MODERASI BERAGAMA, BERBAHAYA


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Isu moderasi agama makin menguat. Beberapa instansi negara gencar mengkampanyekannya termasuk kemenag. Terus diangkat seolah penting, sejalan isu radikalisme yang juga terus-menerus diciptakan. Padahal jelas, isu radikalisme tidak jelas juntrungannya. Apa dan siapa yang disebut kelompok radikal, masih samar. Isu radikalisme hanyalah kelanjutan dari isu terorisme yang sudah usang dan tidak laku.

Sasarannya selalu Muslim. Terutama mereka yang berpegang teguh pada agamanya, selalu berusaha terikat dengan syariahnya, bahkan yang menginginkan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Moderat sering di lawankan dengan radikal. Kedua istilah ini bukanlah istilah ilmiah, tetapi cenderung merupakan istilah politis.

Dengan maksud dan tujuan politik tertentu. Sebabnya, moderat adalah paham keagamaan (Islam) yang sesuai selera Barat. Sebaliknya, radikal adalah paham keagamaan (Islam) yang dilekatkan pada kelompok-kelompok Islam yang anti Barat. Di antara sikap beragama yang dipandang moderat adalah keterbukaan terhadap pluralisme, yaitu paham yang cenderung menyamakan semua agama, sama-sama bersumber dari “mata air” yang sama. Sama-sama berasal dari Tuhan.

Bahkan Promosi mereka yang kebablasan diantaranya: ucapan Selamat Natal kepada kaum Nasrani, Perayaan Natal Bersama, doa bersama lintas agama, shalawatan di gereja, dan lain-lain. Jelas melanggar batas-batas akidah, karena mencampuradukkan yang haq dengan yang batil, yang bisa menjadikan seorang Muslim murtad dari Islam.

Kita harus waspada, Nabi Muhammad saw. telah memerintahkan umatnya untuk selalu waspada agar tidak tergelincir dalam kesesatan dengan mengikuti keyakinan dan perilaku para penganut agama lain. Beliau antara lain bersabda:“Hari Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apakah seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR al-Bukhari No. 7319).

Dari semua hal tersebut di atas, jelaslah bahwa kaum Muslim dilarang ikut dalam Perayaan Natal, apalagi yang dilakukan di dalam gereja, termasuk sekadar mengucapkan Selamat Natal kepada kaum Nasrani. Karena itu fatwa MUI tanggal 7 Maret 1981, yang mengharamkan umat Islam merayakan Hari Natal sudah tepat. [].

Posting Komentar

0 Komentar