SUDAN SEMAKIN KRITIS, KEMANUSIAAN SEMAKIN MENIPIS


Oleh: Esha Shuji
Aktivis Muslimah

Semakin hari kondisi dunia semakin tak karuan. Belum selesai konflik di Palestina, kini terdengar kabar yang sangat memilukan dari saudara kita di Sudan. Negara yang merupakan negara ketiga terluas di Afrika, sekaligus terluas keenam belas di dunia, dan mayoritas penduduknya adalah Muslim. Sudan memiliki piramida yang lebih banyak, Sungai Nil yang lebih panjang dibanding Mesir, serta merupakan produsen emas Arab terbesar dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah.

Namun, negara yang kaya sumber daya alam ini kini mengalami krisis kemanusiaan yang semakin memburuk. Dimulai dari pemerkosaan massal hingga pembunuhan massal yang sangat mengerikan. Laporan dari International Organization for Migration (IOM) menyebutkan setidaknya 62.263 orang meninggalkan El-Fasher dan wilayah sekitarnya setelah kota tersebut direbut oleh Rapid Support Forces (RSF) pada 29 Oktober (Minanews, 02/11/2025).

Disebutkan bahwa serangan tersebut merupakan bagian dari “kampanye pembunuhan dan pemusnahan yang disengaja dan sistematis.” Pernyataan ini diperkuat oleh bukti baru dari Humanitarian Research Lab (HRL) Yale, yang melaporkan citra satelit El-Fasher (diambil setelah RSF menguasai wilayah tersebut) menunjukkan adanya kumpulan objek yang menyerupai ukuran tubuh manusia dan perubahan warna tanah menjadi merah di area yang luas.

Pejabat UNHCR, Jacqueline Wilma Parlevliet, mengatakan bahwa para pengungsi baru melaporkan pembunuhan meluas yang dipicu oleh perbedaan etnis dan politik, termasuk laporan mengenai penyandang disabilitas yang ditembak mati karena tidak dapat melarikan diri, serta orang-orang yang ditembak ketika mencoba melarikan diri (Republika, 16/10/2025).

Krisis ini sebenarnya sudah berlangsung cukup lama sejak tahun 2023, dipicu perebutan kekuasaan antara dua jenderal militer: Jenderal Fattah Al-Burhan (SAF) dan Jenderal Mohamed Dagalo (RSF), yang memicu konflik pada April 2023. Selain itu, konflik ini berakar pada perbedaan etnis, budaya, dan agama yang telah berlangsung lama, serta kesenjangan ekonomi dan politik antara wilayah utara dan selatan, yang sebelumnya juga menyebabkan perang saudara dan krisis kemanusiaan di Darfur (Wikipedia).

Namun demikian, kita tidak dapat menutup mata bahwa terdapat keterlibatan negara-negara adidaya dalam konflik ini, terutama Amerika Serikat dan Inggris, bersama dukungan dari UEA dan Mesir. Hal ini tampak dari pertemuan di Washington DC, di mana Masoud Boulos (penasihat senior Presiden AS Donald Trump untuk urusan Timur Tengah) menegaskan bahwa militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) menyepakati gencatan senjata selama tiga bulan berdasarkan rencana Kuartet (UEA, AS, Arab Saudi, dan Mesir) yang diumumkan pada 12 September (Sky News berbahasa Arab, 03/11/2025). Persetujuan Sudan tersebut terjadi setelah RSF menguasai Al-Fashir.

Menjadi rahasia umum bahwa negara-negara adidaya selalu ikut campur dalam berbagai permasalahan dunia. Terlebih lagi pada negara-negara pengekor yang memiliki sumber daya alam melimpah, khususnya negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Maka dari itu, konflik yang terjadi saat ini merupakan siasat jahat Amerika Serikat untuk memecah-belah Sudan serta memelihara konflik agar terus berlangsung sehingga Sudan mudah dikuasai. AS membentuk kuartet kekuatan politik bersama Saudi, UEA, dan Mesir untuk mencegah masuknya “pihak asing” dalam menangani konflik Sudan, sebagaimana dibuktikan melalui pertemuan mereka pada 25 Oktober 2025.

Ironisnya, para pemimpin Muslim justru bersekongkol dengan negara-negara Barat yang menghancurkan kaum Muslim. Tindakan zalim negara-negara Barat di Sudan justru mendapatkan dukungan dari sebagian negara Muslim, seperti halnya dukungan diam-diam terhadap penjajahan di Gaza. Sungguh miris! Padahal Rasulullah ï·º bersabda:

اَÙ„ْÙ…ُـسْــلِÙ…ُ Ø£َØ®ُÙˆ اْلمُسْÙ„ِÙ…َ Ù„َا ÛŒَظْـلِÙ…ُ ÙˆَÙ„َایُظْÙ„َÙ…ُ
Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzalimi dan tidak membiarkan saudaranya disakiti.” (HR. al-Bukhari)

Jika ada kekhilafahan Islam, seluruh umat Muslim akan mendapatkan perlindungan dari khalifah, karena khilafah adalah junnah (perisai) yang melindungi dan menjaga umat di mana pun mereka berada. Sebagaimana sabda Rasulullah ï·º:

Ø¥ِÙ†َّÙ…َا الْØ¥ِÙ…َامُ جُÙ†َّØ©ٌ ÙŠُÙ‚َاتَÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ ÙˆَرَائِÙ‡ِ ÙˆَÙŠُتَّÙ‚َÙ‰ بِÙ‡ِ
Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai. Manusia berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Rangkaian penderitaan yang dialami saudara-saudara kita di Myanmar, Uyghur, India, Gaza, dan kini Sudan seakan tidak pernah berakhir. Hal ini terjadi karena umat masih berharap kepada pihak asing, padahal merekalah penyebabnya. Persatuan negeri-negeri Muslim dalam naungan khilafah menjadi satu-satunya solusi untuk menyelesaikan permasalahan umat, melawan hegemoni negara-negara kafir Barat yang terus menjajah, memecah-belah, dan membuat umat Islam menderita.

Saatnya kita kembali menjadi umat yang sejati, yakni ummatan wahidatan (umat yang satu), bersatu dalam ukhuwah Islamiyah di bawah naungan khilafah. Bukan seperti sekarang, ketika kaum Muslim terpecah-belah oleh nasionalisme, kesukuan, dan ikatan-ikatan lain yang melemahkan dan menjauhkan kita.

Wallahu a‘lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar