
Oleh: Syifa Muthmainnah
Santriwati PPTQ Darul Bayan Sumedang
Peringatan Hari Santri tahun ini kembali menjadi sorotan publik. Beragam kegiatan digelar secara meriah, mulai dari upacara, kirab, pembacaan kitab, hingga festival film yang menampilkan kreativitas dan semangat para santri. Namun demikian, semarak perayaan ini tidak semestinya berhenti pada aspek seremonial. Momen ini harus menjadi pengingat sekaligus dorongan untuk terus memastikan bahwa para santri mampu memberikan kontribusi nyata di era kontemporer. Kehadiran santri bukan sekadar simbol penghormatan, melainkan harus diwujudkan melalui aksi nyata dalam kehidupan. Semangat tersebut pula yang ditegaskan melalui tema Hari Santri tahun ini.
Tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia” dengan jelas menyampaikan pesan bahwa santri dituntut untuk menjadi motor penggerak kemajuan masyarakat. Presiden Prabowo dalam kesempatan tersebut juga kembali menekankan pentingnya Resolusi Jihad yang dipimpin KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, sebuah momentum historis yang menegaskan partisipasi santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Meski demikian, semakin megahnya peringatan Hari Santri setiap tahun justru berpotensi menjebak dalam euforia simbolik yang dapat mengaburkan esensi santri sebagai sosok yang fakih fiddīn (mendalam pemahaman agamanya) dan agen perubahan sosial. Kemeriahan berbagai acara memang membangkitkan kebanggaan, namun belum tentu mencerminkan kemampuan santri dalam merespons tantangan zaman, memperdalam ilmu agama, serta memperjuangkan kepentingan umat. Akibatnya, momentum yang semestinya menjadi ruang refleksi mengenai tugas utama santri (menjaga aqidah, memelihara moral publik, dan memimpin upaya perbaikan umat) sering kali tenggelam di balik perayaan yang semarak tanpa diiringi langkah substantif untuk memperkuat peran tersebut.
Narasi penghormatan terhadap sejarah perjuangan santri dalam Resolusi Jihad sering kali terasa kontras dengan realitas kebijakan yang diterapkan terhadap pesantren dan santri di era kini. Di satu sisi, santri dipuji sebagai pahlawan moral dan pejuang kemerdekaan; namun di sisi lain, pengelolaan kebijakan dan program bagi pesantren kerap hanya memposisikannya sebagai agen moderasi beragama dan penggerak ekonomi komunitas. Meski penting, hal ini belum tentu sejalan dengan identitas dasar dan kebutuhan pesantren. Alih-alih diberdayakan untuk memperkokoh pijakan ilmu dan perjuangan umat, santri justru rentan terjebak dalam agenda pemerintah yang pragmatis dan seremonial.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa santri belum diarahkan untuk memiliki visi jihad menghadapi bentuk penjajahan modern, baik dalam ranah pemikiran, ekonomi, maupun hukum, yang berpotensi melemahkan umat dan nilai-nilai syariat. Alih-alih mendorong santri untuk menjadi benteng umat di tengah arus globalisasi yang bertentangan dengan Islam, peran strategis pesantren justru kerap dimanfaatkan untuk menguatkan sistem sekuler-kapitalisme yang tidak berorientasi pada kemaslahatan umat secara hakiki. Akibatnya, energi dan potensi pesantren yang seharusnya menjadi motor perubahan berbasis prinsip syariah teralihkan ke agenda-agenda nasional yang belum tentu berpihak pada kebangkitan dan kemandirian umat.
Padahal, peran strategis santri dan pesantren jauh melampaui fungsi pendidikan tradisional. Pesantren memikul tanggung jawab sebagai garda terdepan dalam menjaga umat dan membangun peradaban Islam yang cemerlang, melalui kemampuan menghasilkan generasi yang fakih fiddīn sekaligus agen perubahan yang mampu menegakkan syariat dalam kehidupan nyata. Karena itu, santri dituntut tidak hanya menguasai kitab turats dan ibadah ritual, tetapi juga berpikir kritis, berinovasi, serta aktif dalam dinamika sosial, politik, dan ekonomi untuk menghadirkan solusi serta memperjuangkan martabat umat di tingkat nasional dan global.
Untuk mewujudkan peran besar pesantren dan memastikan santri siap tampil di barisan terdepan melawan segala bentuk penjajahan dan kezaliman, negara perlu hadir sebagai penanggung jawab utama dengan langkah nyata. Selain itu, penting bagi negara untuk tetap menjaga kemandirian pesantren agar tidak kehilangan ruh perjuangannya, sekaligus mendorong kolaborasi dengan berbagai pihak, mulai dari perguruan tinggi hingga komunitas masyarakat. Dengan pendekatan yang komprehensif dan penuh keberpihakan, pesantren dapat tumbuh sebagai pusat ilmu, akhlak, dan gerakan sosial, melahirkan santri yang berwawasan luas, berkarakter kuat, dan siap menghadapi ketidakadilan dalam bentuk apa pun.

0 Komentar