
Oleh: Darul Iaz
Pemerhati Kebijakan Publik
Banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra sejak akhir November lalu telah berkembang dari bencana alam menjadi krisis kemanusiaan. Meski pemerintah menyatakan penanganan telah berjalan baik, realitas di lapangan justru menunjukkan kesenjangan serius antara pernyataan negara dan pengalaman rakyat.
Presiden Prabowo menyampaikan yang dikutip dari DW Indonesia, “Bencana ini sekali lagi dia musibah, tapi di sisi lain menguji kita. Alhamdulillah kita kuat, kita mengatasi masalah mengatasi masalah dengan (kekuatan) kita sendiri.” Namun, di banyak daerah terdampak, kekuatan yang dimaksud belum sepenuhnya hadir dalam bentuk bantuan nyata.
Berbagai laporan mengungkap bahwa hingga kini masih terdapat wilayah yang sulit dijangkau bantuan logistik. Jalur transportasi terputus, koordinasi antarlembaga tidak solid, serta keterbatasan infrastruktur memperparah situasi. Akibatnya, warga di daerah terpencil bertahan tanpa pasokan pangan yang memadai dalam kondisi darurat yang berkepanjangan.
Di beberapa titik, warga harus berjalan kaki berhari-hari demi mendapatkan makanan. Mereka melewati jalan rusak, tanah longsor, dan reruntuhan bangunan akibat banjir. Kondisi ini menandakan bahwa persoalan utama bukan semata besarnya bencana, melainkan lemahnya sistem distribusi dan perlindungan negara. Pernyataan Gubernur Aceh yang menyebut sebagian warganya meninggal karena kelaparan (bukan karena banjir langsung) menjadi sinyal keras bahwa negara gagal menjalankan fungsi paling dasar: menjaga nyawa rakyat. (Detik, 06/12/2025)
Akar Masalah: Paradigma Kekuasaan
Lambannya respons dan buruknya distribusi bantuan tidak bisa dilepaskan dari cara pandang bernegara yang keliru. Kekuasaan kerap dimaknai sebagai alat untuk mempertahankan posisi politik dan memperluas pengaruh, bukan sebagai amanah untuk mengurus urusan rakyat. Ketika orientasi kekuasaan lebih dominan daripada orientasi pelayanan, kepentingan rakyat selalu berada di urutan belakang.
Dalam sistem demokrasi kapitalistik, kekuasaan politik sangat bergantung pada sokongan modal. Pemilik modal menjadi penentu arah kebijakan karena mereka adalah penyandang dana politik. Konsekuensinya, negara cenderung melindungi kepentingan para pemodal tersebut, meski harus mengorbankan kepentingan publik.
Praktik pembalakan hutan dan eksploitasi sumber daya alam dilegalkan atas nama pembangunan dan investasi. Padahal, dampaknya adalah kerusakan ekologis yang memicu bencana berulang. Ketika banjir terjadi, rakyat menanggung penderitaan, sementara pelaku perusakan lingkungan tetap aman di balik perlindungan hukum dan relasi kekuasaan.
Fakta bahwa belum ada pemilik perusahaan besar yang ditetapkan sebagai tersangka meski kuat dugaan keterlibatan mereka dalam kerusakan lingkungan mempertegas masalah ini. Penegakan hukum tampak ragu dan selektif. Hukum menjadi lunak ketika berhadapan dengan pemodal, tetapi keras terhadap rakyat kecil.
Kelemahan negara juga tercermin dari kebijakan anggaran. Dalam RAPBN 2026, anggaran penanggulangan bencana hanya dialokasikan sebesar Rp 4,6 triliun. Jumlah ini jelas tidak sebanding dengan tingkat kerawanan bencana Indonesia. Anggaran yang minim berarti mitigasi yang lemah, respons darurat yang lambat, serta pemulihan pascabencana yang tersendat. (Goodstats, 05/12/2025)
Ketika Hukum Manusia Gagal
Situasi ini menunjukkan kegagalan hukum buatan manusia dalam melindungi masyarakat. Hukum yang lahir dari kompromi kepentingan dan tekanan modal tidak pernah benar-benar berpihak pada keadilan. Akibatnya, kezaliman dilembagakan secara sistemik.
Allah ﷻ telah mengingatkan bahaya meninggalkan hukum-Nya melalui firman-Nya:
أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. al-Ma’idah [5]: 50)
Ayat ini menegaskan bahwa hukum yang tidak bersumber dari wahyu, meski dikemas modern, pada hakikatnya adalah hukum Jahiliyah. Ketika hukum dapat dibeli, ketika keadilan bisa dinegosiasikan, dan ketika nyawa rakyat kalah oleh kepentingan ekonomi, maka kegagalan sistem bukanlah kebetulan, melainkan keniscayaan.
Syariah sebagai Jalan Keluar
Islam menawarkan solusi menyeluruh melalui penerapan syariah dalam kehidupan bernegara. Dalam sistem kepemimpinan Islam (Khilafah), kekuasaan dipahami sebagai amanah syar’i untuk mengurus urusan umat (ri‘âyah syu’ûn al-ummah). Negara bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, terlebih dalam kondisi darurat.
Penanganan bencana merupakan kewajiban negara, bukan sekadar kebijakan teknis. Anggaran negara (Baitul Mal) dikelola berdasarkan ketentuan syariah melalui pos-pos yang jelas seperti fai’, kharaj, jizyah, dan hasil kepemilikan umum. Dana tersebut digunakan untuk memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi secara cepat dan merata.
Jika dana tidak mencukupi, negara akan memungut dharîbah secara syar’i dari kaum Muslim yang mampu, semata-mata untuk menutup kebutuhan mendesak. Negara juga mengorganisasi solidaritas sosial secara sistematis, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
المُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang Mukmin bagi Mukmin lainnya adalah seperti satu bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan satu sama lain” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dengan penerapan syariah, hukum berdiri di atas keadilan, bukan kepentingan. Negara bergerak cepat tanpa tersandera oligarki, dan rakyat tidak dibiarkan menghadapi bencana sendirian.
Penutup
Banjir Sumatra telah membuka tabir kegagalan sistemik negara dalam melindungi rakyatnya. Selama hukum manusia yang sarat kepentingan masih dijadikan pijakan, penderitaan rakyat akan terus berulang dalam setiap bencana.
Islam menegaskan bahwa tidak ada hukum yang lebih adil dan lebih mampu menjaga manusia selain hukum Allah. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah syariah layak diterapkan, melainkan sampai kapan negara bertahan dengan sistem yang terbukti melahirkan ketidakadilan dan penderitaan?

0 Komentar