BEDA ISTILAH ADAKAH BEDA SOLUSI?


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Fix! Pemerintah resmi mengumumkan perpanjangan PPKM darurat di Jawa dan Bali hingga 25 Juli mendatang. Namun menurut Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Koordinator PPKM darurat, setelah perpanjangan ini habis, tepatnya tanggal 26 Juli, pemerintah tidak akan lagi menggunakan istilah PPKM darurat. Tetapi nanti akan menggunakan kategori level mulai dari level 1 sampai 4.

"Nanti mungkin jika semua berjalan baik kan kita sekarang kategorikan itu jadi level 1, level 2, level 3, level 4. level 4 itu yang sama dengan PPKM darurat," kata Luhut saat wawancara bersama KompasTV, Selasa (20/7). "Jadi kita enggak pakai istilah darurat lagi. Pakai level saja," tambah dia.

Meskipun di beberapa daerah sudah ada yang level 2, namun menteri Luhut enggan menyebutkan. "Seperti di Bali sekarang ini juga seperti di Jawa Tengah sudah ada mungkin yang bisa level 2. Tapi kita gak mungkin langsung umumkan. kenapa? Nanti takutnya euforia terus naik lagi. Jadi kita akan pelan-pelan buka," tutup dia (kumparan.com,20/7/2021).

Terasa seperti sebuah kebetulan bahwa di Bali telah mengalami penurunan level, apakah karena Bali termasuk daerah wisata yang berbeda dengan daerah lainnya? Optimisme pemerintah boleh saja menjadi pertimbangan, namun jika selama perpanjangan KKPM darurat ini masih menggunakan cara yang sama tak akan menghasilkan perubahan yang lebih baik.

Apalagi jika daerah wisata atau pelaku ekonomi saja yang tetap menjadi fokus pemerintah, seperti hari ini, dengan anggapan dukungan kepada dua aspek itu bakal mendongkrak ekonomi dan bisa memperbaiki keadaan, sungguh pemikiran yang keliru, sebab ekonomi adalah hal lain dan kesehatan adalah hal lainnya lagi. Faktanya hari ini, masyarakat yang sakit atau sehat tak bisa dibedakan sebab mereka terpaksa harus keluar berekonomi, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Dan, tetap belum keluar dari lisan jajaran penguasa negeri ini bahwa perpanjangan PPKM pemerintah akan turun tangan secara 100%, termasuk dalam hal penjamin hidup seluruh rakyat baik yang sehat maupun yang sakit. Bansos, stasiun pengisian oksigen gratis, pembagian obat, vaksinasi gotong royong dan lainnya tetap digelontorkan, terbukti tidak efektif mengatasi mereka yang terdampak. Angka kematian semakin tinggi karena akhirnya mereka yang isoman harus tetap keluar guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Pun penambahan dana penanganan Covid sebagaimana disebut oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dari dana APBN dari sebelumnya sebesar Rp153,86 triliun menjadi Rp187,84 triliun, pada faktanya malah makin membebani rakyat. Sebab kita sama-sama tahu pos APBN itu dari utang dan pajak yang ditarik dari rakyat juga. Nasib rakyat bak sudah jatuh tertimpa tangga pula, hancur tanpa sandaran.

Pandemi Covid-19 memang bencana, sebagai manusia beriman kita harus menerimanya sebagai ketentuan dari Sang Khalik, namun di sisi lain kita juga diminta untuk menghilangkan bencana itu sekuat tenaga, sebagaimana firman Allah swt, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar-Rum :41).

Tangan manusialah yang mengakibatkan kerusakan itu, dan Allah menghendaki itu sebagai peringatan agar kita kembali taat kepadaNya. Bukan karena Allah butuh manusia, namun karena kitalah yang butuh Allah. Dengan kita menjauh sebagaimana hari ini, bahkan menghilangkan hukum Allah dan menggantinya dengan hukum manusia telah memasukkan manusia dalam kehidupan yang hina dan sempit.

Telah banyak contoh yang bisa kita ambil dari para sahabat bahkan Rasulullah sendiri. Namun, karena hanya dianggap sebuah dongeng, kaum Muslim hari ini justru membebek kepada solusi barat, apa kata WHO atau organisasi dunia lainnya selalu diikuti, tak ada standar baku, lihat saja berapa kali ganti istilah namun penanganan sama, kelakpun ketika kata PPKM sudah digunakan lagi dan menggunakan kata level 1-4 pun setali tiga uang, hanya berganti istilah.

Sebenarnya yang ditunggu adalah keberanian pemerintah untuk lockdown, menutup akses luar negeri baik kepada wisatawan maupun pekerja berkewarganegaraan asing. Sebab terasa ironi, ketika mereka dibiarkan santai melenggang sementara rakyat sendiri, disekat sana-siji, susah mendapatkan pekerjaan hingga kasus bunuh diri marak saking beratnya beban hidup yang kini ditanggung seorang kepala keluarga.

Kemudian pisahkan yang sakit dari yang sehat, bagi yang sakit atau isoman di rumah karena mereka tak mungkin mencari nafkah, negara yang menjamin kebutuhannya. Sehingga yang beredar bukan sekadar jaring pengaman Corona yang hanya bisa menutup kebutuhan seminggu dua, tapi benar-benar jaminan negara, berupa apapun hingga rakyat yang sakit atau isoman ini dapat kembali pulih. Wallahu a' lam bish showab.

Posting Komentar

0 Komentar