
Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik
Berpikir mendalam, harus mengandung konsep dan metode untuk mewujudkan konsep tersebut. Jika hasil berpikir hanya berupa kumpulan ide (konsep) tanpa pedoman/cara praktis untuk mewujudkan ide tersebut, maka pemikiran tersebut dapat dikatakan hanya pemikiran utopis (mimpi).
Marx menyebut sosialisme yang dulu adalah sosialisme utopis. Sebab, konsep sosialisme yang diusung hanyalah petuah dan nasehat yang membosankan dan tidak memiliki metode untuk bisa tercapai.
Marx mengkritik pendahulunya, mereka yang mengemukakan konsep sosialisme dan komunisme sebelumnya, karena hanya berbicara tentang keadilan, persamaan (egalitarianisme), solidaritas, dan komunisme (masyarakat komunal). Namun para pendahulu Marx tidak berpikir secara konkrit tentang bagaimana mencapai keadilan, kesetaraan (egalitarianisme), solidaritas, dan komunisme.
Hingga Marx datang, ia mengambil konsep materialisme dialektis yang diwarisi dari Hegel sebagai metode untuk mencari hakikat kebenaran, menggunakan materialisme sejarah untuk memahami sejarah dan asal usul umat manusia untuk meramal masa depan umat manusia, dan menggunakan perjuangan kelas (Class Strugle) untuk mencapai komunisme. Marx kemudian mendirikan teori dan landasan yang kokoh di bidang ekonomi dan politik untuk memicu revolusi guna mewujudkan cita-cita komunisme.
Pendukung pancasila hari ini, dan mereka yang menganjurkan kembali ke konstitusi asli 45, bisa dibilang adalah pendukung pancasila utopis. Hal ini karena sebagian besar wacana yang diberikan hanya tentang keutamaan dan keunggulan negara berdasarkan visi Pancasila.
Mereka terlalu sibuk menjelaskan pasal-pasal pancasila hanya dengan lima pasal, menganggap bahwa semua masalah negara dapat diselesaikan dengan mengikuti lima sila pancasila, atau mencoba menjelaskan pancasila dengan aturan "gatuk matuk" untuk menjawab masalah yang melanda semua negara. Pembahasan demi pembahasan yang diberikan terbatas pada cita-cita pancasila.
Mereka tidak memiliki satu konsep pun tentang bagaimana mencapai cita-cita Pancasila yang mereka banggakan. Mereka kebingungan ketika sampai pada pendekatan praktis, bagaimana usaha dalam mencapai Pancasila yang begitu mereka banggakan.
Mereka tahu bahwa gagasan pancasila setinggi langit tidak dapat dikejar dan dilaksanakan melalui cara-cara pemilu. Karena menurut mereka, pemilu saat ini menggunakan sistem liberal dan memerlukan restu oligarki untuk berkuasa. Dan masih menurut mereka, oligarki tidak akan pernah mendukung cita-cita Pancasila, bahkan oligarki adalah musuh Pancasila.
Mereka juga tidak secara terbuka menyatakan metode revolusioner yang dianut oleh ideologi sosialis. Represi rezim membuat mereka malu atau takut untuk menyerukan kata "revolusi" untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945 yang asli.
Melalui rapat khusus MPR? Lebih tidak masuk akal lagi, karena MPR saat ini adalah perpanjangan dari partai politik dan oligarki. Kalaupun mereka bertemu, agenda terbesarnya adalah mengamandemen konstitusi agar presiden bisa menjabat tiga periode berturut-turut. Bukan kembalikan UUD ke UUD 1945 yang asli.
Mereka juga tidak menempuh jalan kudeta, pemberontakan, atau kekuasaan rakyat. Lebih memilih sembunyi-sembunyi, membisik, mereka memimpikan era Gerakan Reformasi yang lain, dengan agenda yang berubah, kembali ke UUD 1945 yang asli.
Padahal, ide Pancasila sudah utopis sejak awal. Pancasila hanyalah gagasan tentang sesuatu yang sempurna, tetapi minus dengan metode praktis untuk mewujudkannya.
Dalam prakteknya, Pancasila telah dilaksanakan sesuai dengan keinginan penguasa. Pada masa Sukarno, Pancasila dilaksanakan dengan gaya sosialis. Pada masa Suharto, Pancasila dianut oleh kapitalisme. Hari ini, Pancasila dipraktikkan secara liberal kapitalis.
0 Komentar