REFERENDUM KHILAFAH


Oleh: Nasrudin Joha
Sastrawan Politik

Indonesia bukan milik segelintir orang. Masa depan Indonesia milik seluruh rakyat. Sy usul kalau ada yg mau ubah konstitusi, kita referendum saja,” ungkap fadlizon di akun twitternya, Rabu (1/9/2021).

Pernyataan tentang amandemen konstitusi menuai kritik dari berbagai opini publik. Tindakan Ketua MPR RI yang akan diamandemen secara sepihak itu diduga akan dijadikan sarana untuk memperkuat kekuasaan Jokowi.

Ketidakpercayaan publik bahwa narasi amandemen terbatas yang dikenal dengan Bambang Soesatyo (Bamsoet) merupakan amandemen khusus untuk mengadopsi Pokok-Pokok Kebijakan Nasional (PPHN).

Belakangan, interpretasi Bamsoet tentang urgensi PPHN dinilai terlalu longgar, karena ia merasa lebih pintar dari para Founding Fathers yang sejak awal telah menyusun konstitusi lengkap, visi dan misinya.

Beberapa pihak menentang amandemen tersebut bukan hanya karena takut akan digunakan sebagai sarana untuk memperkuat rezim Jokowi, tetapi juga karena tidak ada rasa urgensi.

Padahal, Jazru Fawad, wakil ketua Partai Revolusi Rakyat, menegaskan bahwa rakyat tidak membutuhkan amandemen saat ini, yang rakyat perlukan adalah makan.

Berkat kegigihannya, Bamsoet rajin menyuarakan amandemen, terutama terkait apa yang dikatakannya sebagai urgensi PPHN. Bamsoet bahkan menulis artikel yang salah satunya mengatakan bahwa tujuan pembangunan Indonesia tahun 2025 tidak akan dibingungkan oleh presiden, dan visi pembangunan Indonesia akan memiliki kesinambungan.

Fadli Zon akhirnya menyerukan agar amandemen dicabut melalui forum referendum. Padahal, sebelum amandemen konstitusi 1999-2002, amandemen konstitusi hanya bisa dilakukan melalui mekanisme referendum. Hal ini dipertegas dengan Keputusan PRP Nomor 4 Tahun 1983 tentang Referendum.

Penulis sependapat dengan Fadli Zon bahwa jika MPR tetap bersikeras melakukan revisi, maka mekanisme revisi harus dilakukan melalui referendum. Membuat amandemen tidak terkekang dan rakyat memiliki kendali langsung.

Namun, referendum seharusnya tidak hanya membahas agenda amandemen konstitusi. Hebatnya lagi, referendum tersebut juga memberikan pilihan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam untuk memilih sistem Khilafah.

Dalam referendum, empat opsi dapat ditetapkan:

Pertama, menurut hasil amandemen konstitusi tahun 1999 sampai 2002, memilih mempertahankan konstitusi tidak berubah.

Kedua, mengembalikan konstitusi ke UUD 1945, dan tidak menjadikan amandemen 1999-2002 sebagai annex atau tambahan.

Ketiga, mengembalikan konstitusi ke UUD 1945 yang asli, termasuk amandemen dari tahun 1999 hingga 2002 sebagai annexes atau lampiran.

Keempat, menyediakan draf Khilafah dan Konstitusi Khilafah yang lengkap untuk dievaluasi dan dipertimbangkan semua orang.

Jika referendum ini memang disetujui, maka khususnya pada opsi keempat, penulis bersedia menyiapkan rancangan konstitusi Khilafah sebagai alternatif dari demokrasi sekuler yang selama ini menyengsarakan rakyat. Siapkan pilihan pertama hingga ketiga dari konsep lain.

Penulis berkeyakinan bahwa masyarakat berhak untuk membuka pilihannya, termasuk memilih untuk menganut Khilafah. Jangan sampai masyarakat muak dengan gagasan PPHN dalam amandemen yang dimaknai sebagai cara mempertahankan kekuasaan rezim Jokowi.

Posting Komentar

0 Komentar