AMANDEMEN KONSTITUSI ADALAH GAMBARAN RAKUSNYA PEMIMPIN PADA KEKUASAAN


Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik

Saya memahami dan merasakan perasaan hati seluruh rakyat Indonesia yang kebingungan dengan pembahasan Perubahan UUD 1945. Bukan soal jaminan PPHN, bukan juga soal pernyataan Bamsoet yang tidak diindahkan. Sebaliknya, realita keserakahan para politisi dan oligarki melebihi keinginan Jokowi untuk memperkuat kekuasaan di periode berikutnya.

Kekhawatiran bahwa amandemen konstitusi akan digunakan sebagai sarana untuk memperkuat kekuasaan Jokowi memang mudah ditepis oleh DPR dan DPD di DPR. Namun keserakahan DPR dan DPD justru mendorong kelanjutan wacana ini dengan mengkompensasi DPR dan DPD atas kekuasaan legislatifnya yang juga diperkuat.

Sehingga opsi menggunakan pandemi sebagai alasan memperpanjang masa jabatan presiden akan lebih akomodatif dibanding tiga periode Jokowi. Alasannya sederhana: lebih praktis, sederhana, dan tidak terlalu kritis terhadap opini publik dibandingkan narasi tiga periode kepresidenan. Namun dengan syarat: DPR RI, DPD RI bahkan jabatan DPRD provinsi, kota dan bupati, otomatis mengikuti kenaikan masa jabatan presiden.

Artinya, jika masa jabatan presiden diperpanjang dari 5 tahun menjadi 8 atau 7 tahun, maka jabatan DPR RI, DPD RI, bahkan DPRD provinsi, kota, dan kabupaten juga memiliki masa berlaku 8 tahun atau lebih. 7 tahun. Pemilu dan pemilihan presiden dapat ditunda dari 2024 ke 2028 atau 2027.

Kalau soal kompromi, bukan hanya Jokowi yang diuntungkan. Namun semua anggota DPR, DPD RI, provinsi, kota dan DPRD kabupaten RI, semua partai politik baik koalisi maupun oposisi setuju karena sama-sama diuntungkan.

Sikap partai yang pura-pura menentang itu hanya untuk meningkatkan daya elektoral. Semua pihak tertawa terbahak-bahak ketika kalah suara dan posisi Jokowi diperpanjang dengan memperpanjang kursi anggota parlemen di DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota dan Kabupaten.

Karena itu, seluruh rakyat kita harus mewaspadai langkah-langkah memperkuat kekuatan oligarki dan mengabaikan keinginan rakyat dengan tetap mengontrol perilaku Presiden, partai politik, anggota DPR dan DPD maupun MP RI. Mereka akan mengambil langkah-langkah berikut:

Pertama, revisi konstitusi menitikberatkan pada penulisan norma PPHN ke dalam konstitusi, memberikan kewenangan kepada MPR RI untuk mengeluarkan kebijakan PPHN melalui produk hukum TAP MPR. Tujuannya sederhana, agar norma PPHN yang diterjemahkan oleh TAP MPR tidak dilawan oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi.

Langkah ini juga digunakan Bamsoet untuk memperkuat lembaga MPR RI yang dipimpinnya, memberikan kewenangan pengambilan keputusan strategis dalam penetapan dan penetapan kebijakan normatif PPHN dalam produk hukum TAP MPR.

Kedua, sementara Amandemen UUD berhasil dan mampu mencangkokkan norma PPHN, sekaligus mengukuhkan MPR RI sebagai badan yang bertanggung jawab atas pengesahan norma PPHN dalam bentuk produk hukum TAP MPR, TAP MPR dikeluarkan yang isinya akan memperkuat kekuasaan Jokowi, dengan menempatkan Presiden Perpanjangan masa jabatan dari 5 tahun menjadi 8 atau 7 tahun, termasuk perpanjangan jabatan DPR RI, DPD RI hingga DPRD provinsi, kota dan bupati, yang juga berlaku sampai 8 atau 7 tahun. Pemilu dan pemilihan presiden akan ditunda dari 2024 ke 2028 atau 2027.

Apa dasarnya? Memberi wewenang kepada MPR untuk mengubah atau menetapkan spesifikasi PPHN untuk kebijakan nasional. apa alasannya? Pandemi covid-19.

Lagi-lagi, pandemi yang notabenenya adalah bencana non alam selalu dijadikan alasan dalam memperpanjang masa jabatan Presiden sekaligus perpanjangan Jabatan DPR RI, DPD RI bahkan hingga DPRD Provinsi, Kota dan Kabupaten.

Opini setelah itu akan dibuat bahwa bahaya penyelenggaraan pilpres dan pilkada di masa pandemi, dan kebutuhan anggaran untuk menghadapi pandemi besar sehingga alokasi anggaran pilpres dan pilkada lebih baik dialokasikan untuk penanganan pandemi. Sesuai dengan kekosongan norma PPHN Kekuasaan, maka MPR akan mengeluarkan TAP MPR yang isinya memperpanjang masa jabatan Presiden termasuk memperpanjang jabatan DPR RI, DPD RI bahkan DPRD provinsi, kota, dan bupati, dengan dalih bahwa Indonesia sedang dalam situasi pandemi.

Ketiga, ketika MPR RI mengeluarkan TAP MPR, isinya antara lain memperpanjang jabatan DPR RI, DPD RI bahkan DPRD provinsi, kota, dan bupati, dengan alasan Indonesia dalam situasi pandemi, kemudian rakyat gigit jari. Pasalnya, TAP MPR RI bukanlah produk hukum yang dapat digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Inilah inti dari strategi perpanjangan masa jabatan presiden, termasuk perpanjangan masa jabatan DPR RI, DPD RI bahkan DPRD provinsi, kota, dan bupati dengan dalih Indonesia dalam situasi pandemi yang diadopsi melalui TAP MPR, bukan melalui Perppu atau undang-undang. Tujuannya, agar pengokohan kekuasaan Jokowi, partai politik dan oligarki itu tidak bisa digugat rakyat ke MK.

Sebab, jika dahaga kekuasaan dipuaskan dengan Perppu atau undang-undang, masih ada celah bagi masyarakat untuk menggugat ke mahkamah konstitusi. Meski MK tentu saja akan berpihak pada penguasa, dengan berpura-pura banyak permohonan Perppu dan produk hukum yang ditolak oleh MK.

Dengan alat TAP MPR, status akan dikelola dengan basis serupa. Tidak lagi di bawah kendali manusia. Lagi-lagi keserakahan Jokowi akan kekuasaan pada akhirnya akan mampu meloloskan kebijakan perpanjangan kursi kepresidenan, termasuk perluasan jabatan DPR RI, DPD RI hingga DPRD provinsi, kota, dan bupati, dengan dalih Indonesia dalam situasi pandemi.

Posting Komentar

0 Komentar