BULLYING DAN LINGKARAN GELAP KEHIDUPAN SEKULER


Oleh: U Diar
Penulis Lepas

Fenomena bullying semakin mengkhawatirkan. Kejadiannya makin meluas dan beragam, korbannya pun semakin banyak. Banyaknya korban ini ibarat bom waktu, sebab di antara mereka ada yang masih menyimpan luka mendalam hingga menjadi trauma. Korban bullying juga bisa menyimpan potensi kemarahan atau sakit hati yang dapat meledak kapan saja.

Dikabarkan, ada korban bullying yang berusaha bersuara dengan membakar asrama pesantren (lihat: Berita Satu). Ada pula siswa SMA yang diduga melakukan aksi ledakan di sekolah karena kerap menjadi korban perundungan (lihat: Kumparan).

Dari sejumlah pemberitaan terlihat bahwa lembaga pendidikan menjadi salah satu lokasi terjadinya bullying. Ini sangat memprihatinkan karena lembaga pendidikan sejatinya memiliki peran penting dalam membentuk karakter seseorang. Sangat disayangkan ketika lokasi yang seharusnya mencetak pribadi unggul justru menjadi tempat yang melemahkan mental dan merusak kepribadian.

Jika kasus semacam ini hanya terjadi satu di antara sekian banyak sekolah, mungkin bisa dianggap kebetulan. Namun jika sudah terjadi di berbagai lembaga, berbagai daerah, dan berbagai tingkat pendidikan, sudah selayaknya ada perhatian lebih serius. Perlu dicari apa yang kurang tepat dan harus diperbaiki agar kejadian serupa tidak terus berulang.

Lembaga pendidikan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan pelajar. Selain di rumah dan masyarakat, sekolah adalah tempat yang paling banyak mereka habiskan waktunya. Maka fungsi dasar pendidikan memegang peranan penting dalam mewarnai karakter anak didiknya.

Hanya saja, dewasa ini menjalankan peran itu tidak mudah. Tuntutan sistem pendidikan sering kali lebih menekankan pada pencapaian akademik dan kesiapan memasuki dunia kerja dibanding pembentukan karakter yang beradab. Aktivitas mengerjakan tugas demi penilaian tampak lebih dominan dibanding menanamkan adab dan budi pekerti. Terlebih lagi, lembaga pendidikan tidak bisa lepas dari pengaruh budaya sekuler yang mengabaikan peran agama dalam membentuk masa depan generasi. Tidak heran jika muncul anggapan “sudah baik” hanya karena mendapat pelajaran agama seminggu sekali.

Waktu untuk memantau pemahaman agama juga tidak leluasa. Apakah materi agama dipahami? Apakah sudah diamalkan? Hal-hal seperti ini kerap luput dari perhatian karena guru pun terbentur kesibukan. Alhasil, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, semakin sering ia mendapat pelajaran agama, namun belum tentu semakin baik pemahamannya atau semakin mulia akhlaknya.

Lebih jauh, pelajar tidak hanya hidup di dunia nyata. Mereka juga bagian aktif dari dunia maya, bahkan mungkin lebih lama menghabiskan waktu di sana. Di dunia maya, arus informasi begitu liar, termasuk konten yang menormalisasi bullying. Jika filter iman masih lemah, apa yang dilihat di media sosial bisa menjadi inspirasi untuk melakukan aksi serupa di sekolah, tanpa mempertimbangkan dosa dan pahala.

Inilah persoalan yang membelit generasi hari ini. Mereka hidup dalam lingkaran gelap sekuler, di dunia nyata maupun dunia maya. Kondisi ini sangat berbeda dengan zaman Imam Ibnu Sina dan ilmuwan Muslim terdahulu. Pada masa itu, lembaga pendidikan benar-benar menjadi tempat yang bisa diandalkan untuk mencetak generasi berkepribadian Islam. Pendidikan diatur dengan sistem Islam, yang fokusnya melahirkan pribadi yang pola pikir dan sikapnya selaras dengan syariat.

Iklim pendidikan Islam di masa kekhilafahan Abbasiyah terbukti melahirkan ilmuwan besar dengan karya yang masih terasa hingga kini, baik dalam ilmu pengetahuan, teknologi, maupun adabnya. Dalam pendidikan Islam, nilai agama melekat pada setiap ilmu. Bahkan adab didahulukan sebelum ilmu dipelajari. Semua ini dijalankan dengan sinergi, tanpa memisahkan antara agama dan umum. Hasilnya adalah ilmuwan yang unggul sekaligus berakhlak, menguasai teknologi tanpa menjadi tamak atau merugikan makhluk lainnya.

Pendidikan Islam ini berlangsung berabad-abad, hingga para bangsawan Eropa pun mengirimkan anak-anak mereka belajar ke Andalusia. Rahasianya ada pada negara yang peduli. Negara menjamin pendanaan, memastikan Islam menjadi landasan pendidikan, dan menyadari bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban sehingga negara berkewajiban memfasilitasi. Tidak heran jika peradaban Islam saat itu sangat gemilang.

Pendidikan seperti inilah yang perlu diupayakan kembali. Ketika lingkaran gelap sekuler dilepaskan dari dunia pendidikan, persoalan-persoalan yang membelit generasi (termasuk bullying) akan jauh lebih mudah diselesaikan.

Posting Komentar

0 Komentar