
Oleh: Winda Raya, S.Pd., Gr
Aktivis Pendidikan
Teknologi canggih seharusnya bisa dijadikan sebagai media untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Era digitalisasi bagi para pelajar seharusnya membuat mereka lebih cerdas dan beradab. Apa yang membuat judi online begitu mudah menjaring anak-anak sekolah, hingga mereka rela menjual barang keluarga demi terus bermain? Jika satu klik dapat membawa pelajar pada kecanduan yang merusak keluarga dan pendidikan, di mana letak kehadiran negara dan siapa yang paling bertanggung jawab melindungi mereka?
Fenomena meningkatnya pelajar yang terjebak judi online semakin memprihatinkan. Minimnya literasi digital dan lemahnya pengawasan membuat anak-anak dan remaja mudah menjadi sasaran. Kondisi ini menegaskan bahwa masa depan generasi muda terancam oleh gawai yang mereka gunakan sendiri, sehingga kehadiran negara untuk melindungi mereka menjadi sangat mendesak.
Hafizh (19), misalnya, mulai mengenal judi online sejak diajak teman sebangkunya ketika duduk di kelas 2 SMK. Sejak itu ia kecanduan hingga nekat menjual barang-barang milik keluarga mulai dari tabung gas hingga komputer dan kerap bertengkar dengan orang tuanya. Setelah satu tahun terpuruk, ia memutuskan berhenti karena ingin fokus lulus sekolah, meski godaan masih ada karena akses ke situs judol sangat mudah dan promosi tersebar di berbagai platform digital.
Kasus serupa dialami seorang siswa di Depok yang ditangani guru bernama Alda. Ia menuturkan bahwa mengatasi kecanduan judol tidak bisa dengan hukuman keras. Pendekatan emosional lebih efektif untuk menyadarkan siswa bahwa kecanduan ini dapat menghancurkan kondisi ekonomi keluarganya.
Maraknya kasus ini menjadi peringatan serius bahwa pemerintah harus memperkuat upaya pemberantasan judi online. Tidak cukup hanya menindak pelaku kecil, tetapi juga harus menargetkan bandar besar sebagai akar persoalan. (Tirto, 29/10/25).
Konten judi online kini tidak hanya muncul di platform hiburan, tetapi juga menyusup ke situs-situs pendidikan dan gim yang sehari-hari diakses pelajar. Kondisi ini membuat siswa sangat rentan terpapar karena promosi judol hadir di ruang digital yang seharusnya aman bagi mereka. Lebih jauh lagi, keterlibatan pelajar dalam judol sering berkembang menjadi lingkaran setan, ketika uang mereka habis akibat kekalahan, mereka mencari jalan pintas melalui pinjaman online, yang pada akhirnya menambah tekanan ekonomi dan risiko psikologis. Fenomena ini menegaskan adanya celah besar dalam pengawasan orang tua maupun pihak sekolah, sekaligus menunjukkan lemahnya peran negara dalam menutup atau menindak tegas situs-situs judi online yang terus bermunculan.
Di sisi lain, pendidikan karakter dan program literasi digital yang selama ini digencarkan belum mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Akar masalahnya tidak hanya terletak pada kurangnya kemampuan siswa memilah informasi digital, tetapi juga pada pola pikir yang ingin cepat kaya tanpa usaha, ditambah kemudahan akses dan modal kecil yang ditawarkan platform judi online.
Dalam lingkungan yang sangat dipengaruhi kapitalisme, sering kali tujuannya adalah mendapatkan keuntungan materi semata, sementara pertimbangan moral seperti halal atau haram semakin terpinggirkan. Hal ini diperparah oleh posisi negara dalam sistem kapitalisme yang lebih berperan sebagai regulator pasar ketimbang pelindung rakyat, sehingga perlindungan terhadap generasi muda dari ancaman judol tidak berjalan optimal.
Upaya menangani jeratan judi online dan pinjaman online di kalangan pelajar tidak dapat dilepaskan dari pemberian pemahaman yang jelas bahwa kedua praktik tersebut dilarang dan bertentangan dengan prinsip syariat. Pemahaman ini harus ditanamkan sejak dini agar siswa memiliki landasan moral dan agama yang kuat ketika berinteraksi dengan dunia digital yang penuh godaan.
Karena itu, penerapan pendidikan Islam yang berlandaskan akidah Islam menjadi sangat penting, sebab pendidikan karakter saja terbukti belum cukup membentuk pola pikir dan perilaku yang kokoh. Sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai keislaman akan membantu pelajar memiliki arah dalam bertindak, mampu membedakan halal atau haram, serta tidak mudah tergoda oleh iming-iming keuntungan cepat seperti judol dan pinjol.
Negara dituntut berperan aktif menciptakan sistem yang mampu membentuk generasi saleh dan berkepribadian Islam melalui penyelenggaraan pendidikan yang selaras dengan nilai-nilai tersebut. Tidak hanya itu, negara juga berkewajiban menutup akses terhadap seluruh situs judi online serta memberikan sanksi tegas bagi pihak yang terlibat, sebagai bentuk perlindungan nyata terhadap generasi muda dan upaya mencegah kerusakan moral yang lebih besar.
Dengan demikian, kondisi ini menegaskan perlunya pengawasan, regulasi, dan edukasi yang lebih kuat agar pelajar tidak semakin menjadi korban zaman digital yang tidak aman.
Wallahua’lam bisshoaf.

0 Komentar