
Oleh: Diaz
Jurnalis Lepas
Polemik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) memanas setelah kasus korupsi Basarnas yang melibatkan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Kabasarnas) RI Marsekal Madya (Marsdya) TNI Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol (Adm) Afri Budi Cahyanto disidik KPK.
TNI memprotes penetapan tersangka anggotanya oleh KPK. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyinggung TNI menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 sebagai dasar keberatan penetapan tersangka.
Usai protes yang dilakukan TNI, KPK meminta maaf dan mengaku penyelidik khilaf telah menetapkan tersangka, dan orang tersebut telah diserahkan KPK kepada Polisi Militer (PM). TNI kemudian menetapkan Marsekal Madya, Henri Alfiandi dan Letkol Adm Arfi Budi Cahyanto (ABC) sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan alat-alat di Basarnas.
Menyikapi polemik tersebut Advokat Ahmad Khozinudin menjelaskan bahwa kasus korupsi adalah lex specialis derogat legi generali yang menjadi kewenangan KPK, namun penindakan kasus korupsi juga bisa dilakukan oleh Bareskrim Polri dan Kejagung (Jampidsus). Namun, Ahmad Khozinudin menegaskan bahwa proses hukum anggota TNI adalah lex specialis yang harus ditangani PM.
"Proses hukum terhadap anggota TNI mutlak menjadi kewenangan yang 'lex specialis' menjadi ranah peradilan militer, yang penyidikannya dilakukan oleh PM dan penuntutannya oleh Oditur Militer." Tegasnya.
Menurut Ahmad Khozinudin, tindakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK adalah tindakan di luar kewenangan dan merupakan kesalahan yang fatal.
"Kalaupun ada perkara koneksitas, tetap saja koordinatornya adalah kejagung bukan KPK. Sehingga, OTT yang dilakukan KPK terhadap anggota TNI adalah kesalahan yang fatal, dan tak cukup dengan ucapan permintaan maaf," pungkasnya.

0 Komentar