
Oleh: Tety Kurniawati
Penulis Lepas
Eskalasi kasus bunuh diri anak tengah menjadi tragedi kemanusiaan yang memprihatinkan bagi publik global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis laporan bahwa bunuh diri merupakan penyebab kematian ketiga tertinggi pada rentang usia 10–19 tahun. Sementara itu, beberapa negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Amerika mengidentifikasi penyebab utama bunuh diri anak disebabkan adanya gangguan kesehatan mental, tekanan pendidikan, masalah hubungan, baik percintaan maupun pertemanan, dan perundungan yang memicu anak mengakhiri hidupnya.
Fenomena serupa terjadi di negeri tercinta. Berpenduduk mayoritas Muslim tak serta-merta membuat jiwa anak terjaga. Sepanjang Oktober 2025 lalu, kasus bunuh diri di kalangan pelajar terus mewarnai pemberitaan. Muncul masing-masing dua kasus bunuh diri di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Bahkan, salah satu kasus terjadi di lingkungan sekolah (Tirto, 05/11/2025).
Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan ada sekitar dua juta anak yang mengalami gangguan kesehatan mental dari data pemeriksaan kesehatan jiwa gratis yang dilakukan (Antara News, 30/10/2025). Kejadian tragis ini semestinya menjadi alarm serius bagi dunia pendidikan, keluarga, masyarakat, dan negara untuk meningkatkan kepedulian terhadap kesehatan mental anak bangsa.
Buah Pendidikan yang Mengeliminasi Peran Tuhan
Penerapan sistem kehidupan yang mengeliminasi peran Tuhan dari seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan, melahirkan generasi yang buta akan tujuan hidupnya. Mereka tidak memahami dari mana dirinya berasal, untuk apa hidupnya dijalani, dan ke mana dirinya kelak akan kembali. Akibatnya, gaya hidup sekuler membuat mereka larut dalam pandangan sesat jika kematian adalah solusi instan dan akhir dari segala penderitaan.
Di lain sisi, sistem ekonomi kapitalisme yang berorientasi materi membawa konsekuensi beban hidup yang tinggi. Kedua orang tua terpaksa bekerja demi kebutuhan keluarganya terpenuhi. Fatherless dan motherless pun dianggap wajar dan mulai dinormalisasi. Disfungsi keluarga kian sulit dihindari. Padahal, ia salah satu faktor risiko yang berkontribusi pada kerentanan anak terhadap ide dan perilaku bunuh diri.
Sekolah tak lagi menjadi tempat aman, menyemai bibit unggul peradaban. Kurikulum padat yang tak menyentuh aspek keimanan, penugasan dan ujian bertubi-tubi yang dibebankan, serta standar nasional yang kaku membuat pendidik lebih sibuk mengejar target capaian superfisial ketimbang membangun eloknya kepribadian. Wajar jika agama hanya diajarkan dalam pertemuan singkat dan sebatas ritual, bukan sebagai cara pandang berkehidupan.
Membangun karakter dan mengembangkan pengetahuan tak lagi menjadi tujuan sekolah didirikan. Namun ajang kompetisi memperoleh angka ijazah yang tidak menjamin masa depan. Kedewasaan anak didik diukur semata dari kesiapan biologis dan berusia lebih dari 18 tahun. Di bawah umur tersebut, melakukan kesalahan dianggap sebagai kenakalan anak yang bisa ditolerir. Alhasil, sekolah bukan lagi tempat pertumbuhan, melainkan arena survival. Di mana anak-anak tumbuh dengan kepribadian yang rapuh, kekanak-kanakan, kendali emosi yang lemah, prestasi akademik yang terkesan wah, tapi hidup tanpa arah.
Media sosial di sistem kapitalisme-sekuler hanya berorientasi pada cuan. Paparan konten sampah nirfaedah melimpah, termasuk konten toxic bunuh diri, komunitas yang menormalisasi perilaku menyakiti diri sendiri, dan ruang berbagi keputusasaan. Semua itu memperbesar peluang anak meniru tindakan tragis dalam hidupnya yang dianggap tak ideal.
Islam Memperkuat Mental Generasi
Islam menjadikan akidah sebagai dasar pendidikan, baik di rumah, sekolah, hingga ruang sosial. Sejak dini, anak diajarkan mengenal Tuhannya, memahami tujuan hidupnya, mengetahui hukum halal-haram, dan menyadari bahwa setiap ujian merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan kehidupan.
Pendidikan Islam bertujuan memastikan terbentuknya pola pikir dan pola sikap yang padu dalam kepribadian generasi. Saat individu telah baligh, ia tidak boleh sekadar dewasa secara biologis, tetapi diarahkan pula untuk aqil, matang akalnya, dan siap bertanggung jawab atas hidupnya. Bentang sejarah menjadi saksi keberhasilan Rasulullah ï·º mendidik para sahabat menjadi sosok yang tak sekadar cerdas, tetapi juga teguh jiwanya menghadapi penderitaan dan ancaman.
Islam mewajibkan negara untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan esensial tiap warga negaranya, sistem ekonomi yang adil dan mensejahterakan, perlindungan terhadap ketahanan keluarga, serta arah hidup yang jelas. Semuanya merupakan pondasi bagi kuatnya mental generasi. Kala akidah tertancap kuat, hidup akan dianggap sebagai amanah yang harus dijaga. Tiap ujian akan disikapi sebagai sarana penguatan dan penebus dosa atas kemaksiatan. Maka jiwanya akan tenang, hati lapang, dan tangguh menghadapi kerasnya kehidupan. Inilah yang akan mengokohkan benteng pertahanan generasi terhadap perilaku bunuh diri.
Wallahua'lam bishawwab.

0 Komentar