MELIBAS TUNTAS PROBLEM BULLYING


Oleh: Dede Masitoh
Mahasiswi UT

Bullying merupakan perilaku yang acap kali memakan korban, bukan hanya dampak fisik, namun juga jiwa. Kemudian jiwa seseorang mempengaruhi perilaku serta tindakan yang ia lakukan. Korban bullying tidak bisa membedakan benar dan salah, ia hanya bisa mencoba untuk mengobati jiwa yang sakit. Seperti halnya korban bully yang baru-baru ini ramai diberitakan.

Dikutip dari laman Berita Satu, seorang santri di Aceh nekat membakar asrama tempat ia belajar pada Jumat, 31 Oktober 2025, pukul 03.25 dini hari. Ia nekat membakar seluruh gedung bermodalkan korek api. Bahkan kerugian yang diakibatkan mencapai hingga 2 Miliar rupiah. Hal itu terjadi bukan tanpa alasan, melainkan karena motif sakit hati akibat bullying yang dilakukan oleh rekan-rekannya. (08/11/2025)

Bukan hanya itu, seorang siswa SMAN 72 Kelapa Gading diduga melakukan aksi ledakan di sekolah. Pelaku juga luka-luka akibat mencoba bunuh diri. (Kumparan, 07/11/2025)

Dari kedua kasus tersebut alasannya sama, yaitu bullying. Para pelaku melakukan aksi tersebut karena tekanan sosial yang sangat berat akibat bullying secara fisik maupun verbal. Mereka nekat melakukan hal berbahaya karena merasa tidak ada perlindungan yang mampu membantu. Orang-orang di sekitar mereka abai terhadap apa yang menimpa mereka.

Beberapa faktor berikut bisa menjadi penyebab bullying tidak teratasi:
  • Bullying Menjamur di Berbagai Daerah: Kasus bullying menimpa berbagai strata pendidikan di berbagai daerah. Ini sudah cukup menjadi bukti bahwa bullying adalah masalah yang sistemik dalam pendidikan. Seperti halnya parasit pada tumbuhan, mereka merusak yang segar bugar menjadi berpenyakit. Menerbangkan spora keburukan secara estafet. Menggerogoti dari dalam bak sel kanker pada tubuh manusia.
  • Media Sosial dan Bullying: Di media sosial kita menemukan banyak hal-hal yang dapat membuat kita menjadi pelaku bullying. Tontonan yang merusak psikologis anak muda memperparah pelaku aksi bullying, hal yang sudah dinormalisasi tersebut bahkan sering bersembunyi di balik kata bercanda. Membuat seolah-olah bahwa menjatuhkan satu sama lain itu akan tampak keren.

Berkebalikan dengan hal tersebut, media sosial juga menjadi tempat inspirasi korban bullying untuk melakukan tindakan-tindakan atas dasar pelampiasan sakit jiwanya. Banyak sekali film-film yang memperlihatkan bagaimana kemarahan atau dendam itu harus dilampiaskan. Tanpa memikirkan orang lain, yang bahkan tidak bersalah. Menghapus batasan-batasan kita sebagai manusia. Menjadikan kita monster berjubah dendam dalam kehidupan bersosial.

Hal tersebut menunjukkan terjadinya krisis adab serta hilangnya fungsi pendidikan. Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat kita membentuk karakter agar bisa membedakan benar dan salah malah menjadi wadah bagi keburukan yang sistemik.


Sistem Pendidikan yang Salah

Kita hari ini menganut sistem pendidikan sekuler kapitalistik yang berfokus pada materi membuat kita lupa akan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Memisahkan agama dari pendidikan nyatanya melahirkan generasi yang gagal. Materi yang selalu dikejar membuat kita lupa, bahwa pendidikan itu bukanlah divisualisasi lewat angka. Sistem pendidikan yang salah ini memaksa kita berada dalam pertarungan hasil nyata dengan cara yang salah. Padahal makna pendidikan dalam Islam lebih dari sekadar itu.


Solusi Islam

Dalam Islam tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam, yaitu pola sikap yang berasal dari pola pikir yang benar berdasarkan standar Islam. Lalu bagaimana standar kepribadian Islam itu bisa terbentuk? Yuk kita bahas!

Proses pendidikan dalam Islam tidak dilakukan secara instan, tidak segampang membuat soal lalu memberi nilai. Itu dilakukan dengan cara bertahap mulai dari pembinaan intensif untuk membentuk pola pikir dan pola sikap yang dilandaskan standar Islam, tidak hanya fokus pada nilai materi, tapi juga nilai akhlak dan nilai ruhiyah. Agar pelajar tidak hanya terbentuk menjadi mesin ilmu pengetahuan tetapi manusia yang berpengetahuan secara benar serta memiliki kemampuan membedakan benar dan salah, sehingga bullying tidak akan terjadi.

Selain itu, kurikulum harus berbasis pada aqidah Islam, di mana mereka belajar memahami dan mengenal Allah. Kemudian memiliki kesadaran akan hubungannya dengan Allah, sehingga membentuk siswa yang bukan hanya berilmu namun juga beradab.

Solusi Islam tersebut tentu sulit terealisasi, apabila tidak dengan negara yang menjalankannya. Tentu negara tersebut juga harus berlandaskan ideologi Islam. Yaitu dengan adanya khilafah (negara Islam) yang menjamin pendidikan dengan standar terbaik, bukan hanya pengetahuan umat namun pembinaan moral dan adab yang juga akan dibentuk. Umat tidak akan cemas dengan kezaliman sosial karena pemimpin negara Islam (khalifah) akan bertanggung jawab atas kesejahteraan serta perlindungan bagi umat termasuk generasi penerusnya.

Seperti dalam hadits berikut:

الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari).

Tidak akan ada yang merasa terabaikan dan terancam dalam penerapan Islam tersebut. Semua akan didengar dan dipersaksikan sesuai hukum syara. Berlaku tanpa memandang kasta dan status karena semua dianggap sama.

Dari kerusakan-kerusakan hari ini, marilah kita merenungkan bagaimana tindakan kita setelahnya. Semua ini merupakan hal yang sebenarnya sering kita abaikan lalu berakhir terjadi pada diri sendiri. Rusaknya generasi bukan tanggung jawab individu, tapi tanggung jawab bersama. Perubahan tidak terjadi secara tiba-tiba namun dari langkah-langkah kecil yang berkesinambungan, menyeru di jalan-Nya. Bersama dalam kesatuan utuh yaitu umat Islam.

Wallahu a’lam bissawab

Posting Komentar

0 Komentar