
Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik
Istilah oligarki baru-baru ini muncul dan menjadi topik diskusi populer dalam politik publik. Oligarki adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan politik dipegang dan dikendalikan secara otoritatif oleh elit kecil yang memiliki kekayaan kapital, keluarga (dinasti), atau militer (termasuk polisi). Oligarki dianggap sebagai anomali dalam sistem politik demokrasi di mana kekuasaan idealnya berada di bawah kendali rakyat.
Bahkan, beberapa negara yang menganut sistem politik demokrasi (termasuk Indonesia) tidak sepenuhnya berada di bawah kendali rakyat. Banyak negara mempraktikkan apa yang mereka klaim sebagai demokrasi, tetapi pada kenyataannya oligarki berkuasa. Kedaulatan sesungguhnya dipegang oleh oligarki, bukan rakyat.
Amerika Serikat, yang dianggap sebagai bapaknya demokrasi, sebenarnya dikendalikan oleh oligarki partai dari kubu Demokrat dan Republik. Kapitalis dan pengusaha kaya biasanya berkumpul di Partai Republik. Partai Demokrat pada umumnya didominasi oleh kaum intelektual dan cendekiawan. Meski keduanya masih dikuasai oleh kekuatan oligarkis.
Bedanya, para oligarki di Amerika Serikat bermain dengan sangat bersih, tidak seperti di Uni Soviet. Di negara sosialis ini, praktik kekuasaan oligarki dikuasai oleh partai politik dan militer. Cina dan Rusia sebagai model oligarki yang sama: kekuasaan mutlak partai politik dan militer.
Selain itu, dapatkah sistem pangan oligarki ini menembus sekat-sekat sistem dan akhirnya menguasai kekuatan Khilafah? Atau dengan kata lain, apakah sistem Khilafah juga tidak kebal terhadap oligarki, seperti yang sering terjadi dalam sistem politik demokrasi?
Pertanyaan ini muncul dalam diskusi hangat di Grup WA Human Development. Karena penulis sering menerbitkan wacana khilafah, penulis merasa memiliki kewajiban moral untuk berusaha menjelaskannya.
Untuk mengelaborasi lebih jauh, kita perlu menganalisis akar permasalahan oligarki, serta institusi dan prosedur politik yang memungkinkan terjadinya “hegemoni oligarki” dalam sistem politik. Oleh karena itu, kita dapat menilai dari norma dan sistem apakah keterlibatan oligarki disebabkan oleh cacat norma dan sistem, atau hanya penyimpangan yang sangat mungkin terjadi pada sistem mana pun di dunia. Jadi mari kita lakukan penelitian berikut tentang realitas dan fakta:
Pertama, sumber penguasaan kekuasaan adalah pengakuan kedaulatan. Kedaulatan inilah yang menjadi obyek legitimasi bagi pembentukan dan pemeliharaan kekuasaan.
Dalam demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, kekuasaan untuk menentukan halal dan haram, terpuji dan tidak terpuji, khair dan syar, wajib dan haram semuanya bersumber dari hukum rakyat.
Karena sistem demokrasi langsung tidak mungkin di implementasikan atau bahkan mustahil dilakukan, oleh karena itu muncul mekanisme (prosedur) demokrasi perwakilan, badan legislatif (DPR) dibentuk yang mewakili rakyat untuk mewujudkan gagasan "kedaulatan rakyat".
Gagasan pemisahan kekuasaan muncul dari kekhawatiran penyalahgunaan kekuasaan, oleh karena itu kepemimpinan tunggal tidak benar-benar berlaku. Contohnya, kekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan untuk membuat peraturan, namun Presiden juga memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan Perppu, Peraturan Pemerintah (PP) dan beberapa peraturan lain yang dibuat oleh eksekutif, meskipun pada prinsipnya adalah tugas legislatif.
Berkat gagasan "kedaulatan rakyat" ini, para oligarki dapat memasuki lingkaran kekuasaan melalui eksekutif atau legislatif. Oligarki mampu membuat aturan, termasuk aturan yang dibuat oleh legislatif dan eksekutif, sehingga aturan tersebut melayani kepentingan oligarki.
Dalam sistem Khilafah, kedaulatan berada di tangan Syara'. Oleh karena itu, halal dan haram, terpuji dan tercela, khair dan syar, wajib dan haram, semuanya diatur oleh hukum syariah. Oligarki tidak dapat memesan produk regulasi yang menguntungkan bisnis mereka dengan mengubah legal menjadi ilegal dan sebaliknya.
Misalnya dalam konteks aturan tentang pertambangan. Para oligarki tidak bisa membuat undang-undang yang disahkan oleh Khilafah pro investor, pro kapitalis dengan mengeluarkan izin pertambangan kepada individu dan swasta, asing dan asing. Karena dalam Islam semua tambang harus dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat yang menjadi pemiliknya.
Khalifah harus terikat dengan argumentasi syara sehingga negara tidak bisa membuka investasi alkohol dengan dalih meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekalipun itu perintah oligarki. Oligarki dan pedagang anggur tidak akan dapat mengganggu undang-undang negara dalam rangka untuk melegalkan bisnis mereka.
Konsep kedaulatan syara akan menghilangkan pengaruh oligarki dalam menentukan kebijakan dan regulasi. Semua peraturan dan kebijakan harus diatur oleh hukum Syariah.
Kedua, pengertian pemisahan dan/atau pembagian kekuasaan dalam demokrasi justru menyuburkan kekuasaan oligarki. Sebab, kekuasaan-kekuasaan itu akan terjalin hingga tercapai keseimbangan politik sebesar kepentingan politik yang mereka inginkan.
Dalam hal ini, presiden tidak memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan dan undang-undang. Jadi oligarki tidak dapat mencapai kepentingan politik melalui kekuasaan eksekutif, oligarki tidak dapat memainkan peran legislatif untuk menggagalkan kebijakan administratif karena tumpuan kebijakan sepenuhnya berasaskan syara.
Di sisi lain, dalam negara Demokrasi situasinya lebih serius, yaitu eksekutif dan legislatif adalah perwakilan dari oligarki. Hal ini menimbulkan situasi “permusuhan” rakyat terhadap pemerintah, karena pemerintah dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh DPR melayani oligarki, tidak dekat dengan rakyat, bahkan menindas rakyat.
Ini terjadi dengan UU KPK, UU Minerba, UU Cipta Kerja. Ketiga undang-undang ini dirancang untuk melayani para oligarki, eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR) dan partai politik yang semuanya sepakat mendukungnya.
Dalam kekhalifahan Islam, kekuasaan khalifah meliputi eksekutif dan legislatif. Khalifah bertanggung jawab atas pemerintahan dan kekuasaan. Khalifah membuat undang-undang dan peraturan sesuai dengan syara lalu khalifah juga memutuskan anggaran negara.
Kewenangan ini memungkinkan khalifah untuk menjalankan tugas pemerintahan secara efektif dan efisien, bebas dari campur tangan kekuatan lain meskipun itu oligarki. Khalifah tidak terikat oleh badan legislatif (seperti DPR) ketika menjalankan kekuasaannya, karena dalam hal penegakan hukum, Khalifah hanya terikat oleh hukum Syariah, bukan badan parlemen (legislatif).
Skenario ini akan mengunci celah intervensi oligarki melalui kekuasaan legislatif yang memaksa Khalifah untuk mengeluarkan kebijakan pro-oligarki. Dalam demokrasi, ketika oligarki tidak bisa mengintervensi eksekutif, oligarki mengintervensi legislatif melalui partai politik atau melalui legislatif (DPR). DPR yang setelah terpilih tidak lagi berorientasi pada rakyat tetapi melayani oligarki, baik untuk kapitalis, partai politik, dan terkadang berkolaborasi dengan institusi militer dan kepolisian.
Ketiga, rekrutmen politik untuk legislatif dan eksekutif mahal dan wajib melalui partai, menyebabkan oligarki secara efektif mengendalikan kekuasaan melalui partai sebelum pemilu. Hanya mereka yang pro-oligarki yang akan menjadi calon pemimpin, dan hanya mereka yang memiliki kekuatan modal yang akan memenangkan persaingan.
Sementara itu, dalam sistem Khilafah, pemilihan Khalifah bersifat praktis, sederhana, murah dan cepat. Islam hanya mentoleransi selama 3 hari umat ini mengalami kekosongan Khalifah.
Artinya, sekalipun jabatan khalifah menjadi kosong karena khalifah wafat atau dimakzulkan, ada batas waktu bagi umat Islam untuk memilih dan berbai'at kepada khalifah, maksimal 3 hari.
Tiga hari tanpa bulan-bulan penuh kampanye yang menguras tenaga dan anggaran yang menimbulkan friksi dan perpecahan. Calon khalifah tidak dibatasi oleh partai politik, karena syarat pencalonan diri sebagai khalifah tidak perlu diusung partai politik. Dengan demikian, para oligark melalui partai politik tidak dapat mengontrol khalifah terpilih, karena tidak memiliki andil dalam menentukan pencalonan.
Qadli Madzalim adalah badan yang memverifikasi calon dan hanya perlu memastikan apakah calon khalifah itu muslim, mandiri, cerdas, maskulin, baliq, adil, dan mampu menjalankan tugas kekhalifahan. Qadli tidak perlu memeriksa apakah seorang Khalifah dibawa oleh partai dengan ambang batas tertentu.
Dalam proses pemilihan seperti itu, Khalifah yang terpilih memang yang terbaik, berdasarkan catatan independen, tanpa campur tangan oligarki, sehingga independen dalam menjalankan tugas-tugas Khalifah.
Jadi demikianlah sedikit gambaran sistem tentang kekhalifahan Islam yang secara otomatis membersihkan kekuasaan dari campur tangan oligarki. Tentu saja, hal itu tidak pernah terjadi atau mustahil dalam sistem politik yang demokratis.
0 Komentar