
Oleh: Ilma Kurnia P, S.P.
Pemerhati Generasi
Di tengah arus globalisasi yang deras dan nilai-nilai asing yang kian masif memengaruhi pola pikir umat, kebutuhan akan generasi yang kokoh secara ideologis menjadi semakin mendesak. Generasi ideologis bukan sekadar generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi generasi yang memiliki landasan akidah yang lurus, pola pikir Islam yang benar, serta komitmen untuk menjadikan Islam sebagai pedoman hidup. Dalam proses pembentukan generasi inilah, peran ibu menempati posisi yang sangat strategis dan tak tergantikan.
Islam memandang ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ungkapan “al-ummu madrasatul ula” bukan sekadar kiasan, melainkan sebuah realitas pendidikan. Sejak anak dilahirkan, bahkan sejak dalam kandungan, ibu telah menjadi sosok yang paling dekat dan paling berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Nilai-nilai yang ditanamkan ibu pada fase awal kehidupan akan membekas kuat dan menjadi fondasi berpikir anak di masa depan.
Peran ibu dalam mencetak generasi ideologis dimulai dari penanaman akidah yang benar. Seorang ibu muslimah memiliki tanggung jawab besar untuk mengenalkan tauhid kepada anak sejak dini, mengenalkan siapa Rabb-nya, siapa Nabi-nya, dan apa agamanya. Pendidikan akidah ini tidak cukup hanya melalui nasihat lisan, tetapi harus diwujudkan dalam keteladanan. Ketika anak melihat ibunya menjaga salat, mencintai Al-Qur'an, dan menggantungkan segala urusan kepada Allah, maka nilai-nilai itu akan tertanam secara alami dalam jiwa anak.
Lebih dari itu, ibu juga berperan penting dalam membentuk pola pikir Islam pada anak. Generasi ideologis adalah generasi yang terbiasa menilai sesuatu dengan standar halal-haram, benar-salah menurut syariat, bukan sekadar untung-rugi atau suka-tidak suka. Di sinilah ibu dituntut untuk sadar ideologis terlebih dahulu. Ibu yang memahami Islam sebagai sistem kehidupan akan mampu mengarahkan anaknya untuk berpikir kritis terhadap realitas, sekaligus menjadikan Islam sebagai solusi atas berbagai persoalan hidup.
Dalam konteks ini, ibu tidak cukup hanya menjadi pengasuh, tetapi juga pendidik dan pembina pemikiran. Pertanyaan-pertanyaan anak tentang kehidupan, keadilan, pergaulan, bahkan fenomena sosial, adalah peluang emas bagi ibu untuk menanamkan worldview Islam. Jawaban yang diberikan ibu akan membentuk cara pandang anak terhadap dunia. Jika ibu abai atau menyerahkan sepenuhnya kepada lingkungan dan media, maka anak berpotensi menyerap ideologi asing yang bertentangan dengan Islam.
Selain di ranah domestik, peran ideologis ibu juga tercermin dari kesadarannya terhadap tantangan zaman. Serangan pemikiran sekularisme, liberalisme, dan materialisme sering kali menyasar keluarga dan anak-anak. Ibu yang waspada akan lebih selektif dalam memilih pendidikan, tontonan, dan pergaulan anak. Sikap ini bukan bentuk pengekangan, melainkan wujud tanggung jawab dalam menjaga fitrah dan arah ideologis generasi.
Islam juga mengajarkan bahwa mendidik generasi adalah bagian dari amal jariyah. Setiap nilai Islam yang diajarkan ibu dan diamalkan oleh anaknya akan terus mengalirkan pahala. Oleh karena itu, mencetak generasi ideologis sejatinya adalah investasi akhirat sekaligus kontribusi nyata bagi kebangkitan umat. Sejarah Islam mencatat betapa banyak tokoh besar lahir dari rahim ibu-ibu yang shalihah dan berprinsip, seperti Imam Syafi'i dan Imam Bukhari, yang dibesarkan oleh ibu dengan keteguhan iman dan visi Islam yang kuat.
Akhirnya, peran ibu dalam mencetak generasi ideologis bukanlah peran yang ringan, tetapi peran yang mulia. Ia menuntut ilmu, kesadaran, dan kesungguhan. Ketika para ibu muslimah menyadari posisi strategisnya dan menjalankan peran tersebut dengan penuh tanggung jawab, maka umat ini memiliki harapan besar untuk melahirkan generasi yang tidak hanya menjadi penonton sejarah, tetapi pelaku perubahan yang berlandaskan ideologi Islam.
Wallahua'lam bishawab.

0 Komentar