilmu. Dengan begitu, para penuntut ilmu bisa belajar dengan optimal ditopang dengan layanan pendidikan berkualitas guna membangun peradaban dunia dengan Islam.

Posting Komentar

0 Komentar