
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Masa libur anak sekolah sudah dimulai. Kepala BGN, Dadan Hindayana, memastikan Program MBG tetap berjalan. Skema pelaksanaannya sebagai berikut: pada awal masa libur sekolah, siswa akan tetap mendapatkan paket makanan siap santap dengan menu berkualitas maksimal empat hari. Untuk sisa hari, jika siswa bersedia datang ke sekolah, paket makanan akan dibagikan di sekolah. Jika tidak, perlu mulai didata mekanisme pengantaran ke rumah-rumah atau pengambilan di SPPG. (Bloomberg Technoz, 20/12/2025).
Pelaksanaan pada hari-hari berikutnya selama libur sekolah, BGN akan menyesuaikan dengan kesiapan dan kesediaan siswa. Pendataan menjadi kunci agar distribusi MBG tetap tepat sasaran dan efisien. Oleh karena itu, perlunya masing-masing SPPG melakukan inventarisasi berapa banyak dan berapa sering anak-anak bersedia ke sekolah.
Di masa liburan ini, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) akan berperan penting dalam memetakan pola distribusi, baik melalui pembagian langsung di sekolah, pengambilan di SPPG, maupun pengantaran ke rumah siswa.
Sementara itu, tidak ada perubahan selama libur sekolah bagi kelompok sasaran non-peserta didik (kelompok ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita). Dadan menjelaskan, kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah menjaga kesinambungan pemenuhan gizi masyarakat, khususnya kelompok rentan, sekaligus memastikan program MBG tetap berjalan optimal meskipun kalender pendidikan memasuki masa libur.
Fokus Lembur atau Terlanjur Menjadi Proyek?
Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengusulkan pengumpulan donasi dari anggaran daerah Sumatera yang tidak terdampak bencana untuk membantu korban banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Tito juga menyampaikan bahwa ada daerah yang mengirim bantuan berupa uang, dan ada juga yang mengirim barang. (Kompas, 19/12/2025).
Dari Jawa Timur, Khofifah menyumbang Rp 5 miliar. Gubernur DKI Jakarta, Pramono, menyumbang Rp 3 miliar, sedangkan Gubernur Maluku Utara (Malut), Sherly Tjoanda, menyumbang Rp 2 miliar. Provinsi Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyetor Rp 7 miliar dan lainnya. Tak salah, memang ini bagian dari kemanusiaan, apalagi saat negara dananya terbatas alias kurang.
Namun, ada yang perlu dikritisi, mengapa kepala BGN tetap ngotot tidak menghentikan program? Di saat bencana melanda, bukankah saat libur sekolah dana untuk Program BGN bisa menjadi "tambang emas" yang bisa sementara waktu dialihkan?
Rencana anggaran nasional MBG bisa mencapai Rp 335 triliun, atau 44,2 persen dari dana fungsi pendidikan APBN yang setara dengan sekitar Rp 1,2 triliun per hari untuk menjalankan program secara nasional. Dikalikan dua minggu masa libur sekolah, menjadi Rp 16,8 triliun yang bisa dikonversikan menjadi helikopter untuk distribusi logistik ke daerah terisolasi yang hingga dua minggu lebih ini masih terisolasi.
Pengadaan ribuan unit genset untuk puskesmas darurat yang masih gelap gulita. Pembangunan hunian sementara bagi mereka yang rumahnya rata dengan tanah. Hingga biaya pendidikan karena terputusnya jalur.
Sejak Awal, MBG Program Nirguna
Umar bin Khathab pernah berkata, "Kalau negara makmur, biar saya yang terakhir menikmatinya, tapi kalau negara dalam kesulitan, biar saya yang pertama kali merasakannya." Sungguh ini adalah teladan yang sangat langka hari ini.
Dengan segala kelambanan penanganan bencana dan lisan para pejabat yang sangat menyakiti hati rakyat, sudah bisa kita buktikan di sisi mana penguasa berdiri. Memberikan makan bergizi gratis kepada para pengungsi sejatinya lebih utama dan mendesak, sementara memberi makan pada siswa yang libur sekolah di tempat aman adalah pemborosan yang sangat.
Yang patut dipertanyakan, berapa banyak siswa yang rela ke sekolah mengambil jatah MBG-nya dan berapa biaya ekstra yang dibutuhkan SPPG untuk mendata sekaligus mengantarkan makanan MBG ke rumah-rumah siswa? Sejak awal, program ini memang nirguna. Sekelas negara, tentu levelnya bukan program MBG, sementara ketahanan pangan diabaikan.
Program MBG adalah murni proyek meskipun awalnya adalah untuk memenuhi janji kampanye Prabowo yang kini resmi menjadi Presiden RI. Program yang asbun, penetapan payung hukumnya juga serampangan. Apalagi orang-orang yang ditugaskan mengurusi, sama sekali bukan dari ahli gizi melainkan purnawirawan TNI.
Urgensi Pemimpin yang Meriayah
Rasulullah ï·º bersabda, "Setiap dari kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban." (HR. Imam Bukhari). Artinya, kita tidak butuh pemimpin yang tak mau mendengar rakyat bahkan tak peduli nasib rakyat, seolah haus validasi, sebagaimana yang dilakukan Sekretaris Kabinet, Kolonel Teddy, yang meminta rakyat tidak ribut dan menanyakan peran negara atas bencana yang terjadi.
Memaksakan program tetap berjalan saat libur benar-benar menunjukkan keberpihakan negara hanya pada pengusaha, bukan pada rakyat, terlebih mereka yang sedang tertimpa bencana. Padahal nyawa bukan hanya angka statistik, tapi pertanggungjawaban pemimpin di hadapan Allah ï·».
Islam telah mensyariatkan bagaimana profil pemimpin yang baik, tak cukup bertakwa dan bersedia menerapkan syariat, namun juga memiliki hati yang lembut dan peka terhadap rakyatnya. Sistem Islam juga meniscayakan penerapan sistem ekonomi Islam, yang menjadikan negara sebagai pengelola kekayaan alam, baik yang berstatus kepemilikan umum (emas, nikel, batu bara, dan lainnya) maupun kepemilikan negara (khumus, kharaj, jizyah, fai, tanah hima, dan lainnya).
Hasil pengelolaan tersebut, dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk jaminan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan publik lainnya. Kemudian ada zakat yang pembagiannya telah disebutkan secara khusus dalam Al-Quran. Ini baru sebagian penjelasan bagaimana syariat Islam mengatur urusan manusia. Tidakkah kita merindukannya?
Wallahu a'lam bissawab.

0 Komentar