
Oleh: Lisa Ummu Hafshah
Penulis Lepas
Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf. Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan bahwa “kewajiban pajak sama dengan kewajiban zakat dan wakaf” (CNBC Indonesia, 14/08/2025). Pernyataan ini jelas merupakan upaya menggiring opini publik agar penerimaan pajak yang sedang seret mendapat legitimasi moral dan bahkan keagamaan. Padahal, hakikat pajak dalam sistem kapitalisme tidak sama dengan zakat yang diatur syariat.
Data menunjukkan bahwa pajak masih menjadi tulang punggung penerimaan APBN Indonesia. Berdasarkan data dalam laman Goodstats, di Indonesia kontribusi pajak terhadap pendapatan negara mencapai lebih dari 80%. Tak hanya itu, pemerintah terus mencari objek pajak baru. Menurut laporan CNN Indonesia, ada 10 usulan pajak baru yang digadang-gadang dapat meraup hingga Rp388 triliun per tahun, termasuk pajak warisan, karbon, rumah ketiga, hingga jasa digital (CNN Indonesia, 12/08/2025).
Tarif pajak yang ada pun dinaikkan secara agresif. Dikutip dari CNBC Indonesia, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dinaikkan berkali-kali lipat di sejumlah daerah, yang memicu keresahan masyarakat kelas menengah ke bawah. Bahkan, di beberapa daerah muncul aksi protes rakyat. Di Pati, misalnya, rakyat ramai-ramai mengadakan aksi demonstrasi menolak kenaikan pajak. Hal ini pun merembet ke beberapa daerah lain.
Di sisi lain, Kementerian Keuangan tengah fokus pada sektor informal atau yang dikenal dengan “shadow economy.” Pemerintah juga telah menargetkan beberapa sektor usaha yang dianggap memiliki banyak aktivitas shadow economy, seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan. (CNBC Indonesia, 19/08/2025). Artinya, pedagang kecil, UMKM, dan rakyat kecil pun kini tak luput dari incaran fiskal.
Semua kebijakan ini menunjukkan pola klasik sistem kapitalisme: negara menjadi alat pemungut dana dari rakyat untuk menopang anggaran, sementara kekayaan alam dan aset strategis diserahkan kepada korporasi swasta, baik asing maupun domestik. Rakyat dipaksa menanggung beban pajak yang berat, sedangkan para kapitalis justru sebaliknya. Mereka mendapat karpet merah berupa insentif pajak dan kebijakan yang memanjakan, seperti tax amnesty yang pernah diterapkan beberapa tahun lalu.
Tak heran, suara protes mulai terdengar. Kontan Insight mencatat bahwa seruan boikot pajak kian menggema di tengah rasa frustrasi publik atas kebijakan pemerintah yang dianggap menekan rakyat kecil dan memihak oligarki. Tagar #StopBayarPajak menggema di platform X dan Instagram. Netizen menilai bahwa pajak yang selama ini mereka bayarkan tidak berkorelasi terhadap layanan publik yang lebih memadai. Sangat timpang dengan gaya hidup mewah pejabat, aparat, hingga tunjangan DPR yang terus naik. Namun, suara ini dianggap sekadar “resistensi emosional,” padahal sesungguhnya menunjukkan kegagalan mendasar sistem ekonomi kapitalisme dalam menciptakan kesejahteraan.
Kapitalisme menjadikan pajak sebagai alat untuk mengeksploitasi rakyat, sementara korporasi dan investor besar terus diprioritaskan. Inilah yang menyebabkan kesenjangan sosial kian menganga. Di bawah kapitalisme, rakyat menanggung beban fiskal negara yang boros, sementara aset-aset strategis negara justru diserahkan kepada pihak swasta. Tak heran jika jurang kaya-miskin kian lebar. Pajak tidak menjadi alat kesejahteraan, melainkan alat eksploitasi.
Konsep Pajak Dalam Islam
Dalam sistem ekonomi Islam, istilah pajak dikenal dengan sebutan ḍarībah (ضريبة). Namun, konsep ḍarībah dalam Islam tidak sama dengan pajak dalam sistem kapitalisme modern. Pajak dalam kapitalisme bersifat rutin, menjadi sumber utama pendapatan negara, dan seringkali menindas rakyat. Sedangkan dalam Islam, pajak hanya mekanisme yang bersifat sementara ketika Baitul Mal tidak memiliki dana untuk menunaikan kewajiban syar’i negara.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
أما الضريبة فهي المال الذي يُفرض على المسلمين لتغطية واجبات الدولة التي هي فريضة، في حين أن بيت المال لا يملك ما يكفي من الأموال لذلك
“Adapun pajak (ḍarībah) ialah harta yang diwajibkan atas kaum Muslimin untuk menutupi kewajiban-kewajiban negara yang hukumnya fardhu, sementara Baitul Mal tidak memiliki dana yang cukup untuk itu.” (Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 139)
Dari definisi ini tampak tiga poin penting:
- Pajak hanya dipungut ketika negara membutuhkan dana untuk menunaikan kewajiban syar’i negara, seperti pembiayaan jihad, keamanan, pengadilan, dan pelayanan dasar.
- Pajak hanya berlaku jika kondisi Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi.
- Pungutan pajak tidak bersifat permanen, tetapi insidental dan temporer.
Konsep pajak (ḍarībah) dalam Islam adalah mekanisme darurat untuk pembiayaan kewajiban negara jika Baitul Mal kosong. Pajak dipungut hanya dari Muslim kaya saja, dan bersifat sementara. Pandangan ini disepakati oleh ulama klasik seperti Al-Mawardi, Ibnu Hazm, dan Ibnu Qudamah, serta dirumuskan secara rinci oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Sistem Islam menegaskan bahwa kesejahteraan umat tidak bergantung pada pajak permanen, tetapi pada pengelolaan harta sesuai syariat dan keberadaan Khilafah sebagai pengatur urusan umat.
Sedangkan, zakat adalah kewajiban syar’i atas harta yang memenuhi nisab dan haul, yang hasilnya hanya boleh disalurkan kepada delapan golongan penerima zakat sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat ke 60. Zakat tidak boleh diperuntukkan untuk membiayai proyek infrastruktur, gaji pejabat, atau subsidi kepada korporasi. Sedangkan wakaf adalah amalan sunnah yang bersifat sukarela, bukan merupakan kewajiban.
Baitul Mal dalam negara Khilafah memiliki beragam sumber pemasukan, di antaranya:
- Pengelolaan SDA milik umum seperti tambang, minyak, gas, laut, dan hutan, yang dikelola negara, bukan diserahkan ke swasta.
- Kharaj, jizyah, fai’ dan usyur, serta berbagai sumber pemasukan yang telah diatur dalam syariat.
- Aset-aset milik negara yang hasilnya dipergunakan untuk membiayai kebutuhan publik.
Dengan sistem ekonomi Islam kaffah, negara tidak akan menjadikan pajak sebagai tulang punggung APBN. Distribusi kekayaan akan lebih adil karena sumber daya alam dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat, bukan segelintir oligarki.
Islam menegakkan keadilan ekonomi dengan menjadikan negara sebagai pengelola utama kekayaan alam, bukan pemungut pajak rakus. Sejarah Khilafah Islam selama berabad-abad membuktikan bahwa zakat, pengelolaan SDA, dan instrumen ekonomi syar’i lainnya cukup untuk membiayai negara sekaligus mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf adalah bentuk penyimpangan konsep yang harus diluruskan. Bagi umat Islam, hanya syariat Allah-lah satu-satunya solusi untuk membebaskan negeri ini dari jerat utang, pajak berlebihan, dan ketidakadilan ekonomi kapitalisme.
Wallahu'alam bishshawab.
0 Komentar