SMRC MEMBANGUN NARASI PUBLIK AGAR MENJAUH DARI ISLAM


Oleh : Nasrudin Joha
Sastrawan Politik

Publik telah memahami bahwa tugas lembaga survei saat ini bukanlah memotret peristiwa, tetapi menjadi instrumen kekuasaan untuk membingkainya. Lembaga survei tidak menjaring preferensi publik, tetapi justru mengarahkan ke arah preferensi publik yang di inginkan.

Tugas pokok dan fungsi Lembaga Angket yang menerapkan “Kerangka Pendapat” ini sangat kontras jika aspek yang diperiksa berkaitan erat dengan pihak yang berkuasa. Lembaga investigasi telah menjadi corong kekuasaan, menjadi semir kekuasaan dan kadang-kadang bahkan menjadi pendukung kekuasaan.

Hari ini, masyarakat mengutuk Lembaga Survei yang menerbitkan survei dan membuktikan bahwa masyarakat puas dengan kinerja pemerintah. Tidak butuh waktu lama bagi siapa pun untuk mengatakan bahwa rezim bekerja buruk di setiap bidang.

Karena itu, tidak ada lembaga investigasi yang berani konyol, melaporkan dalam survei bahwa rezim baik-baik saja, rakyat puas, dll. Jika berani memasuki bidang ini, tentu saja kredibilitas lembaga survei akan berkurang, dan setiap informasi yang diperoleh melalui survei tidak akan diperhatikan oleh masyarakat.

Sehingga perlu ada survei yang hasilnya akan membuat orang menjauh dari politik dan menjauhkan orang dari ajaran Islam. Sebab, bukan hanya kegagalan kekuasaan dan pemerintahannya yang dikhawatirkan rezim, tetapi juga kritik publik atas realitas kegagalan tersebut.

Narasi survei seolah menunjukkan bahwa masyarakat takut berpolitik, masyarakat takut berinteraksi dengan kelompok Islam, masyarakat takut menunaikan kewajibannya mendakwahkan Amar Maruf nahi munkar ajaran agama Islam, satu tujuannya: agar tidak ada yang mengkritisi kegagalan dan tirani rezim sehingga rezim tidak takut ketidakadilannya akan menyebabkan dia kehilangan legitimasi.

Singkatnya, meski ada ketidakadilan dan rezim yang gagal, rakyat tetap diam. Orang-orang takut dengan politik, mereka takut dengan ajaran Islam, mereka takut dengan kelompok-kelompok Islam, baik melalui isu terorisme, radikalisme maupun ekstrimisme.

Demikian yang dapat kita baca dari kesimpulan survei yang diterbitkan oleh SMRC (Syaiful Muzani Research and Consulting). Tidak ada angin atau hujan, lembaga itu mengaitkan FPI dan HTI dengan latar belakang beberapa penangkapan teroris.

Badan tersebut juga melaporkan ketakutan publik terhadap politik, ajaran agama (Islam) dan organisasi Islam. Padahal, ajaran ummat Islam amar makruf nahi munkar dan gerakan ormas Islamlah yang secara konsisten mengungkapkan kebenaran dan kegiatan tersebut bukan bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan namun murni untuk memperbaiki negeri ini.

Saya tidak peduli dengan metode surveinya, karena untuk menangkap orang yang suka minum, yang diperiksa adalah orang mabuk, bukan santri. Kesimpulan dari temuan dapat disesuaikan dengan menentukan metodologi dan pemilihan responden. Tidak ada yang tahu, siapa sebenarnya yang menjadi responden dalam survei tersebut, bisa jadi semua respondennya adalah cebong.

Namun kesimpulan dari investigasi SMRC jelas untuk mengintimidasi rakyat, sehingga mereka takut berpolitik, takut terhadap ajaran Islam, takut terhadap ormas Islam, takut mendakwahkan kebaikan dan memerangi keburukan, serta menggiring masyarakat untuk diam saat dizalimi oleh Rezim. Ini merupakan modus baru penyesuaian psikologis publik, setelah ketidakmampuan pemerintah mengambil hati publik agar puas dengan kinerja rezim Jokowi.

Investigasi semacam ini tidak perlu dipercaya, cukup dikesampingkan. Investigasi semacam itu hanya berfungsi untuk membungkam rakyat di bawah penindasan tirani.

Maka suarakanlah: Kami tidak takut politik, kami akan terus berdakwah karena itu adalah kewajiban agama, Kami akan terus melawan setiap kezaliman dan kami akan bergandengan tangan dengan seluruh organisasi Islam untuk terus berjuang melawan kezaliman, agar negeri ini menjadi negeri yang Baldatun, Thoyyibatun, Warabbun Ghafur.

Posting Komentar

0 Komentar