KHILAFAH MENIKMATI DEMOKRASI?


Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik

Anies Matta, mantan presiden PKS dan presiden partai Gelora saat ini, telah menulis buku berjudul "Menikmati Demokrasi". Dalam buku itu, Anis menjelaskan, hubungan konstruktif antara Islam dan demokrasi sebagai keniscayaan.

Padahal, Anies Matta dan PKS benar-benar “menikmati demokrasi” dengan mengikuti semua kontes politik, baik pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah. Tak sedikit kader PKS yang berhasil menempati posisi politik strategis, baik sebagai anggota dewan, menteri, maupun bupati.

Tapi ada juga yang esoteris, yaitu ketika ada yang menuduh gerakan Khalifah menikmati demokrasi padahal mereka terus mengklaim bahwa demokrasi itu bertentangan dengan Islam. Kebebasan dan keterbukaan demokrasi dianggap berkah dari demokrasi yang dinikmati para pejuang khilafah.

Untuk menghindari kesalahpahaman, seolah-olah terjadi inkonsistensi dalam agenda perjuangan mendirikan Khilafah, perlu dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Demokrasi itu kufur dan dilarang untuk diusung, dilaksanakan dan disosialisasikan, hal ini didasarkan pada esensi demokrasi yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Sementara itu, Islam menempatkan kedaulatan di tangan syara'.

Sumber hukum dalam demokrasi adalah rakyat, sedangkan Islam menetapkan bahwa sumber hukum adalah wahyu, yang diambil dari dalil-dalil hukum syariat, baik dari Al-Qur'an maupun dari Hadist, Ijma Sahabat dan Kias Islam.

Dalam Islam, apa yang legal dan ilegal, terpuji dan tercela, baik dan buruk, kewajiban dan sunnah, semuanya bergantung pada dalil-dalil Syariah. Pada saat yang sama, demokrasi menjadikan rakyat (akal manusia) menjadi sumber hukum, aturan-aturan yang menentukan apa yang legal dan ilegal, terpuji dan tercela, baik dan buruk.

Menjadikan demokrasi sebagai sistem adalah kekufuran karenanya berangkat dari realitas demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai sumber kedaulatan, sedangkan umat Islam hanya terikat pada dalil-dalil hukum Syariah. Tidak ada suara manusia yang dijadikan hukum, meskipun itu adalah suara terbanyak.

Kedua, perintah berdakwah dalam menjelaskan batilnya demokrasi bukan karena tidak adanya ancaman, atau adanya jaminan kebebasan. Baik terancam atau dalam keadaan bebas, dakwah tetap wajib disampaikan, termasuk menyampaikan kebatilan demokrasi.

Adanya tekanan dari rezim terhadap para pendakwah Khilafah bukanlah alasan untuk berhenti berdakwah, sebagaimana kebebasan berdakwah bukanlah menjadi alasan untuk menyebarkannya. Dakwah merupakan perintah Allah ď·» yang harus dilakukan apapun rintangannya.

Ketiga, adanya kebebasan berdakwah, perlindungan dan dukungan masyarakat untuk berdakwah adalah anugerah Allah ď·», bukan anugerah demokrasi. Maka ketika para mubaligh diberi kebebasan berdakwah tanpa hambatan, cukup bersyukur kepada Allah ď·», bukan demokrasi.

Buktinya tidak sedikit para pengemban dakwah yang teraniaya dan dihukum di negara-negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Bahkan, organisasinya telah dibubarkan.

Oleh karena itu, jika ada yang menyebut bahwa pendakwah Khilafah harus berterima kasih kepada demokrasi, maka perlu dikatakan:

Kita hanya bersyukur kepada Allah ď·», bertawakal kepada-Nya dan tidak memanfaatkan demokrasi dengan ikut serta dalam sistem kekufuran dengan mengikuti pemilu, pilpres dan pilkada.

Tidak ada satupun pejuang khilafah yang menjadi anggota DPR, menteri, atau bupati. Yang kami lakukan hanyalah dakwah sesuai perintah Allah ď·», bagaimana bisa disebut menikmati demokrasi?

Oleh karena itu, Khilafah tidak menikmati demokrasi dan tidak mungkin berkompromi dengan demokrasi. Ketika Khilafah berdiri, sistem demokrasi perlahan-lahan akan ditinggalkan dan semua negara Muslim akan bersatu menjadi satu dalam naungan Khilafah yang menerapkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Posting Komentar

0 Komentar