KEAMANAN ANAK TERANCAM, LINGKUNGAN AMAN TINGGAL HARAPAN


Oleh: Winda Raya, S.Pd., Gr
Aktivis Muslimah

Di tengah rutinitas harian di sekolah dan taman bermain, muncul bayangan gelap yang semakin mengancam, yaitu isu penculikan anak. Kasus-kasus yang terus berulang telah merobek rasa aman yang seharusnya menjadi hak setiap anak, mengubah ruang publik (mulai dari jalanan yang ramai hingga lingkungan rumah yang tenang) menjadi wilayah yang penuh kewaspadaan.

Setiap orang tua kini harus hidup dalam kekhawatiran ganda: menjaga anak dari bahaya tak terlihat, sekaligus menghadapi kenyataan pahit bahwa jaminan perlindungan dari negara terasa semakin rapuh. Ancaman ini tidak hanya merenggut korban secara fisik, tetapi juga secara kolektif merusak fondasi kepercayaan masyarakat terhadap keamanan dan keadilan.

Kasus penculikan anak berinisial BR, yang berpindah tangan dari Makassar hingga Jambi dan akhirnya dirawat oleh Orang Rimba, menyoroti kerentanan parah yang dihadapi anak-anak dan masyarakat adat terhadap eksploitasi, sebuah situasi yang sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Perlindungan yang minim bagi kelompok rentan ini meningkatkan risiko mereka menjadi korban berulang, terutama ketika penelusuran terhadap pelaku utama kasus serupa sering terhenti.

BR terakhir kali berada di bawah pengawasan Begendang di Jambi, di mana Tumenggung Sikar, ayah Begendang, menegaskan bahwa motivasi mereka merawat anak tersebut murni untuk menyelamatkan nyawanya, bahkan dengan kesediaan untuk mengganti rugi.

Berbeda dengan niat tersebut, kepolisian sempat menuding masyarakat adat enggan melepas BR hingga muncul isu penukaran mobil, narasi yang memicu stigma negatif di media sosial, namun dibantah keras oleh Begendang, yang menyatakan bahwa ia hanya diminta bantuan untuk merawat anak tersebut karena ketidakmampuan keluarga aslinya (BBC News, 15/11/2025).

Indonesia menghadapi tantangan serius terkait tiadanya jaminan keamanan bagi anak di ruang publik, yang menjadikan mereka sasaran empuk bagi berbagai bentuk kejahatan, termasuk penculikan dan eksploitasi. Kurangnya pengawasan yang memadai, minimnya edukasi keamanan bagi anak, serta infrastruktur publik yang tidak ramah anak atau bahkan berbahaya, secara kolektif menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pelaku kriminal untuk beroperasi tanpa hambatan.

Situasi ini diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum di Indonesia dalam menghentikan tindak penculikan dan perdagangan anak. Seringkali, proses hukum berjalan lambat, sanksi yang dijatuhkan dianggap tidak sebanding dengan trauma dan kerugian yang diderita korban, dan yang paling krusial, penegakan hukum cenderung mandek di tingkat pelaku utama atau jaringan kejahatan terorganisir. Celah hukum ini secara tidak langsung mengirimkan sinyal bebas hukuman kepada para pelaku.

Kedua faktor di atas bertemu dengan kondisi sosiologis berupa maraknya kejahatan yang menyasar golongan rentan, seperti anak-anak, masyarakat adat, dan masyarakat miskin. Kelompok-kelompok ini menjadi target utama karena keterbatasan akses mereka terhadap perlindungan, informasi, dan keadilan. Ketergantungan ekonomi, isolasi geografis (seperti yang dialami masyarakat adat), dan kurangnya kekuatan tawar-menawar membuat mereka mudah dimanfaatkan dan dieksploitasi, menjadikan mereka korban berulang dalam siklus kejahatan terorganisir, termasuk penculikan dan perdagangan manusia.


Sistem Islam dalam Menjaga Keamanan

Sistem Islam menempatkan prioritas tertinggi pada perlindungan dasar bagi individu melalui prinsip Jaminan Islam terhadap keamanan dan jiwa manusia. Prinsip ini memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang status atau latar belakang, berhak atas keselamatan fisik dan mental, sekaligus menjadi fondasi bagi keamanan seluruh masyarakat. Untuk mewujudkan dan menjaga jaminan keamanan ini, penerapan sistem Islam menerapkan sanksi tegas terhadap segala bentuk pelanggaran hukum syara.

Adanya sanksi yang jelas dan pasti (hudud, qishash, dan ta'zir) berfungsi sebagai jawabir (penghapus dosa) sekaligus zawajir (pencegah kejahatan), yang ditujukan untuk memberikan efek jera, memulihkan hak korban, dan mencegah terulangnya tindak kriminal yang mengancam keselamatan jiwa dan harta. Lebih jauh lagi, sistem ini beroperasi di bawah naungan negara atau Daulah yang bertanggung jawab dalam membentuk masyarakat yang bertakwa dan sejahtera.

Tanggung jawab Daulah bukan hanya terbatas pada penegakan hukum dan keamanan, tetapi juga meliputi pemenuhan kebutuhan dasar, jaminan pendidikan, kesehatan, serta penciptaan lingkungan yang mendorong ketakwaan dan keadilan, memastikan bahwa kesejahteraan materi dan spiritual tercapai sebagai hasil dari pelaksanaan hukum syariat yang menyeluruh.

Pada akhirnya, negara Islam memikul tanggung jawab menyeluruh, tidak hanya dalam menegakkan hukum dan keamanan, tetapi juga dalam memenuhi kebutuhan dasar serta menciptakan lingkungan yang mendorong ketakwaan dan keadilan, sehingga mencapai kesejahteraan materi dan spiritual yang menyeluruh bagi seluruh masyarakat.

Wallahua'lam bissawab

Posting Komentar

0 Komentar