
Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat
Dalam siaran pers tanggal 6 Oktober 2025, Presiden RI Prabowo Subianto menyatakan bahwa akibat operasi tambang ilegal, negara mengalami kerugian besar yang mencapai sekitar Rp 300 triliun dari enam perusahaan besar (Indonesia.go.id, 08/10/2025).
Angka tersebut menggambarkan betapa bobroknya sistem pengelolaan sumber daya alam di negeri ini.
Negara Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, tetapi rakyat berada dalam garis kemiskinan, sementara segelintir korporasi dan elite politik justru menumpuk keuntungan besar. Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi maupun tata kelola tambang di Indonesia masih dikuasai oleh para kapitalis, di mana kepemilikan umum dapat dikuasai oleh individu ataupun korporasi dengan menggunakan dalih investasi.
Dalam hal ini, bukan hanya kerugian ekonomi yang ditimbulkan, tetapi juga termasuk kerusakan lingkungan, konflik sosial dengan masyarakat setempat, serta ketimpangan ekonomi yang semakin mendalam. Rakyat di daerah tambang hanya menjadi penonton sekaligus menanggung dampak buruknya, sementara pihak swasta justru meraup keuntungan tanpa batas.
Jika dicermati, terdapat banyak faktor yang menyebabkan hal itu, antara lain:
- Pertama, adanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan tambang tersebut.
- Kedua, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap aktivitas pertambangan.
- Ketiga, sistem yang digunakan di negara ini yakni sistem ekonomi kapitalis, di mana sumber daya alam dipandang sebagai komoditas ekonomi yang bisa dimiliki dan dieksploitasi oleh individu atau perusahaan.
Negara hanya berperan sebagai regulator dan pemungut pajak, bukan pengelola langsung atas kekayaan publik tersebut.
Sistem kapitalisme melahirkan relasi korup antara penguasa dan pengusaha. Kekuasaan menjadi alat untuk melanggengkan kepentingan ekonomi segelintir elite.
Padahal, dalam Islam, barang tambang termasuk kategori kepemilikan umum. Rasulullah ﷺ bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hadis ini menegaskan bahwa hasil bumi yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh dikuasai oleh individu atau swasta, apalagi asing.
Islam sebagai sistem hidup yang kaffah menawarkan solusi menyeluruh terhadap persoalan pengelolaan sumber daya alam. Dalam sistem Khilafah Islamiyyah, tambang dan sumber daya besar bumi termasuk milik umum yang pengelolaannya berada di tangan negara, bukan swasta, bukan asing, bukan individu.
Khilafah tidak akan menjual atau menyerahkan izin pengelolaan tambang kepada korporasi mana pun. Sebaliknya, negara akan mengelolanya secara langsung demi kemaslahatan umat.
Khilafah juga menerapkan sistem pengawasan yang tegas dan transparan. Para pejabatnya sadar bahwa amanah atas kekuasaan adalah tanggung jawab di hadapan Allah. Sistem ini bukan hanya mencegah korupsi struktural, tetapi juga membangun kesadaran spiritual bahwa setiap tindakan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Sebagai data pendukung, dalam berita resmi di situs Indonesia.go.id disebut bahwa pemerintah telah menyita dan menyerahkan aset rampasan negara dari perusahaan-perusahaan swasta yang melanggar hukum, termasuk 108 unit alat berat, 99,04 ton produk kristal Sn, 94,47 ton crude tin, 15 bundle aluminium, 29 bundle logam timah, 53 unit kendaraan, 22 bidang tanah seluas 238.848 m², dan sejumlah uang tunai senilai Rp 202,701,078,370 serta berbagai mata uang asing. Nilai aset yang disita ini diperkirakan mencapai Rp 6–7 triliun, belum termasuk potensi besar dari logam tanah jarang (monasit).
Selain itu, Presiden menyebut bahwa total kerugian negara akibat tambang ilegal di kawasan PT Timah mencapai sekitar Rp 300 triliun, yang mencerminkan skala besar kebocoran kekayaan negara yang harus segera dihentikan.
Dengan penerapan sistem ekonomi Islam di bawah Khilafah, kekayaan tambang akan kembali menjadi milik umat. Semua kembali kepada prinsip dasar Islam, yaitu sumber daya alam adalah amanah Allah untuk menyejahterakan seluruh manusia, bukan segelintir elite.
Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa solusi sejati bukan sekadar reformasi birokrasi, melainkan perubahan sistem secara menyeluruh menuju sistem Islam kaffah di bawah naungan Khilafah Islamiyyah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 Komentar