MENITI JALAN DAKWAH PERUBAHAN HAKIKI


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Setelah viral video seorang Gus mencium pipi hingga bibir sejumlah anak perempuan, kemudian muncul video permintaan maaf dari yang bersangkutan. Ia mengatakan bahwa semua yang ia lakukan berada di bawah pengawasan orang tua sang anak, namun ia tetap meminta maaf, berjanji tidak melakukan hal serupa, dan menghapus semua video yang tidak pantas tersebut.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, melalui Sekretaris MUI Jatim KH Hasan Ubaidillah, menyatakan bahwa perbuatan Elham Yahya Luqman atau Gus Elham (ulama muda asal Kediri) termasuk perbuatan haram dan tidak pantas dilakukan oleh seorang pendakwah. Bahkan hal itu dianggap telah melampaui batas kewajaran dan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah (CNN Indonesia, 12/11/2025).

Menurut KH Hasan, peristiwa ini menjadi momentum untuk memberikan edukasi dan pedoman dakwah yang sesuai syariat Islam. Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melayangkan teguran resmi kepada Elham karena yang bersangkutan sudah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.

Menteri Agama Nasaruddin Umar berpendapat bahwa segala tindakan yang bertentangan dengan nilai moral harus menjadi musuh bersama, termasuk apa yang dilakukan oleh Gus Elham. Ia menambahkan bahwa pihaknya terus berupaya menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi siapa pun, baik di institusi pendidikan maupun keagamaan.

Salah satu upayanya adalah membentuk tim pembinaan pondok pesantren sebagai wadah kolaborasi para pimpinan pesantren untuk mengeliminasi segala bentuk penyimpangan di lembaga pendidikan.

Sejalan dengan Nasaruddin, Wakil Menteri Agama Romo Muhammad Syafi’i juga menilai perilaku Gus Elham tidak pantas, apalagi dilakukan oleh seseorang yang dianggap pemuka agama. Kemenag telah memiliki pedoman tegas mengenai lingkungan ramah anak di madrasah dan pesantren melalui Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam.

Ketua PBNU Alissa Wahid turut menyesalkan tindakan dan perilaku pendakwah tersebut yang tidak mencerminkan akhlakul karimah serta bertentangan dengan ajaran Islam. Tindakan yang merendahkan martabat manusia, terlebih terhadap anak-anak, merupakan pelanggaran serius terhadap nilai kemanusiaan dan prinsip dakwah bil hikmah yang menjadi ciri Islam rahmatan lil ‘alamin.


Sekulerisme Akar Masalahnya

Banyak yang berpendapat bahwa perilaku tersebut tidak pantas, tetapi tidak ada yang menyeretnya ke ranah hukum, seolah permintaan maaf sudah cukup. Padahal masih banyak Gus-Gus lain yang berperilaku tidak pantas, bahkan seolah bersembunyi di balik nama besar orang tua. Mereka memiliki massa dan pengaruh, namun apa yang mereka dakwahkan sering kali tidak memiliki dalil agama sama sekali. Ada pula yang disebut Gus padahal latar belakang dirinya maupun keluarganya tidak jelas.

Tidak sedikit dari mereka yang terlihat menjilat penguasa, mengubah kegiatan zikir bak konser penuh kilatan cahaya dan penari, merestui ikhtilat (campur baur lelaki–perempuan) dalam acara keagamaan, bahkan mempraktikkan tradisi yang tidak mencerminkan dakwah. Namun tidak ada tindakan tegas dari negara.

Semua ini adalah akibat penerapan sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Dakwah yang seharusnya bertujuan membawa perubahan hakiki justru berubah menjadi ajang mencari pamor. Masyarakat pun terdistraksi, lebih suka menghadiri kajian karena pendakwahnya tampan, terkenal, atau ada pembagian doorprize. Sementara kebutuhan utama, yaitu peningkatan pemahaman agama, justru tidak tersentuh.

Kajian hanya menjadi formalitas. Setelah pulang, tidak ada penerapan ajaran dalam kehidupan. Baik pendakwah maupun masyarakat sama-sama terjebak dalam opini penjajah: Islam moderat, toleransi ekstrem, pluralisme, bahkan perjuangan menegakkan khilafah dianggap kriminal.


Harus Ada Perubahan Paradigma Pemahaman Islam

Suburnya sekulerisme tidak terjadi begitu saja. Ia hadir bersamaan dengan agenda penjajah untuk menghancurkan Islam melalui kerja sama politik, ratifikasi undang-undang internasional yang mengikat negeri-negeri Muslim, utang luar negeri berbasis riba, hingga gaya hidup yang menjauhkan umat dari agama.

Beragama akhirnya dipahami sebatas ritual ibadah, sementara di ranah publik dianggap tidak relevan. Dakwah pun menyimpang dari tujuan awalnya: bukan lagi membangkitkan semangat juang dan melawan penjajahan gaya baru, tetapi sebatas mencari ketenangan pribadi. Kewajiban menjaga ukhuwah Islamiyah memudar, sementara sebagian ulama dan pendakwah merapat kepada kekuasaan, berharap mendapatkan keuntungan pribadi meski harus berkompromi dengan ketidakadilan dan pelaku kezaliman.

Halal dan haram kini dinilai berdasarkan manfaat ekonomi dan sosial, bukan berdasarkan hukum Allah. Ini adalah bencana, sehingga perubahan pemikiran menjadi sangat penting. Kita harus mengembalikan martabat dakwah dan pendakwah kepada posisi yang benar. Selama yang dilakukan pemerintah (termasuk Kemenag) masih berada dalam sistem sekuler, tujuan yang diharapkan tidak akan tercapai.

Umat harus membangun pemikiran yang sahih, mempelajari Islam secara kaffah agar mampu memahami akar masalah dan solusinya. Masyarakat perlu bergabung dengan jamaah dakwah ideologis untuk membentuk kerangka berpikir yang benar, bersih dari sekulerisme, dan fokus pada misi hidup sebagaimana firman Allah ﷻ:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Wallahu a‘lam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar