PINJOL DAN JUDOL MENJERAT REMAJA, SUNGGUH MALAPETAKA!


Oleh: Irohima
Penulis Lepas

Generasi muda benar-benar berada di ambang kehancuran jika kita tidak segera mengambil tindakan. Fenomena pinjaman online dan judi online kini sudah berada pada tahap yang mengerikan, karena pelaku maupun korbannya tidak hanya berasal dari kalangan dewasa, baik yang bekerja maupun menganggur, tetapi juga telah merambah anak-anak yang seharusnya fokus pada pendidikan.

Seorang siswa SMP di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, dikabarkan tidak masuk sekolah selama satu bulan penuh karena kecanduan pinjol dan judol. Hal ini terungkap setelah adanya laporan dari pihak sekolah. Kasus ini tentu menimbulkan keprihatinan dan mengundang respons dari berbagai pihak, termasuk Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayanti, yang menilai bahwa kasus tersebut muncul karena adanya kesalahan dalam pola pendidikan saat ini.

Fenomena ini juga menunjukkan krisis literasi digital serta lemahnya pengawasan sosial terhadap generasi muda di tengah derasnya arus digitalisasi. Karena itu, Esti meminta pemerintah memperkuat literasi digital dan pendidikan karakter di sekolah, sebab literasi digital bukan sekadar kemampuan memakai gawai, tetapi juga kemampuan membaca bahaya di balik layar (Kompas, 26/10/2025).

Kasus yang terjadi di Kulon Progo bukanlah yang pertama. Sebelumnya, telah muncul berbagai kasus serupa yang melibatkan anak-anak dan remaja. Rasanya sulit menghindari arus digitalisasi hari ini; hampir semua orang sudah bersentuhan dengan dunia digital, termasuk anak-anak dan remaja. Melalui gawai, konten judi online dan pinjaman online tersebar luas, bahkan secara masif merambah situs-situs pendidikan dan gim daring yang sering dikunjungi anak dan remaja, sehingga mereka sangat rentan terpapar.

Pinjol dan judol memiliki karakteristik yang sama, yaitu menimbulkan efek ketagihan atau kecanduan yang dapat membuat seseorang terjebak dalam lingkaran utang atau kehilangan kontrol diri, sehingga memberi dampak buruk bagi kondisi finansial, hubungan sosial, dan kesehatan mental.

Terlebih bagi pelajar, ketika mereka kehabisan uang akibat kalah judi, ditambah pemikiran yang dangkal tetapi sudah candu, mereka dapat bertindak sembarangan untuk mendapatkan uang, misalnya menjual barang-barang milik keluarga atau mencari pinjaman online. Fenomena ini menunjukkan adanya celah besar dalam pengawasan orang tua dan sekolah terhadap anak, serta lemahnya peran negara dalam menutup dan memberantas situs-situs judol.

Pendidikan karakter dan literasi digital yang selama ini dianggap mampu menangani masalah tersebut nyatanya belum mampu memberikan solusi berarti. Kasus remaja yang terjerat pinjol dan judol terus terjadi bahkan semakin meningkat. Mengapa demikian? Karena solusi yang ditawarkan tidak menyentuh akar masalah. Maka tidak mengherankan apabila judol dan pinjol tampak sulit diberantas.

Sejatinya, penyebab utama maraknya pinjol dan judol adalah kerusakan pola pikir. Masyarakat kini dihinggapi keinginan untuk cepat kaya dengan modal kecil, akses mudah, dan tanpa mau bersusah payah. Keadaan ini dimanfaatkan oknum tidak bertanggung jawab yang mencari keuntungan tanpa memikirkan dampak kehancuran yang ditimbulkan.

Ditambah lagi, sikap dan perilaku individu yang terbentuk akibat penerapan sistem kapitalisme membuat segala sesuatu diukur dengan materi, semakin banyak materi yang diperoleh, semakin tinggi nilai dan status sosial yang didapat. Dari sini, orang berlomba-lomba meraih keuntungan sebesar-besarnya tanpa lagi memperhatikan halal dan haram.

Ketiadaan peran negara semakin memperparah keadaan. Maraknya judol dan pinjol tidak lepas dari banyaknya situs dan konten terkait yang beredar, sementara pengawasan pihak berwenang sangat minim. Kebijakan negara pun sering berujung pada kegagalan. Ketika ratusan atau ribuan situs ditutup, dalam waktu singkat situs baru kembali muncul. Sanksi hukum terhadap pelaku juga tidak menimbulkan efek jera dan cenderung lemah. Jangankan takut pada hukum, dosa pun tidak lagi dianggap.

Mayoritas warga Indonesia adalah muslim, tetapi ironisnya perkembangan judol di negeri ini justru sangat pesat, bahkan menjadikan Indonesia berada di peringkat teratas jumlah pemain judi online di dunia dengan total 201.122 pemain. Ini kenyataan yang menyedihkan, tetapi tidak bisa dipungkiri.

Pada dasarnya, semua ini terjadi karena kurangnya pemahaman agama dan kesadaran masyarakat. Banyak orang tidak memahami, atau mungkin pura-pura tidak memahami, mana yang halal dan haram. Karena itu, dalam Islam, negara berkewajiban memberikan pemahaman dan edukasi bahwa judol dan pinjol adalah haram. Pendidikan berlandaskan Islam juga akan diterapkan agar para remaja memiliki arah berpikir dan bertindak.

Islam juga memaksimalkan peran negara untuk membangun sistem yang melahirkan generasi saleh, berkepribadian Islam, serta memiliki pola pikir yang benar. Negara dalam Islam akan menutup seluruh akses yang berkaitan dengan judol dan pinjol serta memberikan sanksi tegas bagi para pelakunya.

Hanya dengan Islam, persoalan judol dan pinjol yang berkepanjangan dapat diselesaikan. Maka, apa lagi yang kita tunggu? Beralihlah kepada Islam secara kaffah, karena dengan penerapan Islam secara menyeluruh, hidup akan lebih terjaga dan bahagia.

Wallahu a‘lam bisshawab.

Posting Komentar

0 Komentar