BULLYING DAN KEJAHATAN REMAJA, APA PENYEBABNYA?


Oleh: Nita Nur Elipah
Penulis lepas

Kasus bullying di Indonesia masih terus terjadi. Bullying di kalangan remaja, misalnya, semakin hari semakin mengerikan. Lebih mirisnya lagi, tindakan ini bahkan mendorong sebagian korban melakukan kejahatan. Seperti beberapa kasus di bawah ini.

Seorang santri di Aceh Besar ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus terbakarnya asrama pondok pesantren tempat ia belajar. Santri tersebut disebut sengaja membakar asrama karena sakit hati setelah kerap menjadi korban bullying oleh rekan-rekannya (Berita Satu, 08/11/2025).

Pelaku mengaku membakar gedung asrama karena sering mengalami bullying dari beberapa temannya,” ujar Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Joko Heri Purwono, dalam konferensi pers di Meuligoe Rastra Sewakottama, Kamis (6/11).

Kasus lain yang baru-baru ini menghebohkan dunia maya adalah ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. Diduga pelaku merupakan siswa kelas 12 yang kerap menjadi korban bullying.

Terus saya dapat info pelakunya terindikasi siswa, mungkin karena dia korban bully jadi mau balas dendam. Kelas 12,” tutur seorang siswa. Ledakan tersebut terjadi saat rangkaian salat Jumat berlangsung (Kumparan News, 07/11/2025).

Dari kedua fakta di atas dapat terlihat betapa luar biasanya dampak perundungan. Para korban melampiaskan kemarahan mereka dengan tindakan kriminal yang merugikan banyak orang.

Kasus bullying yang merebak di berbagai daerah ini sejatinya menjadi bukti betapa problematik sistem pendidikan hari ini. Pendidikan yang seharusnya mencetak generasi terbaik justru melahirkan generasi pembuli dan pelaku kejahatan.

Selain itu, perkembangan media sosial hari ini juga memperparah perilaku bullying. Bahkan bullying sering dijadikan bahan candaan dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang salah. Hal ini menunjukkan telah terjadi krisis adab dan hilangnya fungsi pendidikan.

Kecanggihan teknologi, khususnya media sosial, kini menjadi rujukan bagi korban bullying untuk melakukan tindakan yang membahayakan nyawa orang lain sebagai bentuk pelampiasan rasa marah atau dendam.

Inilah dampak diterapkannya sistem pendidikan kapitalisme sekuler. Sistem ini memisahkan peran agama (Islam) dalam mengatur kehidupan dan hanya berorientasi pada materi, bukan pada halal dan haram. Akibatnya, sistem kapitalisme benar-benar gagal membentuk kepribadian Islam generasi muda. Mereka hanya mengikuti hawa nafsu dan bertindak sesuka hati.

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam. Proses pendidikan dilakukan melalui pembinaan intensif, membentuk pola pikir dan pola sikap Islami, tidak hanya fokus pada nilai materi, tetapi juga pada nilai maknawi dan ruhiyah.

Kurikulumnya pun harus berbasis akidah Islam, menjadikan adab sebagai dasar pendidikan. Negara wajib menjadi penjamin utama pendidikan, pembinaan moral umat, dan perlindungan generasi dari kezaliman sosial.

Negara dalam Islam akan menjadikan media sebagai sarana mencerdaskan masyarakat dengan Islam, serta tidak akan membiarkan tontonan yang dapat merusak generasi. Negara menjaga akidah dan perilaku masyarakat, termasuk generasi mudanya, dari pemahaman di luar Islam. Dengan itu tidak akan muncul lagi generasi yang cacat moralnya, apalagi menjadi pelaku kejahatan.

Mereka akan sibuk mengejar cita-cita yang mulia, menjadi penerus peradaban yang gemilang. Menjadi generasi Rabbani yang taat kepada Rabb-nya, saling mengasihi sesama manusia, dan tidak akan melakukan bullying karena mereka telah memiliki kepribadian Islami.

Wallahu a‘lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar