
Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik dan Aktivis Islam
"Fungsi DPR sekarang seperti bebek pilek. Dimana check and balance yang dibanggakan oleh pembela Demokrasi Liberal? Gak usah renungkan, lakukan tindakan: SELAMATKAN DEMOKRASI!"(Muhammad Hatta Taliwang)
Minggu, 4 April 2021, beredar poster agenda diskusi Grup WA 'MKGR milik rakyat' yang diselenggarakan oleh Partai Demokrat. Awalnya, diskusi berlangsung pada Senin sebelumnya dengan tema "Merefleksikan Demokrasi Kita".
Tanpa mengetahui latar belakangnya, Bang Muhammad Hatta Taliwang (MHT) langsung "nyolot" dan memberikan komentar "nylekit". Menurutnya, sudah tidak ada waktu untuk merenung, praktik demokrasi liberal telah rusak parah.
DPR sebagai check and balance tidak lagi berfungsi. Menurutnya, DPR itu seperti bebek yang masuk angin. Lebih lanjut, MHT mengatakan tidak perlu dipikirkan, tapi tindakan harus segera diperlukan untuk menyelamatkan demokrasi.
MHT juga mengutip betapa buruknya demokrasi liberal, yang dituangkan dalam beberapa serialnya. Demokrasi liberal dengan pemilu satu suara melanggar sila ke empat Pancasila. Selain itu, MHT menyerukan pengembalian UUD 45 asli.
Dalam konteks mendekonstruksi fakta dan persoalan dialektis, penulis sependapat dengan beberapa kritik yang dilontarkan oleh MHT dan kawan-kawan yang ingin kembali ke UUD 1945 awal. Di Surabaya pun, penulis sering mendengar konstruksi bahwa sistem politik saat ini telah hancur dan harus dikembalikan ke UUD 45 yang asli, seperti yang disampaikan oleh Mas Prihandoyo dari Rumah Pancasila.
Hanya saja, berbeda dalam konteks solusi. Menurut penulis, turunan atau varian dari demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan, baik unikameral maupun bikameral, baik pilkada, pemilu, proporsional maupun gabungan, tetap bermasalah karena:
Pertama, hakekat kedaulatan sistem politik demokrasi ada di tangan rakyat. Padahal, pada kenyataannya, kedaulatan ada di tangan investor.
Misalnya, pemilihan presiden yang diadakan di republik demokratis tidak berarti rakyat berkuasa melalui perwakilannya. Tapi pemodal tetap menguasai. Perbedaannya, dalam pemilihan presiden langsung, uang beredar di antara rakyat, sedangkan untuk perwakilan DPR, uang hanya beredar di dalam DPR dan partai politik.
Baik dalam pemilihan presiden langsung maupun pemilihan melalui DPR yang menang tetaplah para kapital bukan rakyat.
Kedua, konsep kedaulatan yang pada hakekatnya berada di tangan kapital mengakibatkan penguasaan pemerintahan di tingkat eksekutif dan legislatif berada di tangan kapitalis. Pemerintah dan DPR berkomitmen untuk melayani investor, bukan rakyat. Karena mereka tahu mereka berkuasa karena para pemberi modal, bukan karena rakyat.
Oleh karena itu ketika berkuasa, tidak ada bedanya apakah Presiden dipilih secara langsung atau melalui perwakilan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak ada bedanya apakah anggota DPR dipilih berdasarkan daerah pemilihan, secara terbuka, proporsional, atau gabungan. Begitu berkuasa, mereka harus mematuhi investor, bukan rakyat.
Ketiga, tidak ada standar bagi masyarakat untuk mengoreksi kebijakan atau menghentikan kekuasaan. Sebab, penguasa bisa berkedok menegakkan hukum rakyat, tetap menjalankan tirani yang disahkan konstitusi dan undang-undang.
Jika kehendak penguasa bertentangan dengan rakyat, pihak berwenang dapat dengan mudah membuat undang-undang baru atau mengubah yang lama untuk melegitimasi kebijakan tersebut. Karena tidak adanya standar nilai yang sama, maka interaksi antara rakyat dan penguasa merupakan modus interaksi yang didasarkan pada ketegangan dan konflik kepentingan.
Jadi, meski mengakui permasalahan yang ada saat ini, penulis tidak berpihak pada demokrasi sebagai solusi, atau kembali ke UUD 1945, karena tidak menyelesaikan permasalahan yang melanda negeri ini. Penulis terbuka untuk menawarkan Khilafah sebagai solusi karena alasan berikut:
Pertama, dalam sistem Khilafah, kedaulatan ada di tangan syara dan kekuasaan ada di tangan rakyat. Kekuasaan adalah hak rakyat, itu adalah kekuatan rakyat.
Oleh karena itu, pemilihan seorang khalifah harus didasarkan pada asas kesenangan dan pilihan. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tidak boleh dipaksa untuk memilih dan harus diberi kebebasan untuk memutuskan siapa khalifah yang akan menjadi penguasanya.
Khalifah diberdayakan untuk menegakkan hukum Islam. Jadi meskipun kekuasaan diberikan oleh rakyat, khalifah menjalankan kekuasaannya menurut hukum syariah dan bukan hukum rakyat.
Mode interaksi kekuasaan ini akan mendelegitimasi peran para kapitalis. Kaum kapitalis tidak akan bisa menentukan siapa khalifah yang dipilih karena tidak ada kampanye berbulan-bulan yang membutuhkan banyak modal, kaum kapitalis juga tidak bisa memerintahkan perubahan aturan bagi mereka karena hukum yang dianut harus terikat dengan syariah.
Kedua, karena kedaulatan ada di tangan syara', maka proses penyelenggaraan pemerintahan dan kekuasaan benar-benar diatur oleh syariat. Tidak ada celah bagi kapitalis untuk merumuskan kebijakan yang menjadikan para penguasa pro-kapital, pro-bisnis, dan melayani taipan.
Khalifah hanya perlu mendengarkan pendapat dan saran yang sesuai dengan syariat Islam. Dengan demikian, para ulama dalam sistem Khilafah memiliki kedudukan penting dalam mengendalikan jalannya roda kekuasaan dan pemerintahan.
Ketiga, rakyat mengoreksi kebijakan Khalifah dengan standar Syariah. Jika Khalifah menegakkan hukum Syariah, orang-orang harus mematuhinya. Namun, ketika Khalifah menyimpang dari hukum Syariah, rakyat harus memperbaikinya dan jika perlu menggantinya.
Apalagi jika khalifah menyimpang dari syarat-syarat akad, seperti kemurtadan khalifah, dan khalifah ditangkap musuh dan tidak bisa diselamatkan, maka rakyat wajib setia kepada khalifah pengganti. Ketika khalifah menerapkan kekufuran yang nyata, seperti membiayai APBN dengan riba, ia juga harus digulingkan (dimakzulkan).
Prinsip interaksi ini adalah ketaatan dan muhasabah. Jika Khalifah benar, patuhi, jika Khalifah salah, Muhasabah akan mempersatukan rakyat dan penguasa.
Jadi, menurut saya misi kita bukan untuk menyelamatkan demokrasi. Bagaimanapun misi umat Islam adalah untuk segera menegakkan khilafah, menerapkan hukum-hukum Allah ď·» dan menjadikan negara ini sebagai negara Baldatun, Thoyyibatun, Warabbun Ghafur.
0 Komentar