ANGKA BUNUH DIRI ANAK SEKOLAH MENINGKAT: KEGAGALAN SISTEM PENDIDIKAN SEKULER?


Oleh: Neni Moerdia
Penulis Lepas

Tragedi bunuh diri di kalangan anak sekolah bukan lagi sekadar berita menyedihkan yang datang dan pergi, melainkan alarm darurat bagi sistem pendidikan kita. Di tengah kemajuan teknologi dan prestasi akademik yang terus dikejar, mengapa justru jiwa-jiwa muda kita semakin rapuh?

Opini ini bukan seruan radikal, melainkan undangan refleksi. Pemerintah, ulama, dan orang tua harus berkolaborasi untuk reformasi pendidikan. Jiwa anak adalah amanah; jangan biarkan kegagalan sistem merenggutnya lagi.

Data terbaru menunjukkan lonjakan kasus yang mengkhawatirkan, yang tidak hanya mencerminkan kegagalan pendidikan sekuler yang materialistis, tetapi juga panggilan mendesak untuk kembali ke fondasi nilai spiritual yang kokoh. 

Lonjakan kasus bunuh diri yang mengguncang pada tahun 2025 menjadi tahun yang kelam bagi generasi muda Indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat setidaknya 25 kasus bunuh diri anak sepanjang Januari-Oktober 2025, dengan sebagian besar melibatkan pelajar usia sekolah dasar dan menengah.

Kasus-kasus ini tersebar di berbagai daerah, termasuk Jawa Barat dan Sumatera Barat, menandakan tren nasional yang memprihatinkan. Contoh kasusnya sebagai berikut:
  • Pada Oktober 2025, dua anak ditemukan meninggal diduga akibat bunuh diri di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi, Jawa Barat. Kasus ini menambah beban emosional bagi keluarga dan komunitas setempat, di mana pemicu seperti tekanan sekolah dan lingkungan sering disebut sebagai faktor utama.
  • Lebih tragis lagi, dua siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, ditemukan bunuh diri di lingkungan sekolah selama Oktober 2025. Siswa bernama Bagindo ditemukan tergantung di ruang kelas pada Selasa, 28 Oktober 2025, siang hari, sementara Arif ditemukan tergantung di ruang OSIS pada Senin, 6 Oktober 2025, malam hari. Penyelidikan awal kepolisian menyatakan tidak ada indikasi bullying, menunjukkan bahwa akar masalahnya lebih dalam daripada konflik interpersonal.
  • Selain itu, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono pada 30 Oktober 2025 mengungkapkan data dari program pemeriksaan kesehatan jiwa gratis: lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami gangguan mental, berdasarkan skrining terhadap sekitar 20 juta jiwa. Ini berarti sekitar 10% anak-anak kita berisiko tinggi, dengan bunuh diri sebagai puncak gunung es dari krisis kesehatan jiwa yang lebih luas.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia; paparan media sosial dan diskusi online tentang bunuh diri (seperti satu juta pengguna ChatGPT yang membahas topik ini setiap pekan) semakin memperburuk kerentanan remaja.

Peningkatan angka bunuh diri ini bukan kebetulan, melainkan gejala kegagalan sistem pendidikan sekuler. Pendidikan kita saat ini terlalu berfokus pada pencapaian fisik dan akademik (nilai ujian, kompetisi, dan keterampilan kerja) sementara mengabaikan pembentukan karakter spiritual.

Tidak semua kasus disebabkan bullying; fakta dari Sawahlunto justru menggarisbawahi kerapuhan kepribadian remaja sebagai pendorong utama. Mereka tumbuh tanpa pondasi akidah yang kuat, sehingga mudah goyah oleh tekanan hidup.

Paradigma Barat yang mendasari sistem sekuler ini memperburuk situasi. Anak dianggap “dewasa” baru pada usia 18 tahun, padahal secara biologis dan agama, baligh (dewasa seksual dan tanggung jawab) terjadi lebih dini. Akibatnya, remaja baligh diperlakukan sebagai anak kecil, tanpa pendidikan yang mematangkan akal dan jiwa mereka. Ini kontras dengan ajaran Islam, di mana pendidikan pasca-baligh difokuskan pada penguatan akal dan tanggung jawab moral.

Lebih dalam lagi, bunuh diri adalah manifestasi akhir dari gangguan mental yang berakar pada faktor non-klinis. Sistem kapitalisme yang diterapkan luas menyebabkan kesulitan ekonomi, konflik keluarga (termasuk perceraian), dan tuntutan gaya hidup mewah yang tak tertahankan. Paparan media sosial, termasuk komunitas online yang “berbagi” pengalaman bunuh diri, semakin menular seperti virus di kalangan anak muda. KPAI sendiri merekomendasikan sistem deteksi dini dan dukungan psikologis awal, tapi ini hanya obat simptomatik jika fondasi sistem tidak berubah.

Solusi sejati bukan tambal sulam, melainkan transformasi total menuju sistem pendidikan berbasis Islam. Islam menempatkan akidah sebagai pondasi utama di keluarga, sekolah, dan masyarakat, membekali anak dengan kekuatan batin untuk menghadapi ujian hidup. Tujuan pendidikan Islam bukan sekadar prestasi, tapi membentuk pola pikir dan sikap Islami yang menghasilkan kepribadian tangguh, seperti ketabahan Nabi Ayyub AS dalam penderitaan.

Secara spesifik dapat dijabarkan sebagai berikut:
  • Pendidikan Pra-Baligh: Pemadatan Karakter. Sebelum baligh, fokus pada pendidikan yang mendewasakan jiwa Islam, mengajarkan akhlak, salat, dan pemahaman tauhid secara praktis, bukan teori semata. Ini mencegah kerapuhan kepribadian yang menjadi akar bunuh diri.
  • Pasca-Baligh: Penguatan Aqal dan Tanggung Jawab. Anak baligh diarahkan untuk menyempurnakan akal melalui studi fiqih, sejarah, dan etika Islam, sambil diberi peran nyata di masyarakat, bukan diperlakukan sebagai “anak kecil” seperti dalam paradigma sekuler.
  • Penyelesaian Non-Klinis Secara Tuntas. Penerapan syariat Islam melalui Khilafah akan menjamin kebutuhan pokok (zakat dan distribusi kekayaan), keluarga harmonis (larangan poligami sembarangan dan dukungan pernikahan dini yang bertanggung jawab), serta arah hidup yang selaras dengan fitrah penciptaan. Ini mengurangi faktor ekonomi dan sosial yang memicu gangguan mental.
  • Kurikulum Khilafah: Integrasi Karakter dan Kompetensi. Kurikulum ini memadukan penguatan Islami dengan ilmu pengetahuan modern, sehingga siswa mampu menyikapi masalah (termasuk tekanan media sosial) dengan cara syar’i, seperti mencari pertolongan pada Allah dan komunitas ukhuwah.

Mari kita belajar dari tragedi Sawahlunto dan Sukabumi: Saatnya tinggalkan kegagalan sekuler, dan bangun generasi yang kuat iman, bukan hanya pintar hitung.

Posting Komentar

0 Komentar