NORMALISASI HUBUNGAN DENGAN ISRAEL: SEBUAH KEBANGGAAN ATAU KEHANCURAN?


Oleh: Yumna Daafiatumillah
Penulis Lepas

Pada tahun 2020, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyatakan keinginannya agar lebih banyak negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel. Melalui serangkaian dokumen yang dikenal dengan Abraham Accords, negara-negara Arab seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko telah bergabung dalam perjanjian tersebut.

Tak lama kemudian, Kazakhstan juga bergabung dalam Perjanjian Abraham. Hamas mengecam tindakan Kazakhstan tersebut dalam pernyataan yang dikeluarkan pada Jumat (7/11). "Deklarasi Kazakhstan untuk bergabung dengan Abraham Accords dan memperkuat hubungan dengan entitas kriminal Zionis [Israel] adalah langkah yang tidak bisa diterima dan memalukan," seperti dilansir dari Antaranews (08/11/2025).

Miris, umat Islam saat ini terjebak dalam perangkap baru Amerika Serikat dan sekutunya. Normalisasi hubungan dengan Israel merupakan jalan untuk melegalkan genosida zionis terhadap Gaza. Para penguasa negeri Muslim pun telah menampakkan pengkhianatan mereka terhadap Gaza, dengan menandatangani perjanjian Abraham. Perdamaian mereka dengan Israel sama saja dengan membenarkan tindakan kejam Israel terhadap Palestina. Tindakan mereka jelas menunjukkan keberpihakan mereka kepada siapa! Saudaranya ataukah musuhnya.

Penjajahan atas Palestina akan terus berlanjut selama keputusan mengenai Palestina tetap didasarkan pada keuntungan Barat. Persoalan Palestina pun tidak akan terselesaikan jika umat Islam masih terbelenggu dalam sekat-sekat nasionalisme. Saat ini, masih ada sebagian kaum Muslim yang terfokus pada urusan pribadi masing-masing, yang membuat mereka lalai memikirkan nasib saudara-saudara mereka. Sebagian lainnya sibuk mencari solusi hakiki yang seharusnya tidak terlupakan. Lalu, apa solusi tersebut?

Solusi tuntas tersebut tidak lain adalah mengibarkan bendera jihad dan kembali menegakkan khilafah ala minhaj an-nubuwwah, yang menyatukan seluruh kaum Muslim, bersatu dalam satu kepemimpinan khalifah menuju tanah Palestina untuk mengusir penjajah Zionis Israel. Khilafah sebagai junnah (perisai), penjaga kaum Muslim, akan mencabut penjajahan sampai ke akarnya, bukan dengan berdamai dengan penjajah. Dalam Islam, berdamai dengan musuh hanya diperbolehkan jika perdamaian itu datang dari musuh ketika kaum Muslim kuat, dan perdamaian tersebut mengangkat derajat Islam dan umat Muslim. Hal ini dijelaskan dalam surat Al-Anfal ayat 61:

وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
"Akan tetapi, jika mereka condong pada perdamaian, condonglah engkau (Nabi Muhammad) padanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya hanya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Anfal: 61)

Dan dalam surat Muhammad ayat 35 dijelaskan:

فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمْ الْأَعْلَوْنَ وَاللّٰهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
"Maka, janganlah kamu lemah dan mengajak berdamai (saat bertemu dengan musuhmu), padahal kamulah yang paling unggul. Allah besertamu dan tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu." (QS. Muhammad: 35)

Perdamaian yang dilakukan pun bersifat sementara, dan musuh bukanlah perampas tanah Muslimin. Sedangkan yang terjadi saat ini, penguasa negeri-negeri Muslim berdamai dengan musuh, perampok tanah Muslimin (Palestina) maka hal ini tidak diperbolehkan.

Umat harus sadar bahwa perjuangan untuk mengembalikan kehidupan Islam sangatlah penting. Meskipun benar sabda Nabi bahwa kekhalifahan kedua ala minhaj an-nubuwwah akan tegak kembali, namun apakah kita akan diam saja, menunggu janji Rasulullah tanpa berusaha untuk mewujudkannya? Semua kembali pada keputusan kita masing-masing.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar