PENGHINAAN TERHADAP ISLAM BERULANG, PERAN NEGARA TELAH HILANG


Oleh: Shalsha Baharrizqi
Muslimah Peduli Umat

Telah hangat perbincangan publik saat ini mengenai polemik yang dianggap telah menghina agama Islam.

Pegiat media sosial Eko Kuntadhi telah menghina ustazah Imaz Fatimatuz Zahra atau yang akrab disapa Ning Imaz dari Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, yang bermula dari cuitan Eko di Twitter pribadinya yang mengunggah potongan video ceramah Ning Imaz. Potongan video tersebut diunggah Eko dan ditambahi dengan keterangan berupa ungkapan yang bernada kasar menyebut "Tolol tingkat kadal, hidup kok cuma mimpi selangkangan".

Video ceramah tersebut diproduksi oleh NU Online media resmi PBNU. Dalam video itu secara keseluruhan Ning Imaz sedang menjelaskan tentang tafsir Surat Ali-'Imran ayat 14. Dan video ini juga diunggah di TikTok NU Online dengan judul thumbnail 'Lelaki di Surga Dapat Bidadari, Wanita Dapat Apa?'

Sontak, kicauan Eko yang menukil potongan video disertai ungkapan bernada kasar itu mendapat protes dari tokoh-tokoh NU. Salah satunya datang dari Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-Selandia Baru Nadirsyah Hosen alias Gus Nadir via akun Twitter.

Bahkan, suami Ning Imaz, Gus Rifqil Moeslim tak segan mengajak Eko bertemu dengannya untuk menyelesaikan persoalan ini.

Eko kemudian menghapus unggahan video Ning Imaz yang sudah ditambahi kata-kata kasar. Perbuatan Eko Kuntadhi ini telah jelas berpotensi dalam melecehkan tafsir ayat al-Qur'ān yang melanggar pasal penodaan agama, melanggar kehormatan pribadi yang terjerat pasal pencemaran dengan UUITE.

Setiap Muslim tentu berkewajiban memuliakan al-qur'ān dan dilarang merendahkannya.

Apabila ada seorang yang menghina ajaran agama Islam, menghina Nabi Muhammad ﷺ, bahkan menghina Allah ﷻ, maka lepaslah iman yang ada di dalam dirinya. Allah ﷻ berfirman dalam surah At Taubah ayat 65-66 dan memberi penjelasan bagi siapa saja yang merendahkan atau mengejek al-Qur'ān,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.

Ayat-ayat al-Qur’ān secara tegas telah menerangkan bahwa orang yang menghina, melecehkan agama Islam adalah orang yang kafir murtad jika sebelumnya ia adalah seorang muslim. Kekafiran orang tersebut adalah kekafiran yang berat, bahkan lebih berat dari kekafiran orang kafir asli seperti Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik.

Dalam Islam hukum asal perbuatan manusia adalah terikat pada hukum syara. Karenanya sebelum berbuat setiap manusia wajib terlebih dahulu mencari ilmu. Apakah diperbolehkan atau tidak. Jika tidak maka haram baginya melakukan, apapun alasannya. Sebaliknya jika wajib maka harus dilakukan tanpa boleh mencari alasan untuk melalaikan.

Dalam hal ini negara bertanggung jawab memastikan tersampaikannya ilmu dan berbagai aturan syariat pada seluruh warga negara. Dalam sistem pendidikan Islam tidak diajarkan ilmu apapun sebelum aqidah, ibadah dan tsaqofah Islam. Sehingga tak ada alasan warga negara tak paham mana yang boleh mana yang tidak.

Peran negaralah yang sangat menentukan. Negara tidak seharusnya menghalangi dalam tersampaikannya ajaran Islam dengan pemberian stigma negatif terhadap beberapa ajaran Islam. Lalu umat pun takut untuk mengenali agamanya lebih detail dan mendalam. Akhirnya banyak yang tak kenal ajaran Islam dan terjadilah penistaan karena ketidaktahuan.

Maka dari kasus-kasus penistaan agama yang berulang terjadi ini, seharusnya menjadikan umat sadar, bahwa permasalahan kasus ini tiada lain disebabkan oleh sistem negara yang terapkan berlandaskan kebebasan. Maka wajar apabila ada segelintir orang yang menyuarakan pendapatnya tanpa melihat standar syariat Islam. Kasus seperti ini akan terus terjadi apabila negara tidak memberlakukan sanksi yang tegas untuk penista agama, jika sanksi yang diberikan hanya berupa permintaan maaf dan kurungan penjara, tentu tidak akan membuat pelaku jera dengan perbuatannya. Oleh karena itu, cara yang mudah apabila ingin pelaku penista agama ini jera dengan perbuatannya adalah dengan menempatkan Islam sebagai sumber aturan, mengganti sistem dengan sistem Islam secara menyeluruh, dan bukan menggunakan aturan yang bersumber dari manusia.

Posting Komentar

0 Komentar