MENGUAK TABIR KEBIJAKAN POPULIS MBG


Oleh: Hastuti Yubhar
Aktivis Muslimah Cilacap

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program makan siang gratis Indonesia pada pemerintahan Prabowo Subianto yang berjalan secara bertahap sejak 6 Januari 2025. Program ini dilatarbelakangi banyaknya kasus stunting, di mana pada tahun 2024 ada 19,6% balita yang mengalami stunting atau 5,9 juta orang mengalami stunting dan gizi buruk. Indonesia menempati peringkat kedua kasus stunting tertinggi di Asia Tenggara setelah Timor Leste berdasarkan data tahun 2022.

Fokus utama program ini adalah peningkatan gizi anak-anak dan ibu hamil, sekaligus berkontribusi pada pengurangan angka kemiskinan hingga 2,6 persen. MBG telah ditetapkan sebagai salah satu program prioritas nasional untuk periode 2025–2029 di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Meski dirancang dengan klaim untuk meningkatkan gizi masyarakat, program ini banyak menuai kritik mulai dari kasus keracunan, anggaran dana yang digunakan, hingga carut-marut sistem yang diterapkan.

Tujuan dari MBG sendiri adalah meningkatkan kualitas gizi, pemerataan kesejahteraan atau mengurangi angka kemiskinan, dan menggerakkan sektor UMKM. Program MBG menargetkan 82,9 juta penerima manfaat dengan alokasi anggaran sebesar Rp171 triliun pada tahun 2025, yang akan bertambah menjadi Rp335 triliun di tahun anggaran 2026. Sebanyak Rp223,6 triliun masuk dalam anggaran pendidikan, Rp24,7 triliun masuk dalam kategori anggaran kesehatan, dan Rp19,7 triliun masuk dalam fungsi ekonomi.

Target yang sangat tinggi dalam jangka waktu yang sangat singkat inilah yang membuat membengkaknya anggaran. Sampai dengan September 2025, sudah dibangun hampir 10.000 SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi), yang awalnya hanya 5.000 SPPG. Bahkan, target tersebut oleh Presiden Prabowo diperbesar menjadi 32.000 SPPG di akhir tahun 2025. Budget anggaran MBG menempati porsi terbesar dalam APBN yang diambil dari sektor lain melalui efisiensi anggaran, bahkan dari dana pendidikan akan dipotong sebesar 44%. Besarnya dana yang digunakan ini akan berdampak pada kualitas manusia, bukan hanya ekonomi makro.

Tidak dipungkiri, paradigma populisme dan kapitalisme memang makin menguat selama dua periode pemerintahan terakhir. Pada corak pemerintahan seperti ini, pencitraan menjadi perkara mutlak karena dengan cara itulah mereka bisa mendulang dukungan rakyat dan sponsorship dari para pemilik kapital. Maklum, politik demokrasi yang sedang diterapkan, dikenal berbiaya supermahal.

Konsekuensinya, mereka tidak peduli apakah program tersebut berdampak jangka panjang bagi anggaran dan perekonomian negara atau tidak. Mereka juga tidak akan peduli dengan anggaran negara yang sedang kritis, sampai-sampai berbagai sektor strategis harus dikorbankan demi proyek MBG. Yang tampak penting bagi mereka adalah mendapat dukungan penuh dari masyarakat yang jadi sasaran program, sekaligus loyalitas dari sponsor yang diuntungkan dari proyek yang dicanangkan.

Program MBG bisa dibilang sebagai program yang salah sasaran. MBG hendaknya diberikan kepada yang membutuhkan saja. Mengingat tujuan awalnya adalah mengentaskan anak-anak dari stunting dan gizi buruk, maka seharusnya yang diberikan MBG adalah ibu hamil dan anak usia 1.000 hari pertama kehidupan. Namun, bila demikian, maka anggarannya tidak akan spektakuler. Padahal, program ini bukanlah program pertama yang diterapkan oleh suatu negara karena Brasil dan Jepang telah menerapkan program ini hingga saat ini, walaupun memerlukan riset yang panjang. Seperti di Brasil yang membutuhkan 11 tahun dan di Jepang hampir 20 tahun, sementara di Indonesia hanya dalam waktu target 2 tahun tanpa riset dan pengalaman. Bisa dibayangkan amburadulnya.

Apa yang terjadi saat ini sejatinya merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Posisi pemimpin dalam sistem ini memang jauh dari paradigma riayah (pelayanan), apalagi junnah (perlindungan). Penguasa sekadar memerankan fungsinya sebagai penjaga kepentingan segelintir orang, terutama para kapitalis dan para pemburu kekuasaan. Sedangkan rakyatnya didudukkan sebagai objek penderita, sumber daya milik mereka dijarah, mereka pun kerap dicekik dengan berbagai pungutan bernama pajak.

Suara rakyat dalam sistem ini diperebutkan demi kursi kekuasaan, sedangkan kekuasaan diperebutkan sebagai ajang bancakan bagi para pemilik modal. Tidak ada spirit ruhiah yang mewarnai kehidupan masyarakat karena sistem ini menafikan peran agama, alias tidak kenal halal-haram. Yang ada hanyalah nilai-nilai manfaat jasadi dan perlombaan meraih sebesar-besar keuntungan materi yang bersifat profan.

Kehidupan rusak seperti ini sejatinya bukan habitat asli bagi umat Islam yang sudah Allah Taala dapuk sebagai umat terbaik pemimpin peradaban cemerlang. Habitat asli umat Islam adalah sistem kepemimpinan Islam (Khilafah) yang telah Allah wajibkan dan secara empiris pernah membawa umat ini pada sejarah emas yang tanpa bandingan selama nyaris 14 abad.

Kepemimpinan dalam sistem Khilafah berbeda jauh dengan kepemimpinan dalam sistem sekarang. Al-‘Alamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, seorang mujtahid mutlak abad ini, dalam kitabnya berjudul Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah Jilid 2, dengan gamblang menjelaskan bahwa syariat Islam telah menetapkan fungsi kepemimpinan sebagai pengurus alias pelayan (raain) sekaligus pelindung umat (junnah). Dengan demikian, kebijakan yang dikeluarkan khalifah tidak akan keluar dari koridor syariat dan karenanya mampu melahirkan kehidupan sejahtera, adil, dan penuh berkah.

Dalam praktiknya, syariat Islam memiliki tata aturan yang komprehensif dalam mewujudkan hal tersebut. Mulai dari sistem politik pemerintahan yang menjaga seluruh hukum-hukum Allah, sistem ekonomi dan keuangan yang menyejahterakan, sistem pergaulan yang menjaga harkat dan martabat umat, sistem pendidikan yang melahirkan generasi saleh dan unggul, serta sistem sanksi yang mencegah kerusakan dan kezaliman di tengah umat, dan lain-lain.

Oleh karena itu, sebagaimana teladan Amirul Mukminin Sayyidina Umar, seorang khalifah tidak akan pernah membiarkan ada rakyatnya yang kelaparan dan kurang gizi. Khalifah akan memastikan kebutuhan asasi dan sekunder setiap rakyatnya terpenuhi dengan standar tinggi tanpa banding. Mereka tahu, kelalaian dan kezaliman yang mereka perbuat akan menjadi kesedihan luar biasa di akhirat kelak. Keyakinan inilah yang menjaga mereka dari penyimpangan.

Adapun mekanisme praktis untuk menjamin kesejahteraan rakyat tersebut dikombinasikan antara pendekatan individual dan komunal. Islam mewajibkan para ayah dan wali bekerja mencari nafkah. Peran negara adalah menciptakan kondisi yang kondusif, termasuk membuka berbagai lapangan kerja seluas-luasnya, yang otomatis akan sejalan dengan penerapan sistem ekonomi yang bertumpu pada sektor ekonomi riil dan mengatur soal konsep kepemilikan. Adapun mereka yang lemah, akan ditopang oleh masyarakat yang kental dengan spirit sosial dan amar makruf nahi mungkar. Juga ditopang oleh negara yang siap merangkul dan mengangkat mereka dari penderitaan.

Sungguh, keadilan, kesejahteraan, dan keberkahan benar-benar nyata dalam sistem kepemimpinan Islam. Hal ini sesuai janji Allah ﷻ dalam Al-Qur'an surat Al-A’raf ayat 96 bagi mereka yang beriman:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi.

Wallahu'alam.

Posting Komentar

0 Komentar